Iwan Ridwan (43) bukan warga kelahiran Kampung Selaawi, Desa Cibalung, Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bogor. Bapaknya berasal dari Kalimantan, sementara ibunya dari Bogor. Sejak kecil hingga dewasa, Iwan merantau ke Jakarta bersama orang tuanya.
“Biasa, kayak orang-orang, mo ngadu nasib,” cetus Iwan.
Di Jakarta, Iwan beberapa kali ganti profesi. Penjual keliling kantong kresek di pasar, kuli, kondektur, montir, sopir angkot, dan nelayan pernah dijalaninya.
“Terakhir saya jadi sopir taksi. Karena di-PHK, saya memutuskan pulang ke rumah istri, Siti Maemunah (39), di Kampung Selaawi. Toh selama saya di Jakarta, perubahan nasib yang diinginkan tak kunjung terwujud,” ujarnya.
Uang pesangon dari perusahaan taksi dipakai Iwan buat kredit motor. Ia mencoba pekerjaan baru; tukang ojek. Ini dilakukan demi menghidupi istri dan ketiga anaknya; Ella, Sena Sa’idah, dan Raffiudin. Namun, hanya bertahan tiga bulan Iwan jadi tukang ojek.
“Tukang ojek banyak, sementara penumpangnya sedikit. Ya udah deh, berebutan terus kalo ada penumpang. Dari situlah biasanya muncul permusuhan antar tukang ojek” celoteh Iwan.
Iwan berpikir, kalau terus jadi tukang ojek, rasanya tak mungkin ekonomi keluarganya cepat meningkat.
“Nah, saya baru sadar. Ternyata di kampung istri saya lahan sawah terhampar luas. Petaninya banyak. Tapi, para petaninya kok dari dulu tetap miskin, yah. Masak hasil tani cuma dipakai buat makan doang. Yah…meningkat sedikit-sedikit, kek,” ucapnya. “ah, mungkin karena di sini tidak ada insinyur pertanian dan belum ada petani yang berhasil,” tambahnya.
Selang beberapa hari, Iwan silaturahim ke rumah H. Zaka di Cibereuy, Bogor. H. Zaka adalah seorang petani dan peternak sukses binaan Lembaga Pertanian Sehat (LPS) Dompet Dhuafa Republika.
“Sepulang dari rumah H. Zaka, saya dapat ide untuk menghidupkan pertanian di Kampung Selaawi,” tandas pria jebolan SMA itu.
Iwan mendatangi satu persatu rumah warga dan tokoh masyarakat Kampung Selaawi. Ia mengajak mereka untuk berorganisasi dengan membuat semacam koperasi atau kelompok tani. Rupanya tidak mudah. Ada saja warga yang menolak.
“Ngapain bikin organisasi. Koperasi itu nggak bener. Yang dulu-dulu aja selalu bubar. Pokoknya bikin susah dan cuma buang-buang duit saja,” Iwan menirukan ucapan seorang warga.
Ada juga, sambung Iwan, segelintir warga yang mempersoalkan statusnya.
“Kamu kan bukan warga sini. Kamu juga ga bisa bertani. Dah, ga usah ngurusin warga. Urusin aja keluargamu sendiri!” seorang warga lain berkata ketus kepada Iwan.
Mendapat perlakuan begitu, Iwan tak marah. Ia sadar, dirinya memang belum pernah bercocok tanam dan tak punya keahlian dalam bidang pertanian. Apalagi di Kampung Selaawi, ia hanya sebagai pendatang.
Hari demi hari Iwan terus mencari warga yang sependapat dengan gagasannya. Dalam tempo sebulan, Iwan berhasil mengumpulkan tidak lebih dari 15 orang. Pertengahan 2004, dibentuklah kelompok tani. Iwan didaulat sebagai ketuanya.
“Saat itu nggak ada duit sama sekali. Modalnya semangat dan cita-cita saja untuk merubah nasib warga,” tekad Iwan.
Setahun berikutnya, kelompok tani yang dipimpin Iwan masuk dalam Gapoktan (Gabungan Kelompok Tani) Wanti Asih. Tanpa diduga pula, ia didapuk sebagai pimpinan Gapoktan.
“Ah, makin pusing aja saya. Padahal, terus terang saya nggak bisa tani. Saya sendiri belajar tani dari anggota,” Iwan terkekeh.
Semangat dan perjuangan Iwan bersama anggota Gapoktan Wanti Asih yang membuat LPS Dompet Dhuafa mau menggandengnya menjadi mitra. LPS menawarkan Program Pengembangan Pertanian Sehat (P3S) dan Ternak Domba Sehat (TDS). Secara berkala, LPS memberikan pelatihan dan bimbingan kepada para petani, selain menyerahkan bantuan, seperti benih, pupuk, peralatan tani, dan modal untuk sewa lahan.
“Warga yang tadinya pake pupuk kimia, sekarang pake pepstisida nabati. Jadi ngirit biaya taninya. Panen padi biasanya setahun 2 kali, sekarang bisa 3 kali. Warga yang semula nggak punya domba, sekarang bisa ternak domba. Lumayan, hasilnya bisa buat nyekolahin anak. Kalau saya sekarang sudah punya 13 ekor domba. Semua itu berkat bantuan dari LPS,” Iwan bersyukur.
Diakui Iwan, sejak kehadiran LPS, pendapatan warga Selaawi meningkat. Apalagi, sekarang tidak sedikit warga yang semula jadi tukang ojek beralih jadi petani. Mereka ‘berguru’ pada Iwan.
“Saya senang menyambut bergabungnya mereka. Ini menjadi pertanda kebangkitan ekonomi masyarakat Kampung Selaawi. Memang dalam sejarahnya, tidak ada petani yang kelaparan,” tukas pria yang senang mengenakan topi penutup kepala itu.
Kini, Iwan tengah mencoba bikin jamur. Kebetulan di belakang rumahnya, di sebelah kolam ikan, ada saung dan lahan nggangur 4×5 meter persedi.
“Udah saya orang yang pertama bikin jamur di kampung ini, eh…gagal terus. Akibatnya saya dicemooh terus oleh orang-orang yang nggak suka sama saya. Tapi saya cuek aja. Lihat saja nanti hasilnya,” Iwan tersenyum. (LHZ/dompet dhuafa)