Eramuslim – “Semoga menjadi haji mabrur.” Doa itu kerap dipanjatkan sanak saudara, kerabat dan kawan kepada jamaah yang hendak berhaji, agar ketika usai melaksanakan rukun Islam kelima tersebut mereka yang menjadi Tamu Alllah dapat mencapai kemabruran.
Istilah Haji Mabrur sebetulnya tidak dikenal dalam Al Quran. Istilah ini justru diperkenalkan Nabi Muhammad ﷺ melalui hadistnya. Hadist yang paling populer soal ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, “Haji Mabrur tidak ada ganjarannya kecuali surga.”
Dari segi bahasa, kata mabrur terambil dari kata barra, yang mengandung aneka makna seperti surga, benar, diterima, pemberian, keluasan dalam kebijakan. Sedang dari segi pengertiannya, menurut ajaran agama, ditemukan beberapa pendapat ulama.
Dikutip dari buku Umrah dan Haji yang ditulis M Quraish Shihab, Imam asy-Syaukani yang wafat pada 1225 Hijriyah dalam bukunya Nail Al Authar menjelaskan bahwa, Ibnu Khalawiah, seorang pakar bahasa Arab asal Yaman yang wafat tahun 370 Hijriyah berpendapat, haji mabrur adalah haji yang maqbul, diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Ulama lain berpendapat bahwa haji mabrur adalah haji yang pelaksanaannya tidak dinodai oleh dosa. Pendapat ini dipilih dan dikuatkan an-Nawawy, pakar hadist dan hukum bermazhab Syafi’i (631-676 Hijriyah).
Menurut al-Qurthuby, pakar tafsir dan hukum yang wafat tahun 671 Hijriyah, pendapat-pendapat yang dikemukakan para pakar tentang haji mabrur maknanya berdekatan. Kesimpulannya, “Haji mabrur adalah haji yang sempurna hukum-hukumnya sehingga terlaksana secara sempurna sebagaimana yang dituntut.”
Imam Ahmad dan al-Hakim meriwayatkan dari sahabat Nabi, Jabir bin Abdullah ra, para sahabat bertanya kepada Rasul, “Apakah haji mabrur itu?” Beliau memjawab, “Memberi pangan dan menyebarluaskan perdamaian.” Tetapi hadist ini dilemahkan pengarang kitab al Fath.
Profesor Abdul Halim Mahmud, mantan petinggi Al Azhar, menulis bahwa haji merupakan kumpulan orang yang sangat indah dari simbol-simbol keruhanian yang mengantarkan seorang muslim, apabila dilaksanakan dalam bentuk dan caranya yang benar, masuk ia dalam lingkungan Ilahi.
Menjaga Kemabruran
Jika yang dikemukakan al Hakim dan Abdul Halim diterima sebagai keterangan tentang haji mabrur, maka yang perlu digaris bawahi dalam konteks memelihara kemabruran haji adalah memperhatikan makna-makna di balik hukum-hukum dan simbol-simbol haji.
Apabila kita memulai ibadah haji dan umrah dengan berihram, lalu mengakhirinya dengan melepas ihram, maka untuk menjaga kemabruran haji dan umrah, diperlukan upaya memelihara ihram walau telah ditangalkan pakaian jasmaninya. Dengan kata lain, untuk menjaga kemabrurannya, maka kenakanlah ihram abadi.
Dalam hal ini, kemampuan pengendalian diri menghadapi kewajiban dan larangan Allah Subhanahu wa Ta‘ala dalam konteks kehidupan keseharian harus berlanjut. (Vv/Ram)