Siapa sangka Muhammad Gumyadi (49) sudah menjadi yatim ketika usianya baru 5 tahun. Itulah alasan yang membuatnya jadi pengembara, keluar dari rumah dan meninggalkan ibunya. Ia berkelana dari satu tempat ke tempat lain, singgah dari pesantren satu ke pesantren lainnya.
“Saya menuntut ilmu dan ‘mengabdi’ keajeungan (kiai, tokoh masyarakat). Lebih tepatnya saya numpang hidup dan makan di pesantren, karena saya lahir bukan dari keluarga mampu. Beberapa rumah ajeungan sudah pernah saya tinggali,” kata Gumyadi
Pendidikan formal Gumyadi hanya SD. Ketiadaan biaya membuatnya harus memendam cita-citanya menjadi guru. Ketika beranjak dewasa, ia menjajal kerasnya kehidupan dengan menjadi kuli, dagang, dan melakoni pekerjaan serabutan lainnya. Rupanya pekerjaan seperti itu tak membuatnya bahagia. Untungnya tak seberapa, capeknya luar biasa.
“Saya menghadap ajeungan, lalu meminta doa sekaligus izin mau pulang kampung. Saya ingin bertani saja,” cetusnya.
Gumyadi kembali ke tanah kelahirannya setelah lama merantau. Ia menemui kakeknya untuk belajar bertani. Sang kakek tentu senang menyambut kembalinya cucu tercinta. Bagi Gumyadi, kakeknya sudah dianggap seperti bapak sendiri, semenjak bapaknya wafat. Kakeknya kerap mengajak Gumyadi ke sawah, memperlihatkan cara mencangkul dan mengurus tanaman padi.
Belum genap setahun, Gumyadi berani menikahi Yuyun, kembang desa Muara Jaya.
“Boleh dibilang saya nekad waktu menikah. Pekerjaan tidak tentu. Tani baru saya pelajari. Niatnya lillahi ta’ala saja…,” tandasnya.
Setelah menikah, Gumyadi tinggal di rumah mertua, tak jauh dari rumahnya sendiri. Saban hari ia ke sawah, membantu kakeknya menggarap lahan sewaan. Seusai shalat Subuh, Gumyadi ke sawah hingga waktu Duhur tiba. Setelah itu, ia kembali ke sawah hingga waktu Ashar. Kemudian kembali lagi ke sawah sampai menjelang Maghrib.
Sesekali Gumyadi menjadi kuli cangkul, kuli panen atau kuli tani lainnya. Hasil kerja kerasnya diberikan kepada istrinya. Kalau kebetulan ada uang lebih, Gumyadi lebih senang menabungnya.
“Alhamdulillah, uang tabungan cukup untuk beli sebidang tanah. Dari situlah saya bisa membangun rumah sendiri, meski dengan cara dicicil,” ucapnya.
Lambat laun kemampuan bertani Gumyadi diakui petani-petani di desanya. Mereka -petani baru dan beberapa petani senior–malah belajar dari Gumyadi. Gumyadi dianggap sebagai petani penggarap berprestasi. Untungnya Gumyadi tak pelit soal ilmu. Ia rela membagi pengalaman dan resep tani yang diperoleh dari kakeknya.
“Lama-lama ada usulan dari beberapa warga supaya dibentuk saja kelompok tani. Namanya Kelompok Tani Maju Jaya. Itu pembentukannya tahun 2004. Eh…tahu-tahu saya yang ditunjuk jadi ketuanya. Semua petani, tokoh masyarakat, dan aparat desa sepakat mempercayakan kepada saya. Dari situ saya punya kesibukan baru; setiap hari memantau sawah para anggota. Istilahnya Petugas Penyuluh Swakarsa (PPS) atau petugas sukarela,” tukasnya.
Setahun berselang, Lembaga Pertanian Sehat (LPS) Dompet Dhuafa mengajak Kelompok Tani Maju Jaya untuk bekerja sama dalam Program Pengembangan Pertanian Sehat (P3S). LPS mengajak para petani di Muara Jaya mulai beralih dari pertanian konvensional ke pertanian ramah lingkungan.
“Petani di sini sekarang tidak lagi memakai racun pestisida untuk mengatasi hama dan penyakit. Sebab LPS sudah memberikan pestisida nabati atau alami. Bahan-bahan untuk membuatnya semua ada di kampung ini. Jadi, para petani lebih irit biaya produksinya, sementara pendapatan petani waktu panen meningkat,” jelasnya.
Pelatihan atau penyuluhan yang dilakukan LPS terhadap kelompok tani pimpinan Gumyadi dilakukan secara berkala. Minimal diadakan pertemuan sebulan sekali.
“Petani itu ada yang daya tangkapnya cepat ketika mendengarkan penjelasan dari orang LPS, banyak juga yang lambat. Nah, tugas saya sebagai ketua kudu sabar dan legowo untuk menerangkan satu persatu ide-ide LPS ke anggota tani, biar semua paham. Pokokna mah patokan saya cuma LPS kalau taninya mau berhasil,” tuturnya.
Gumyadi menambahkan, LPS Dompet Dhuafa juga yang menggagas berdirinya Gapoktan (Gabungan Kelompok Tani) Maju Jaya di Desa Muara Jaya, Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor. Lagi-lagi Gumyadi dipercaya oleh semua elemen masyarakat untuk mengomandani Gapoktan yang memiliki anggota aktif 60 orang.
“Visi Gapoktan sebagai organisasi pertanian yang mandiri untuk mendorong kesejahteraan, khususnya petani, melalui kegiatan ramah lingkungan. Sedangkan misinya untuk meningkatkan pendapatan petani melalui pengembangan agribisnis,” paparnya.
Gumyadi dan para petani Muara Jaya merasa sangat bersyukur dengan adanya LPS Dompet Dhuafa. Petani penggarap yang tidak memiliki lahan dapat menggarap lahan dengan sewa lahan yang biayanya dipinjam dari Gapoktan. Jika anggota Gapoktan mengalami kesulitan dan membutuhkan dana mendadak seperti untuk berobat dan lain-lain, bisa pinjam ke Gapoktan dan membayarnya setelah panen.
“Jadi, Gapoktan itu seperti ATM (Anjungan Tunai Mandiri)-nya warga sini. Saya berharap, ke depan para petani di sini yang tadinya petani mustahik bisa meningkat statusnya menjadi petani muzakki,” tandas ayah dari Cecep Ismatullah dan Dede Herawati itu. (LHZ/dompet dhuafa)