Sudah 11 tahun lebih Dedi Damhuri (42) memimpin unit pembuatan kompos di kompleks Kebun Raya Bogor. Menempati 1.500 meter persegi lahan di sayap kiri Kebun Raya, tempat ini memang cukup tersembunyi dan bukan tempat favorit bagi pengunjung.
Apalagi sesekali tebaran bau menyengat kerap muncul dan menusuk hidung. Alhasil, tidak banyak pengunjung tahu tempat ini. Paling-paling yang berkunjung adalah siswa-siswi SMK Pertanian, atau mahasiswa jurusan pertanian, peneliti dan sesekali wartawan.
Pusat pembuatan kompos adalah sebuah unit dibawah Divisi Kebersihan. Di unit ini hanya bekerja empat orang saja, khusus menangani pembuatan kompos dari sampah organik. Dedi harus mengkoordinir empat orang bawahannya, bekerja 6 hari dalam sepekan. Kompos hasil karya mereka dijual Rp 25.000 per kantong berisi 30 kilogram di outlet-outlet.
Musim hujan seperti ini, pekerjaan justru menjadi berlipat ganda karena pertumbuhan daun dan rerumputan meningkat pesat. Walaupun pusat pembuatan kompos ini mengkhususkan diri pada sampah daun dan rumput, namun areal pusat kompos ini juga merupakan tempat membuang sauh seluruh sampah Kebun Raya. Mau tidak mau, sampah daun pun sudah bercampur dengan sampah makanan bawaan pengunjung.
“Dalam sehari, kami menerima “kiriman” 1 ton lebih sampah aneka macam. Kalau dihitung, ada 4 truk sampah besar, 4 mobil sampah kecil dan 4 mobil bak ukuran minibus. Pokoknya dicatatan, per bulan antara 25 ton sampai 30 ton” tutur Dedi yang ditemani oleh salah satu anak buahnya.
Jauh sebelum orang-orang ramai membicarakan kompos, unit ini sudah ada namun hanya membuat kompos untuk kepentingan internal Kebun Raya saja. Baru sekitar 3 tahun terakhir, publikasi tentang kompos mulai marak di masyarakat seiring kesadaran tentang isu lingkungan.
Menurut Dedi, yang paling utama dalam pekerjaan pembuatan kompos adalah tahan bau dan debu. Sebab, ketika daun-daun yang sudah disortir itu dimasukkan mesin penggiling, seketika menebarkan bau yang sangat tidak sedap dan berdebu. Resiko terkena gangguan saluran pernafasan pun sangat besar. Terdapat 2 buah mesin penggilingan ukuran besar dan kecil bertenaga solar. Hasil penggilingan adalah bakal kompos yang siap di fermentasi selama 2 bulan sebelum menjadi kompos siap pakai.
“Udah biasa, Mas… bertahun-tahun seperti ini, Alhamdulillah tidak ada apa-apa”. Seloroh Riki Ruhimat, salah satu anak buah Dedi yang paling muda. Dedi sendiri sudah berkeluarga dan telah memiliki 2 anak. “Semua yang kerja disini udah keluarga, jadi mereka pada giat bekerja” puji Dedi tentang semangat anak buahnya.
Ketika ditanya apakah dirinya betah bekerja dengan sampah seperti ini, Dedi hanya tersenyum kecil dan mengatakan bahwa semua yang ia dan anak buahnya lakukan adalah untuk ibadah. Mereka mungkin bukanlah siapa-siapa, tapi siapa tahu, dimata Allah SWT, mereka bisa jadi adalah orang luar biasa karena menjadi pasukan-pasukan penjaga alam ciptaan-Nya. [dd/akhsin]