Pendapatan dari tiga profesi: guru, pelatih pencak silat, dan ngemci diacara pernikahan, belum cukup bagi Adi Suryadi. Pria kelahiran Bogor, 16 Agustus 1978, itu mengaku masih keteteran untuk membayar uang paket kuliahnya Rp. 150.000 perbulan. Padahal, pihak kampus telah memberikan keringanan; biaya kuliah bisa dicicil.
“Memang saya benar-benar nggak ada duit. Berat sekali rasanya. Terpaksa keputusan pahit pun saya ambil; keluar dari kampus,” cetus Adi sedih.
Ketika itu Adi sudah semester enam di sebuah perguruan tinggi. Ia mengambil kelas karyawan dengan biaya sendiri. Sejak awal kuliah ia membayangkan kelak dirinya dapat menyandang gelar Sarjana Pendidikan. Dengan gelar itu ia bisa bekerja enak dan hidup makmur setelah wisuda. Nyatanya, pupus sudah semua harapannya.
Yang lebih menyedihkan, ia meninggalkan tunggakan pembayaran uang SKS Rp. 500.000. Akibatnya, ia keluar dari kampus tanpa membawa transkrip nilai. Nggak tahu harus ditaruh dimana muka Adi. Malu sekali.
“Utang saya sama kampus baru bisa saya lunasi tiga tahun kemudian, setelah saya cicil,” ujarnya.
Adi tak lagi memikirkan soal kuliah. Ia berpindah haluan, mencari pekerjaan yang menjanjikan bagi masa depannya. Saudaranya yang menjabat manajer di suatu perusahaan, ia datangi. Kerabatnya yang menduduki posisi direktur, ia hubungi. Namun, jawaban keduanya sama: tidak ada lowongan kerja.
Semangat Adi melamar kerja masih membara. Ia memasukkan foto copy ijazah STM dan berkas lainnya ke beberapa perusahaan bonafid. Tapi, kebetulan mereka sedang tidak butuh karyawan baru. Selama setahun berkeliling melamar kerja, tak satu pun orang atau perusahaan yang mau menerimanya.
“Barangkali Allah tidak mengizinkan saya jadi mekanik,” Adi hampir putus asa.
Tak lama kemudian, seseorang memberi tahu Adi bahwa ada lowongan guru olahraga di MI Tarbiatus Shibyan. Adi yang senang berolahraga, iseng-iseng mengajukan surat lamaran.
“Saya diterima dan ngajar pendidikan jasmani,” ucapnya gembira.
Setiap pagi Adi berangkat dari rumahnya di Ledeng Sindang Sari menuju Tanah Sareal, lokasi MI. Ia mencoba menikmati profesinya, meski digaji Rp. 90.000 perbulan. Secara perhitungan materi, uang segitu tidak cukup menutup kebutuhan hidupnya.
“Tapi karena saya senang, ya nggak masalah. Ada kebanggaan dan alasan kuat menjadi guru. Saya ingin dekat dengan anak-anak dan membantu orang-orang kurang mampu. Kebetulan di MI ini siswanya mayoritas anak yatim piatu,” jelasnya.
Selain itu, sambung Adi, dirinya terjun ke dunia pendidikan bukan untuk mencari fee (bayaran) semata, melainkan ingin mendidik anak-anak supaya jadi pintar. Dalam pikirannya, guru tidak saja mentransferkan ilmunya kepara para murid, namun juga mendapatkan ilmu-ilmu baru dari mereka.
Lamat-lamat Adi dinaikan statusnya sebagai guru bidang studi. Ia memegang beberapa mata pelajaran, seperti Bahasa Indonesia, matematika, dan IPA. Bahkan, ia diangkat menjadi walikelas. Selain mengajar di MI, ia menambah kegiatannya dengan mengajar di MTs dan MA Yatasih.
Suatu ketika, Makmal Pendidikan Dompet Dhuafa mengadakan pelatihan bagi para guru. Madrasah tempat Adi mengajar, diundang. Adi termasuk guru yang diutus untuk mengikuti pelatihan itu. Pelatihan digelar beberapa kali. Bagi Adi, pelatihan itu berjalan sangat menarik. Salah satunya, ia jadi tahu cara pembelajaran yang baik.
Rupanya ada kelanjutan kerjasama antara Makmal dengan MI usai pelatihan. Bentuknya pendampingan. Dalam sebulan, Makmal empat kali memantau perkembangan MI. Jika ditemukan kesulitan dalam pembelajaran atau manajemen, maka Makmal membantu memecahkan masalahnya.
“Manfaat pendampingan dari Makmal banyak sekali. Terbukti, sekarang orang-orang yang mampu secara ekonomi mau menyekolahkan anaknya di MI, karena MI ini sudah maju dan kualitasnya bagus,” katanya.
Di samping itu, lanjut Adi, Makmal mengadakan seleksi bagi para guru yang belum strata satu, untuk mendapat kesempatan kuliah gratis. Nama programnya bea studi etos. Adi tercatat sebagai salah seorang yang lolos seleksi dan berhak mendapatkan bantuan pendidikan dari Makmal. Sejak mulai pendaftaran kuliah hingga wisuda, semua biaya ditanggung Makmal.
Kini, suami dari Nasih (30) itu sudah memasuki semester tiga di Universitas Ibnu Khaldun, Fakultas Agama Islam Program Studi PGMI.
“Alhamdulillah…impian saya sekolah lebih tinggi lagi sekarang terlaksana berkat bantuan Makmal,” ucap ayah dari Ahmad Bukhori (5) penuh syukur. Zakat Emang Ajiib… (LHZ/Dompet Dhuafa)