“Shalat,” tulis Sayyid Quthb dalam Fi Zhilal al-Qur’an saat menafsirkan ayat ini, “merupakan implementasi akidah yang paling penting dan dijadikan sebagai simbol serta petunjuk iman.” Konsekuensinya, siapa yang meninggalkan shalat dihukumi kufur, dan tiada tempat bagi mereka kecuali di dalam neraka.
Uniknya, tidak semua orang yang mendirikan shalat akan dimasukkan ke dalam surga. Sebab shalat mereka tidak berbekas. Padahal, shalat memiliki dua dimensi, shalih individu dan shalih sosial.
Tidak Memberi Makan Orang Miskin
“Dan kami,” lanjut penghuni neraka dalam surat al-Mudatstsir [74] ayat 44, “tidak memberi makan kepada orang miskin.”
Inilah dimensi sosial dari shalat. Orang-orang beriman yang mendirikan shalat dengan benar akan memiliki kepekaan sosial yang amat tinggi. Mereka menjadi yang terdepan dalam amal-amal pelayanan umat. Sebaliknya, siapa yang shalatnya belum tepat, kesibukannya hanya diri sendiri.
Enggan memberi makan kepada orang miskin, padahal mampu melakukannya, menurut Sayyid Quthb, disebabkan oleh sikap sombong di dalam hati mereka. Sikap sombong ini pula yang menjadi sebab hingga ia merendahkan orang-orang yang secara materi berada di bawah kemampuannya. Pada waktu yang bersamaan, mereka merasa lebih baik, lebih beruntung, dan layak mendapatkan kemuliaan dunia, padahal semuanya hanya dititipkan kepadanya.
Pembicaraan yang Batil
Sebab ketiga yang menjerumuskan mereka ke neraka adalah, “Dan adalah kami membicarakan yang batil bersama orang-orang yang membicarakannya.” (Qs.al-Mudatstsir [74]: 45)
Lisan yang dikaruniakan oleh Allah Ta’ala digunakan oleh mereka untuk mendustakan ayat-ayat-Nya, mengolok-olok orang beriman, dan melecehkan ajaran-ajaran-Nya. Mereka melakukan semua kejahatan itu dengan lisan yang seharusnya digunakan untuk iman dan taqwa kepada Allah Ta’ala.