2. Seorang budak sahaya yang menunaikan hak Allah dan hak tuannya.
Dia menjadi pelayan yang taat kepada tuannya dan penjaga yang tepercaya. Dia tulus menjalankan tugas, berusaha mengembangkan harta tuannya, serta menjaga anak-anaknya. Di samping itu, ia juga mengarahkan tuannya ke arah kebaikan dan mengingatkannya dari kejelekan. Tidak hanya itu, ia juga selalu menjaga hukum-hukum Allah Subhanahu wataala. Kesibukannya memberi pelayanan yang terbaik kepada tuannya tidak melalaikannya dari kewajibannya kepada Sang Khalik. Apabila panggilan shalat dikumandangkan, ia bergegas mendatanginya. Seandainya disuruh oleh tuannya untuk melakukan pelanggaran agama, dia menasihati tuannya dan lebih memilih taat kepada Rabbnya. Ia melaksanakan kewajiban agama dan menjauhkan diri dari larangannya. Budak yang seperti ini akan meraih dua pahala. (Lihat kitab al-Adab an-Nabawi hlm. 100101, karya Abdul Aziz al-Khauli)
Karena agungnya sifat budak yang seperti ini, sampai-sampai sahabat Abu Hurairah radhiyallahu anhu berkeinginan meninggal dalam keadaan sebagai budak sahaya. Abu Hurairah radhiyallahu anhu berkata, “Demi Dzat yang jiwa Abu Hurairah ada di tangan- Nya (demi Allah), kalau bukan karena jihad di jalan Allah Subhanahu wataala dan melaksanakan haji serta berbakti kepada ibuku, sungguh aku ingin mati dalam keadaan sebagai budak sahaya.” (HR. Muslim no. 1665)
Tidak tanggung-tanggung, karena kerinduan kepada pahala Allah Subhanahu wataala yang berlipat, sahabat Abu Hurairah radhiyallahu anhu ingin meninggal dalam keadaan sebagai budak sahaya. Dia tidak peduli dengan status sosial yang disandangnya asalkan Sang Maula (Allah Subhanahu wataala) ridha kepadanya. Seperti inilah orang yang jauh pandangannya dan tinggi seleranya. Oleh karena itu, betapa malangnya nasib orang yang mengaku merdeka dan menghirup alam kebebasan, namun senantiasa menjadi budak syahwat dan hawa nafsunya. Jangankan berpikir untuk menanam kebajikan, keluar dari lumpur kesesatan saja tidak mampu. Masihkah orang yang seperti ini dikatakan sebagai orang yang merdeka dan hidup leluasa? Menurut kacamata syariat, kemuliaan terletak kepada ketulusan mengamalkan kebaikan dan kesiapan menerima aturan agama (takwa). Kemuliaan tidak berarti memiliki harta yang melimpah, berpenampilan serba wah, dan jabatan tinggi jabatan yang membuat ngiler orang-orang kelas bawah. Allah Subhanahu wataala berfirman,
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kalian.” (al-Hujarat: 13)