Muhammad Yusuf Hidayat (32) bercita-cita menjadi aparat keamanan. Yusuf kecil senang jika melihat orang berpakaian seragam, lengkap dengan atribut kebesaran di pundak dan pistol terselip di pinggang. “Kelihatannya gagah.”
Begitu lulus SMA, Yusuf mendaftar jadi polisi. Semangatnya menggebu-gebu. Ia yakin diterima. Tapi, hasil tes menyatakan tidak berhak mengikuti tahap selanjutnya. Setahun berikutnya, ia mendaftar jadi anggota TNI AD. Ia dinyatakan lulus dan harus mengikuti tes berikutnya di Kota Paris van Java.
“Saya senang luar biasa. Begitu saya mau berangkat, eh…orang tua nggak punya uang. Mau merengek-rengek ke orang tua, malu,” cetusnya.
Tak lama kemudian, seorang kawan menawarkan pekerjaan cleaning service di sebuah perusahaan di Jakarta. Yusuf menerimanya. Setiap pagi, sebelum adzan Subuh memecah kesunyian, ia menuju stasiun Bogor.
“Kalau telat datang atau shalat Subuh dulu di stasiun maupun di rumah, saya pasti ketinggalan kereta. Kalau sudah begitu, masuk kantor jadi terlambat,” terangnya.
Berhari-hari Yusuf memikirkan cara agar bisa shalat Subuh, tidak ketinggalan kereta dan masuk kantor tepat waktu. Ia mencoba mendiskusikan persoalan ini dengan atasannya di kantor. Namun, perbincangan keduanya tak pernah menemui benang merah.
“Akhirnya saya mengundurkan diri dari kantor, setelah bekerja 2 tahun. Percuma saja gaji perbulan Rp. 650.000, tapi saya tidak bisa shalat Subuh,” tegasnya.
Lepas dari kerjaan cleaning service, Yusuf mengajar al-Quran di masjid, ba’da Ashar. Kurang lebih 63 anak dan remaja yang mengaji padanya.
“Kadang ada wali murid yang ngasih uang, banyak juga yang nggak ngasih. Saya sih ikhlas saja menjalaninya.”
Suatu hari, usai mengaji, seorang penjual siomay memberitahu ada lowongan mengajar di Madrasah Ibtidaiyah (MI) Semplak Pilar, Bogor. Yusuf tertarik. Esok harinya, ia mendatangi sekolah dengan menenteng map berisi ijazah dan berkas lainnya.
“Begitu ketemu wakasek, saya langsung disuruh ngajar matematika di kelas 2. Saya bingung, karena tak ada persiapan. Wakasek memaksa. Ah! Terpaksa saya mengajar,” ujar pria jebolan SMEA Jurusan Sekretaris itu.
Yusuf masih ingat, honor pertamanya 65 ribu perbulan. Pelan-pelan ia mencoba menikmati profesinya sebagai guru, pekerjaan yang tak pernah terlintas semasa kecilnya. Selain mengajar, sebulan sekali ia mengantar surat tagihan telepon dari Telkom ke setiap rumah warga di sebuah kompek perumahan elit.
“Saya semacam kurir. Saya mendapat upah 125 rupiah persatu surat. Lumayan, sekali mengantar dapat 85 ribu.”
Setahun kemudian, gaji Yusuf dari MI bertambah jadi Rp. 150.000 perbulan. Meningkatnya penghasilan membuatnya berani menikahi Siti Fatimah (22).
“Memang dari pendapatan saya hanya cukup untuk makan. Tapi, saya selalu mengingatkan istri untuk bersabar sambil berikhtiar,” Yusuf menasehati istrinya.
Meski hidup dalam keterbatasan ekonomi, Yusuf masih punya impian; menyelesaikan strata satu. Ia ingin jadi guru profesional, guru yang ahli dibidangnya. Apalagi ada tuntutan dari pemerintah bahwa untuk para guru setingkat MI minimal pendidikannya sarjana.
Yusuf nekat mendaftar kuliah dengan biaya sendiri. Padahal ia sadar, uang untuk biaya hidup saja kerap keteteran. Program PGSD diambilnya. Baru memasuki semester tiga, ia sudah menyerah, mengundurkan diri.
“Saya nggak ada biaya,” katanya singkat.
Tahun berikutnya, Yusuf kuliah di sebuah institut tak terkenal di kawasan Bogor. Hanya dua bulan ia menimba ilmu dari para dosennya. Lagi-lagi karena terbentur finansial, ia memilih keluar. Selang tiga ratus enam puluh lima hari, ia kembali kuliah di sebuah kampus kecil di Kota Hujan.
“Baru 4 bulan jalan, saya keluar lagi. Kali ini bukan lantaran saya tak punya uang, melainkan saya dapat beasiswa dari Makmal Pendidikan Dompet Dhuafa,” tandasnya.
Yah, Yusuf berhasil mendapat beasiswa kuliah di Universitas Ibnu Khaldun, Bogor, dari Makmal. Semua kebutuhan kuliahnya sejak mendaftar hingga proses wisuda ditanggung Makmal. Guru-guru senior berhasil ‘dikalahkan’ Yusuf.
“Saya sendiri nggak tahu kenapa orang dari Makmal (Bapak Suhata) memilih saya. Padahal saya guru baru dan paling muda di MI. Sekarang saya semester tiga,” ucapnya sumringah.
Bagi Yusuf, beasiswa yang diterima merupakan amanat dari Dompet Dhuafa.
“Saya akan menjaganya dengan cara menyelesaikan masa studi tepat waktu. Terima kasih Makmal, terima kasih Dompet Dhuafa,” pungkas ayah dari Muhamad Afan Faiz Hidayat (3) dengan mata berbinar. (LHZ/dompet dhuafa)