Assalaamu alaikum wr. wb.
Yth. Pak Ustadz,
Seperti kita ketahui pemberangkatan jamaah calon haji dari Indonesia ada dua gelombang. Gelombang pertama ke Madinah dulu, baru kemudian ke Makkah, sedangkan gelombang kedua ke Makkah dulu baru ke Madinah. Bagi jamaah gelombang pertama, ketika akan melakukan ihram untuk umrah biasanya mengambil miqot di Abyar Ali (Bir Ali (?), maaf kalu salah menyebut), dan jamaah sudah siap dengan pakaian ihram sejak dari Madinah.
Saya rasa hal ini tidak terlalu masalah karena jarak dan waktu tempuhnya tidak terlalu lama. Bagi jamaah gelombang kedua, di manakah sebaiknya mengambil miqot. Saya mengira niat ihram untuk umrahnya di pesawat, ketika mendekati tempat miqot yang akan dilalui. Ternyata ada teman yang mengatakan di Jeddah (ternyata ini yang dianjurkan oleh Depag dan MUI, katanya). Sedangkan teman lain mengatakan ingin aman dan mengambil miqot di asrama haji, di Indonesia.
Mohon penjelasan dari Ustadz, apa yang sebaiknya dilakukan oleh jamaah, di mana sebaiknya mengambil miqot dan niat ihram untuk umrah, karena setahu saya Jeddah itu sudah melewati miqot untuk jamaah dari Indonesia, sedangkan bila mengambil miqot dari asrama haji tentu juga lumayan jauh dan memakan waktu lama, padahal dalam keadaan berihram itu kan kita harus betul-betul hati-hati.
Demikian saja. Atas penjelasan Ustadz, saya ucapkan terimakasih.
Wassalaamu alaikum wr wb.
Assalamu a’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Masalah yang anda tanyakan ini memang sudah jadi polemik sejak lama. Paling tidak, sejak kendaraan haji Indonesia mulai menggunakan pesawat terbang, di awal-awal tahun tujuh puluhan.
Sebelumnya, tidak ada polemik ini. Karena semua jamah haji Indonesia naik kapal laut. Dan begitu mendekati garis batas tanah haram, dengan mudah mereka berihram dari miqat makani yang telah ditentukan.
Namun ketika naik pesawat terbang, muncul sedikit masalah. Sebab bandara Jeddah sebagai satu-satunya bandara untuk jamaah haji, posisinya sudah berada di sebelah barat tanah haram. Sedangkan jamaah haji Indonesia, tentunya tidak datang dari arah barat melainkan dari tenggara. Jadi kalau mendarat di Jeddah, sudah melewati garis miqat. Dan ini terlarang karena setiap orang yang melewati garis miqat wajib berihram, kalau tujuannya semata-mata menuju ke ka’bah untuk haji atau ihram.
Di zaman kapal laut, jamaah haji Indonesia bisa dengan mudah berihram dari miqat yang ditentukan. Namun agak lain ceritanya bila berihram di atas pesawat terbang.
Sebab yang namanya berihram itu adalah membuka pakaian biasa berganti dengan dua lembar handuk sebagai pakaian resmi berihram. Memang akan sedikit merepotkan, bila dilakukan di dalam pesawat terbang.
Yang jadi masalah bukan pilot tidak tahu tempat batas miqat, tetapi bagaimana memastikan bahwa sekian ratus penumpang di dalam pesawat yang sedang terbang tinggi di langit, bisa berganti pakaian bersama pada satu titik tertentu.
Sementara untuk berpakaian ihram sejak dari Indonesia, sebenarnya bisa saja dilakukan, namun jaraknya masih terlalu jauh. Kalau kita tarik garis lurus Jakarta Makkah di peta google earth, sekitar 9.000-an km jaraknya. Perjalanan ditempuh sekitar 8 s/d 10 jam penerbangan.
Oleh karena itu, Departemen Agama berupaya mencari pendapat-pendapat yang membolehkan jamaah haji bermiqat dari bandara Jeddah. Walaupun jumhur ulama tidak sepakat dengan hal itu, sebab hadits-hadits nabawi tentang ketentuan miqat itu sangat jelas, tegas dan sudah diakui oleh banyak ulama.
