Kembali ke cerita Abu Nawas. Secara reflek ia membawa sajadah ke masjid. Padahal sholat yang akan diikutinya adalah sholat jenazah.
“Kenapa kamu bawa sajadah? Ini kan sholat jenazah,” tanya seorang tetangga. Pertanyaan itu mewakili pertanyaan orang-orang lainnya. Mereka ingin mendengar jawaban Abu Nawas yang biasanya di luar dugaan.
Dan benar, bukan Abu Nawas namanya kalau menjawab “lupa” atau sejenisnya. Sesaat ia memutar otak. Teringat bahwa jenazah yang akan disholati adalah seorang pejabat yang menyusahkan rakyat, ia langsung menemukan jawaban.
“Ehm, jenazah ini banyak dosanya. Karena itu, aku perlu membawa sajadah.”
Anekdot ini bukan untuk suudhan kepada orang lain, apalagi yang sudah meninggal dunia. Namun, ia menunjukkan betapa kadang ada orang yang menjawab dengan jawaban anti mainstream, tetapi mengandung kritik sosial.
Sholat jenazah tentu tidak membutuhkan sajadah karena hanya berdiri dengan empat takbir. Takbir pertama dilakukan dengan niat, lalu membaca Surat Al Fatihah. Kemudian takbir kedua diikuti dengan membaca sholawat. Lalu takbir ketiga diikuti dengan membaca doa untuk jenazah. Setelah itu takbir keempat diikuti membaca doa juga. Terakhir salam.
Meskipun singkat, sholat jenazah memiliki keutamaan yang luar biasa.
مَنْ صَلَّى عَلَى جَنَازَةٍ وَلَمْ يَتْبَعْهَا فَلَهُ قِيرَاطٌ فَإِنْ تَبِعَهَا فَلَهُ قِيرَاطَانِ. قِيلَ وَمَا الْقِيرَاطَانِ قَالَ أَصْغَرُهُمَا مِثْلُ أُحُدٍ
“Barangsiapa menshalatkan jenazah dan tidak mengiringinya (ke pemakaman), ia akan memperoleh pahala sebesar satu qirath. Jika dia juga mengiringinya (hingga pemakamannya), ia akan memperoleh dua qirath.” Ditanyakan, “Apa itu dua qirath?” Beliau menjawab, “Yang terkecil di antaranya semisal Gunung Uhud.” (HR. Muslim) [Muchlisin BK/Kisahikmah]