Rusdi (38) benar-benar terkejut. Degup jantungnya berdetak lebih kencang. Dokter baru saja memberi tahu kalau proses persalinan anak pertamanya bermasalah. Bayinya terlilit tali pusar hingga kekurangan oksigen.
“Mohon selamatkan istri (Rusmiati, 38) dan anak saya,” Rusdi memelas dihadapan dokter.
“Saya dan suster akan mengupayakannya.”
Dokter kembali ke ruang persalinan. Rusdi mondar-mandir di lorong rumah sakit, tak jauh dari ruang persalinan. Wajahnya terlihat tegang. Selang beberapa menit, terdengar tangisan bayi.
“Selamat, istri bapak telah melahirkan bayi perempuan,” ucap dokter sembari menjabat tangan Rusdi.
“Alhamdulillah…Terima kasih dokter…” balas Rusdi, matanya berbinar.
“Tapi…”
“Kenapa, Dok?” potong Rusdi.
“Bayi bapak perlu dirawat di rumah sakit. Paling tidak 9 hari.”
“Terus?”
“Bapak siapkan saja biayanya. Ya….Kira-kira 4 juta. Nanti setelah keluar dari rumah sakit, bapak minimal mengeluarkan Rp. 500.000 perbulan untuk biaya perawatannya.”
Dug! Rusdi kaget. Ia membayangkan besarnya dana yang harus dikeluarkan. Padahal, sebagai pegawai biasa di sebuah perusahan pengadaan barang dan peralatan kantor, gaji perbulannya Rp. 500.000.
“Bagaimana, Pak?”
“Baik, Dok. Saya akan mengusahakannya.”
Rusdi menghubungi beberapa kerabatnya. Ia berniat meminjam uang 4 juta. Dalam tempo cepat, uang 3 juta bisa terkumpul. Sementara uang yang satu juta, ia pinjam dari kantornya.
“Setelah anak keluar dari rumah sakit, beban semakin berat. Saya harus mengembalikan uang pinjaman 4 juta. Betul-betul pusing!” keluhnya.
Rusdi melobi saudaranya.
“Saya ngomong ke mereka kalau tak sanggup melunasi hutang sekaligus. Saya membayarnya nyicil. Mereka ngerti kondisinya. Bahkan saya menjual cincin pernikahan demi mengurangi hutang,” tuturnya.
Peristiwa 2001 itu menginspirasi Rusdi. Dalam benaknya, dirinya tak mungkin sanggup melunasi hutang kalau masih jadi karyawan kantor.
“Dari situ saya berniat membangun usaha sendiri,” tandasnya.
Rusdi mengundurkan diri dari kantor. Ia belajar membuat kue bronis kering yang mampu bertahan seminggu. Sang istri yang mengajarkannya. Rusdi menyewa semua perabotan pembuatan coklat manis itu dari temannya. Modal pun seadanya.
“Begitu kue jadi, pertama kali saya tawarkan ke teman kantor. Harganya Rp 500 perbiji. Ternyata mereka bilang enak. Saya mikir, berarti tetangga di rumah juga pasti bilang enak,” ucapnya penuh percaya diri.
Dugaan Rusdi meleset. Para tetangga yang beberapa kali mencicipi mengaku kurang menikmati kuenya. Sebab dari hari ke hari rasanya berubah-ubah. Kadang terlalu manis, kadang kurang manis. Begitu pun saat Rusdi menaruh kue bronies di warung dekat rumahnya.
“Mereka tidak mau terima, karena hari kemarin saja banyak bs (barang sisa). Saya dan istri tak putus asa, terus berusaha agar rasanya stabil. Setahun kemudian, pasar baru menerimanya,” ujar Rusdi.
Awal produksi, dalam sehari Rusdi membuat 100 kue bronies dengan dibantu seorang karyawan. Rusdi dan istrinya turun langsung untuk memasarkan. Pemasaran di luar Warakas dilakukan Rusdi, sementara di dalam Warakas dipegang istrinya. Jika kebetulan ada warung atau toko yang tidak mau menerima titipan kuenya, Rusdi menggunakan strategi air mata.
“Saya pura-pura sedih atau nangis, biar pemilik toko merasa iba,” cetusnya tersenyum.
Lambat laun, seiring permintaan pasar bertambah, Rusdi kian meningkatkan produksinya. Jumlah karyawan dan salesnya ikut meningkat. Pria lulusan SMA itu malah berani menerapkan sistem cash and carry.
“Maklum, modalnya terbatas,” Rusdi beralasan.
Diakui Rusdi, untuk mengembangkan usahanya diperlukan modal besar. Beruntung, saat ia tengah menghadapi permodalan, Masyarakat Mandiri Dompet Dhuafa hadir dengan program pemberdayaan ekonomi.
“Usaha saya yang mulai kembang kempis jadi bangkit lagi,” ujarnya.
Dari keuntungan usahanya -Jilan Cake–, Rusdi sudah bisa melunasi hutangnya 4 juta. Peralatan sewa yang dipinjam sudah dikembalikan. Ia telah sanggup membeli peralatan sendiri, antara lain 1 mixer mesin, 2 pemanggang, puluhan loyang, dan ratusan toples.
Dalam sehari, sekarang Rusdi mampu memproduksi 3.500 bronis, dengan dua rasa; coklat dan pandan. Keuntungan bersih perhari Rp 150.000-Rp 200.000. Jumlah karyawan 11 orang; 6 bagian produksi dan 5 sales.
“Ketiga anak saya; Nadia, Firdaus dan Jilan, juga dapat bersekolah. Kalau saya masih jadi karyawan, belum tentu bisa seperti ini,” ucap pria yang tinggal di Warakas IV Gg 6 RT 09/08, Jakarta Utara. (LHZ/dompet dhuafa)