Namun ternayta pendapat yang membolehkan itu ada, walau pun kurang populer lagi. Di antaranya:
- Pendapat Ibnu Hajar pengarang Kitab "Tuhfah" memfatwakan bahwa Jama’ah Haji yang datang dari arah Yaman boleh memulai ihram setelah tiba di Jeddah karena jarak Jeddah-Makkah sama dengan jarak Yalamlam-Makkah. An-Naswyili Mufti Makkah dan lain-lain sepakat dengan Ibnu Hajar (Panah At’Tabilin, II, h. 303).
- Menurut mazhab Maliki dan Hanafi, jama’ah haji yang melakukan dua miqat memenuhi ihramnya dari miqat kedua tanpa membayar dam (Fiqh’ala al-Mazahib al-Arba’ah, ha1.640).
- Menurut Ibnu Hazm, jamaah haji yang tidak melalui salah satu miqat boleh ihram dari mana dia suka, baik di darat maupun di laut (Fiqh as-Sunnah, I, hal. 658).
Di masa lalu Majelis Ulama Indonesia (MUI) masih jadi stempel pesanan pemerintah, dalam hal ini Departemen Agama. Maka kalau kita perhatikan fatwa yang secara resmi dikeluarkan, memang menunjukkan ke arah bolehnya bermiqat dari bandara Jeddah buat Jamaah haji Indonesia.
Tercatat tiga kali MUI mengeluarkan fatwa tentang bolehnya berihram dari bandara Jeddah, yaitu tahun 1980, 1981 dan 2006. Berikut petikannya fatwa terakhirnya:
* * *
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam sidangnya hari Sabtu, 4 Mei 1996, setelah:
Membaca:
- Surat dari Ditjen Bimas Islam dan Urusan Haji Departemen Agama RI No.D/Hj.00/2246/1996, tanggal 26 April 1996 tentang usul perbaikan Fatwa MUI tentang ketentuan Miqat Makani bagi Jama’ah Haj i Indonesia.
- Surat dari H.H. Syukron Makmun tentang pendapat tertulis kepada Sidang Komisi yang berkenaan dengan masalah Miqat Makani tersebut.
- Pendapat AL-Marhum Syekh Yasin Al-Fadani.
Memperhatikan:
Pendapat, saran dan uraian yang disampaikan oleh para peserta sidang dalam pembahasan masalah tersebut.
Berpendapat:
- Karena Jama’ah Haj i Indonesia yang akan langsung ke Makkah tidak melalui salah satu dari Miqat Makani yang telah ditentukan Rasulullah, Komisi berpendapat bahwa masalah Miqat bagi mereka termasuk masalah ijtihadiyah.
- Mengukuhkan Keputusan Fatwa Komisi Fatwa tanggal 12 Jumadil Ula 1400 H/29 Maret 1980 tentang Miqat Makani bagi Jama’ah Haji Indonesia, yaitu Bandara Jenddah (King Abdul Aziz) bagi yang langsung ke Makkah dan Bir Ali bagi yang lebih dahulu ke Madinah.
- Dengan Fatwa tersebut di atas tidak berarti menambah miqat baru selain dari yang telah ditentukan Rasulullah SAW. Sebenarnya berihram dari Jeddah (Bandara King Abdul Aziz) dengan alasan-alasan, antara lain, sebagai berikut:
- Jarak antara Bandara King Abdul Aziz Jeddah dengan Makkah telah melampaui 2 (dua) marhalah. Kebolehan berihram dari jarak seperti itu termasuk hal yang telah disepakati oleh para ulama.
- Penggunaan mawaqit mansusah (dengan teori muhazah) menunjukkan bahwa pelaksanaan penggunaan miqat adalah masalah ijtihadi
Ditetapkan:
Jakarta, 16 Zulhijah 1416 H/04 Me] 1996 M
DEWAN PIMPINAN MAJELIS ULAMA INDONESIA
Ketua Sekretaris KH. HASAN BASRI DRS. H.A. NAZRI ADLANI
* * *
Fatwa MUI ini agak berbeda dengan umumnya pendapat para ulama tentang masalah miqat makani berdasarkan sabda Nabi SAW.
