Assalamualaikum. Wr. Wb
Ust. Saya mau tanya nih,
Zaman sekarang banyak sekali orang yang ingin disebut haji, baik yang sudah haji atau yang belum menunaikan haji. Apakah yang seperti itu temasuk ria??
Terima kasih Ust.
Wassalamualaikum wr. Wb
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Gelar haji bisa saja menjadi riya’ bagi yang niatnya memang riya’. Bahkan bukan hanya gelar haji saja, gelar apapun bisa dijadikan media untuk melakukan riya’. Seperti gelar kesarjanaan, gelar keningratan, gelar kepahlawanan dan gelar-gelar lainnya.
Namun batasannya memang agak sulit untuk ditetapkan. Sebab riya’ merupakan aktifitas hati. Sehingga standarisasinya bisa berbeda untuk tiap orang.
Kalau kembali kepada hukum syariah, yang diharamkan adalah gelar-gelar yang mengandung ejekan, baik orang yang diberi gelar itu suka atau tidak suka. Sebagaimana firman Allah SWT:
Jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.(QS. Al-Hujurat: 11)
Titik tekan larangan ini ada pada gelar yang menjadi bahan ejekan. Seperti mengejek seseorang dengan panggilan nama hewan, di mana di balik gelar nama hewan itu tercermin ejekan. Sedangkan gelar dengan nama hewan yang mencerminkan pujian, hukumnya boleh.
Seperti kita memberi gelar kepada seorang ahli pidato dengan sebutan macan podium. Gelar ini meski menggunakan nama hewan, tetapi kesan yang didapat adalah kehebatan sesorang di dalam berpidato atau berorasi. Nilanya positif dan hukumnya boleh.
Kaitannya dengan gelar haji, pada hakikatnya gelar haji itu bukan gelar yang mengandung ejekan. Sehingga tidak ada yang salah dengan gelar itu bila memang sudah menjadi kelaziman di suatu tempat. Namun gelar haji memang bukan hal yang secara syar’i ditetapkan, melainkan gelar yang muncul di suatu zaman tertentu dan di suatu kelompok masyarakat tertentu. Gelar seperti ini secara hukum tidak terlarang.
Sedangkan dari sisi riya’ atau atau tidak, semua terpulang kepada niat dari orang yang memakai gelar itu. Kalau dia sengaja menggunakannya agar dipuji orang lain, atau biar kelihatan sebagai orang yang beriman dan bertaqwa, sementara hakikatnya justru berlawanan, maka pemakaian gelar ini bertentangan dengan akhlaq Islam.
Dan kasus seperti ini sudah banyak terjadi. Sebutannya pak haji tapi kerjaannya sungguh memalukan, entah memeras rakyat, atau melakukan banyak maksiat terang-terangan di muka umat atau hal-hal yang kurang terpuji lainnya. Maka gelar haji itu bukan masuk bab riya’ melainkan bab penipuan kepada publik.
Tetapi ada kalannya gelar haji itu punya nilai positif dan bermanfaat serta tidak masuk kategori riya’ yang dimaksud. Salah satu contoh kasusnya adalah pergi hajinya seorang kepala suku di suku pedalaman, yang nilai-nilai keIslamannya masih menjadi banyak pertanyaan banyak pihak karena banyak bercampur dengan khurafat.
Ketika kepala suku ini diajak pergi haji, terbukalah atasnya wawasan Islam dengan lebih luas dan lebih baik. Fikrah yang menyimpang selama ini menjadi semakin lurus. Maka sepulang dari pergi haji, gelar haji pun dilekatkan pada namanya. Dan rakyatnya akan semakin mendapatkan pencerahan dari kepala suku yang kini sudah bergelar haji. Bahkan akan merangsang mereka untuk pergi haji dan mendekatkan diri dengan nilai-nilai Islam. Tentu saja, tujuan pergi haji itu salah satunya untuk membuka wawasan yang lebih luas tentang nilai-nilai agama Islam.
Jadi tidak selamanya gelar haji itu mengandung makna negatif semacam riya’ dan sebagainya. Tetapi boleh jadi juga mengandung nilai-nilai positif seperti nilai dakwah dan pelurusan fikrah. Adalah kurang bijaksana bila kita langsung menggeneralisir setiap masalah dengan satu sikap. Semua perlu didudukkan perkaranya secara baik-baik.
Lagi pula sebagai muslim, kita diwajibkan Allah SWT untuk selalu berhusnudzdzan kepada sesama muslim. Sebab boleh jadi seseorang bergelar haji bukan karena kehendaknya, tetapi karena kehendak masyarakat.
Seorang ustadz muda yang banyak ilmunya namun masih kurang dikenal atau malah kurang diperhitungkan oleh umatnya, tidak mengapa bila kita cantumkan gelar haji di depan namanya, bila memang sudah pernah pergi haji. Sebab di kalangan masyarakat tertentu, ustadz yang sudah pernah pergi haji akan berbeda penerimaannya dengan yang belum pernah pergi haji. Apa boleh buat, memang demikian cetak biru yang terlanjur berakar di tengah masyarakat.
Tentunya gelar haji ini sama sekali tidak berguna untuk dipakai di dalam kelompok masyarakat yang lain.
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc