Doa adalah seni berkomunikasi. Lebih suci dan mulia dari permintaan seorang rakyat kepada pemimpinnya, lebih intim dari seorang anak kepada ibunya, lebih akrab dari seorang sahabat kepada sahabat yang amat dicintainya. Karenanya, doa tak boleh sembarangan. Ada adab yang harus dipenuhi agar ia diterima oleh Zat yang kepada-Nya doa dipanjatkan.
Maka doa yang paling baik adalah mencontoh pinta yang dipanjatkan oleh para Nabi dan Utusan Allah Ta’ala. Mulai doa meminta ampun yang dipanjatkan oleh Nabi Adam dan istrinya, Nabi Nuh, Musa, Ibrahim, Yunus, hingga doa yang dipanjatkan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam banyak riwayat sunnah shahihnya.
Itulah doa-doa yang memiliki garansi pasti dikabulkan. Sebab, tak didapati cacat dalam redaksi pengucapan maupun maknanya. Pasalnya, amat banyak doa yang terkesan memaksakan kehendak, meskipun memang; Allah Ta’ala Mahakuasa untuk mengabulkan. Tapi lagi-lagi, berdoa ada adabnya, ada aturan yang seharusnya diikuti. Sebab kitalah yang membutuhkan doa.
Seperti misalnya perkataan ‘Umar bin Khaththab, “Aku berdoa bukan karena ingin dikabulkan. Tetapi memang karena ingin berdoa.” Sesederhana itu, sepasrah itu, semudah itu. Dan memang, seharusnya demikian. Berdoa saja. Sebab, memanjatkan doa sendiri merupakan sebuah kebaikan, terhitung ibadah, di dalamnya ada pujian kepada Allah Ta’ala, dan pelakunya berhak dapatkan pahala nan agung, tunai, dan sempurna.
Jika tingkat kepasrahan kita setingkat ‘Umar, insya Allah hasilnya pun seperti lanjutan perkataan Khalifah kaum Muslimin pengganti Abu Bakar ash-Shiidiq ini, “Hanya, manakala aku diberi ilham untuk berdoa, terkabulnya doa itu senantiasa menyertainya.”
Rabbanaa taqabbal minnaa inaka antas sami’ul ‘aliim. Watub ‘alainaa innaka antat tawwaburrahiim. [Pirman/kisahikmah]