Miqat-miqat tersebut untuk orang setempat dan untuk orang-orang yang datang ke tempat itu yang bukan dari penduduk tempat tersebut bagi orang-orang yang ingin haji dan umrah. (HR Muttafaq ‘alaih).
Adapun Jeddah; bukan miqat untuk pendatang, akan tetapi Jeddah adalah miqat untuk penduduk kota tersebut, dan untuk orang yang datang ke Jeddah yang tidak ingin haji atau umrah, kemudian timbul niat haji dan umrah (saat berada di Jeddah) lalu mulailah niat dari sana.
Sedangkan orang yang tinggal di sebelah Barat Jeddah misalnya Sudan, maka tergantung route perjalanan mereka, kalau memang dalam perjalanan mereka melewati miqat Al-Juhfah maka mereka harus mulai ihram jika sudah sampai di tempat yang sejajar dengan Al-Juhfah, adapun jika dalam route perjalanannya dia tidak melewati tempat yang sejajar dengan miqat sebelum Jeddah, maka ia boleh ihram dari Jeddah jika dia memang orang yang punya tujuan haji atau umrah.
Itulah ringkasan fatwa-fatwa ulama Hijaz termasuk Syeikh Bin Baz. Artinya, pandangan yang mengatakan bahwa bagi jamaah haji Indonesia miqatnya adalah bandara King Abdul Aziz Jeddah bukanlah pandangan yang kuat, meski memang ada yang mengatakan hal itu.
Bahkan Majelis Bahsul Masail Nahdhatul Ulama (NU) pun tidak sependapat dengan fatwa MUI ini. Dalam salah satu keputusannya, lembaga yang banyak mengurusi fatwa kontemporer di kalangan nahdhiyyin ini tidak membenarkan bandara Jeddah dijadikan miqat makani buat jamaah haji Indonesia. Berikut ini petikannya:
Soal: Orang Indonesia yang melaksanakan ibadah haji melalui Jeddah yang akan langsung menuju Makkah, apabila mereka memulai ihramnya dari Jeddah, apakah terkena wajib membayar dam bagi mereka?
Jawab: Mengingatkan bahwa lapangan terbang Jeddah di mana jamaah haji Indonesia mendarat, ternyata tidak memenuhi ketentuan sebagai miqat, maka apabila para jamaah haji Indonesia (yang berangkat pada hari terakhir) akan langsung menuju Makkah, hendaknya mereka melakukan niat pada waktu pesawat terbang memasuki daerah Qarnul-Manazil atau daerah Yalamlam atau miqat-miqat yang lain (yaitu setelah mereka menerima penjelasan dari petugas pesawat udara yang bersangkutan).
Untuk memudahkan pelaksanaannya, dianjurkan agar para jamaah memakai pakaian ihramnya sejak dari lapangan terbang Indonesia tanpa niat terlebih dahulu. Kemudian niat ihram baru dilakukan pada waktu pesawat terbang memasuki daerah Qarnul-manazil atau Yalamlam. Tetapi kalau para jamaah ingin sekaligus niat ihram di Indonesia, itupun diperbolehkan.
Keterangan:
- Al-Muazzab I/303
- Al-Majmu’, VII/178
* * *
Jadi untuk keluar dari khilaf ini, tidak ada salahnya berihram di atas pesawat. Dan masalah itu tidak sesulit yang dibayangkan, asalkan ada kemauan. Apa susahnya memakai pakaian ihram yang cuma dua lembar itu lalu niat. Kecuali bila memang tidak paham manasik haji atau memang tidak punya niat yang baik.
Bahkan jamaah haji dari negeri lain pun sudah mempraktekkannya. Dan tidak ada masalah yang berarti untuk melakukannya. Tinggal bagaimana yang punya kebijakan saja.
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu a’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc.