Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Pak Ustadzyangsaya hormati, bagaimana sebenarnya hukum badal haji? Karena daribeberapa orang ustad di masjid tempat saya ngaji memberikan pendapatyangberbeda-beda mengenai hal tersebut. Satu pihak menyatakan boleh dan sahberdasarkan haditsyangdiriwayatkan Imam Bukhari & Muslim. Sementara pihakyanglain menyatakan seseorang tidak memperoleh pahala atau amalan kecualiyangdiusahakannya berdasarkan ayat Al-Qur’an surah AnNajm 39, Yasin 54 dan AnNisa 123 serta syarat wajib hajiyangdi antaranya ada syarat istita’ah (mampu fisik dan harta) sehingga gugur kewajiban seorang muslim utk haji jika syarat tersebut tidak terpenuhi apalagi jika org tersebut sudah meninggal. Pihakyanglain lagi, yangsptnya hendak mengambil jalan tengah menyatakan bahwa kewajiban badal hanya utk wasiat org meninggal dan itu hanya utk menggugurkan kewajiban harta si mati saja bukan serta merta menjadikan si mati seorang haji karena unsur ibadah fisiknya tidak terpenuhi.
Menurut pak Ustadz mana yang paling tepat di antara ketiganya? Terimakasih.
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Assalamu `alaikum warahmatullahi wabaraktuh
Badal haji adalah sebuah istilah yang dikenal dalam fiqih Islam. Istilah yang lebih sering digunakan dalam kitab-kitab fiqih adalah al-hajju ‘anil ghair, yaitu berhaji untuk orag lain.
Dan pada kenyataannya memang seseorang benar-benar melakukan ibadah haji, namun dia meniatkan agar pahalanya diberikan kepada orang lain, baik yang masih hidup namun tidak mampu pergi maupun yang sudah wafat.
Tentunya tindakan ini bukan hal yang mengada-ada, tetapi berdasarkan praktek yang dikerjakan oleh para shahabat nabi dan direkomendasikan langsung oleh beliau SAW.
Dari Ibnu Abbas ra bahwa seorang wanita dari Juhainnah datang kepada Nabi SAW dan bertanya: Sesungguhnya ibuku nadzar untuk hajji, namun belum terlaksana sampai ia meninggal, apakah saya harus melakukah haji untuknya?" Rasulullah SAW menjawab, "Ya, bagaimana pendapatmu kalau ibumu mempunyai hutang, apakah kamu membayarnya? Bayarlah hutang Allah, karena hutang Allah lebih berhak untuk dibayar." (HR Bukhari).
Hadits yang sahih ini menjelaskan bahwa seseorang boleh melakukan ibadah haji, namun bukan untuk dirinya melainkan untuk orang lain. Dalam hal ini untuk ibunya yang sudah meninggal dunia dan belum sempat melakukan ibadah haji.
Di dalam hadits yang lain, disebutkan ada seseorang yang berhaji untuk ayahnya. Kali ini ayahnya masih hidup, namun kondisinya tidak memungkinkan untuk melakukan ibadah haji. Maka orang itu mendatangi Rasulullah SAW untuk meminta fatwa.
Seorang wanita dari Khats`am bertanya, Ya Rasulullah, sesungguhnya Allah mewajibkan hamba-nya untuk pergi haji, namun ayahku seorang tua yang lemah yang tidak mampu tegak di atas kendaraannya, bolehkah aku pergi haji untuknya?. Rasulullah SAW menjawab, Ya. (HR Jamaah)
Pendapat Para Ulama
Dengan adanya dalil-dalil di atas, maka kebolehan melakukan haji untuk orang lain ini didukung oleh jumhur ulama. Di antaranya adalah Ibnul Mubarak, Al-Imam Asy-Syafi`i, Al-Imam Abu Hanifah dan Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahumullah.
Syarat Harus Sudah Haji
Al-hajju anil ghair mensyaratkan bahwa orang yang melakukan badal itu harus sudah menunaikan ibadah haji terlebih dahulu, karena itu merupakan kewaiban tiap muslim yang mampu. Setelah kewajibannya sudah tunai dilaksanakan, bolehlah dia melakukan haji sunnah atau pergi haji yang diniatkan untuk orang lain.
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah SAW mendengar seseorang bertalbiyah, "Labbaikallhumma ‘an Syubrumah." Rasulullah SAW bertanya, "Siapakah Syubrumah?" Dia menjawab, "Saudara saya." "Apakah kam sendiri sudah melaksanakan ibadah haji?" "Belum." Rasulullah SAW bersabda, "Jadikan haji ini adalah haji untukmu terebih dahulu. Baru nanti (haji tahun depan) kamu boleh berhaji untuk Syubrumah." (HR )
Dalam hal ini tidak disyaratkan harus orang tua sendiri atau bukan, juga tidak disyaratkan harus sama jenis kelaminnya. Juga tidak disyaratkan harus sudah meninggal.
Tentunya baik dan buruknya kualitas ibadah itu akan berpengaruh kepada nilai dan pahala disisi Allah SWT. Dan bila diniatkan haji itu untuk orang lain, tentu saja apa yang diterima oleh orang lain itu sesuai dengan amal yang dilakukannya.
Adapun amalan selama mengerjakan haji tapi di luar ritual ibadah haji, apakah otomatis disampaikan kepada yang diniatkan atau tidak, tentu kembali masalahnya kepada niat awalnya. Bila niatnya semata-mata membadalkan ibadah haji, maka yang sampai pahalanya semata-mata pahala ibadah haji saja. Sedangkan amalan lainnya di luar ibadah haji, maka tentu tidak sampai sebagaimana niatnya.
Sebaliknya, bila yang bersangkutan sejak awal berniat untuk melimpahkan pahala ibadah lainnya seperti baca Al-Quran, zikir, umrah dan lainnya kepada yang diniatkannya, ada pendapat yang mengatakan bisa tersampaikan.
Wallahu a’lam bishshawab, Wassalamu `alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Ahmad Sarwat, Lc