Di dalam situs ini saya banyak belajar dan berkenalan dengan beragam ulama. Pertanyaannya, apakah di antara para ulama itu ada jenjang atau struktur kesenioran atau semacam tingkatan?
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Kalau ada tingkatan atau level di kalangan ahli syariah, sebenarnya bukan derajat keimanan atau ketaqwaan, melainkan tingkat keahlian dan profesionalitas. Ibarat dunia kedokteran, ada dokter umum dan ada dokter spesialis. Tapi semua itu bukan jaminan bahwa dokter tidak akan terserang penyakit atau tidak bisa mati.
Syeikh Abu Zahrah, ulama besar Mesir mencoba membuat klasifikasi para ahli ijtihad menjadi beberapa klasifikasi, misalnya mujtahid mutlaq (mustaqil), mujtahid muntasib, mujtahid fil mazhab dan mujtahid fi at-tarjih.
1. Mujtahid mutlaq (mustaqil)
Ini adalah level mujtahid yang paling tinggi. Untuk sampai ke level ini, awalnyaseseorang harus memenuhi dulu standar dasar yang harus dimiliki seorang mujtahid.
Kemudian tambahannya adalah dia harus bisa membuat metologi ijtihad (ushul fiqih) sendiri tanpa meniru atau mengadaptasi dari orang lain. Dari hasil konsepnya itu, dia melakukan ijtihad pada semua sisi kehidupan mulai dari urusan thaharah sampai urusan kenegaraan, yang kemudian disusun menjadi kumpulan hasil ijtihad yang murni hasil dari kesungguhan dirinya. Bukan kutipan juga bukan contekan dari mujtahid lain. Kecuali kalau kebetulan hasilnya sama.
Contoh mujtahid mutlak adalah 4 imam mazhab yang kita kenal:
- Al-Imam Abu Hanifah (80-150 H)
- Al-Imam Malik (93-179H)
- Al-Imam Asy-Syafi’i (150-204 H)
- Al-Imam Ahmad bin Hanbal
Mereka yang merumuskan metodologi istimbath hukum dan sistem pengerjaannya, selain mereka juga menggunakannya untuk berijtihad, di mana sistem dan hasil ijtihadnya kemudian dijadikan rujukan oleh mujtahid di level bawahnya.
Kalau kita ibaratkan ilmu matematika, mereka ini kira-kira seperti orang yang menemukan rumus segi tiga siku-siku Phitagoras, a kuadrat sama dengan b kuadrat kali c kuadrat. Atau yang menemukan rumus luas lingkaran.
Siapa pun orang yang datang kemudian, kalau mau mengukur segi tiga siku-siku atau mengukur luas lingkaran, pasti tidak akan bisa lepas dari rumus dasar itu.
2.Mujtahid Muntasib
Pada level kedua, kita bertemu dengan para mujtahid yang disebut muntasib. Sesuai namanya, muntasib adalah orang yang melakukan instisab, yaitu berafiliasi kepada suatu mazhab tertentu.
Jadi mereka tidak menciptakan mazhab sendiri dalam arti tidak merumuskan sistem ijtihad dan istimbath. Mereka adalah orang yang datang belajar sistem itu hingga betul-betul menguasai sepenuhnya, setelah itu merekamenjadi pengguna langsung untuk melakukan berbagai ijtihad dalam masalah syariah.
Namun dari segi kemampuan, sesungguhnya mereka sudah bisa melakukan perumusan sistem ijtihad sendiri. Tapi biasanya mereka tidak melakukannya, karena apa yang sudah dirintis oleh guru mereka sudah lebih baik dan lebih maju.
Bahkan mereka malah menjadi tonggak yang ikut menguatkan suatu mazhab yang sudah ada, karena mereka menjadi pembela sekaligus berjasa mempopulerkannya kepada khalayak.
Kalau kita ibaratkan kira-kira mereka adalah para programer yang ikut pada OS Open Source semacam komunitas Linux. Walau pun mereka bisa bikin sendiri tapi umumnya mereka lebih banyak menjadi pengguna, meski sesekali ikut menyumbangkan karya. Di tangan mereka inilahOS Open Sourcebisa tetap eksis.
Menurut Ibnu Abidin, sebagaimana dikutip oleh Abu Zahrah, pada tiap-tiap mazhab dari keempat mazhab itu ada mujtahid dengan level muntasib.
2.1. Muntasib Mazhab Hanafi
Yang termasuk ke dalam kategori ini adalah Muhammad bin Hasan As-Syaibani (131-189H) dari mazhab Abu Hanifah. Beliau adalah murid langsung Imam Mazhab dan menjadi muntasib pada mazhab yang beliau rintis, sekaligus menjadi pilar yang menguatkan mazhab ini.
Selain itu juga ada Al-Qadhi Abu Yusuf (113-182H) yang amat terkenal itu. Mereka berdua adalah pasangan ulama yang tidak bisa dilepaskan dari nama besar mazhab Abu Hanifah, biasa disebut singkat: Abu Yusuf dan Muhammad.
2.2. Muntasib Mazhab Maliki
Di dalam yang didirikan oleh Al-Imam Malik rahimahullah, kita mengenal ulama besar seperti Abdurrahman bin Al-Qasim (132-191H). Beliau ini levelnya sebenarnya mujtahid mutlak, karena sudah bisa membuat sistem mazhab sendiri.
Namun sebagai murid langsung Al-Imam Malik selama 20 tahun, lebih lebih senang menyempurnakan mazhab gurunya. Termasuk di antara jasa beliau adalah menyempurnakan kitab Al-Mudawwanah Al-Kubra, kitab induk dalam mazhab ini.
2.3. Muntasib Mazhab Asy-Syafi’i
Nama yang bisa disebut untuk muntasib mazhab ini adalah Al-Muzani. Lengkapnya adalah Abu Ibrahim Ismail bin Yahya Al-Muzani (175-264H). Sang guru, Al-Imam Asy-Syafi’i sampai berkomentar begini, "Al-Muzani adalah pembela mazhabku."
Beliau memang berkarya besar untuk mazhab gurunya, di antaranya adalah kitab Al-Mabsuth (Al-Mukhtashar Kabir) dan Al-Mukhtashar Shaghir. Murid Al-Muzani tersebar di seantero khilafah Islamiyah sehingga mazhab gurunya ini dikenal dari ujung barat sampai ujung timur dunia.
Selain itu juga ada Al-Buwaithi (w.231 H) yang oleh As-Syafi’i diwariskan halaqoh di Baghdad dan menulis banyak tentang mazhab ini.
3. Mujtahid fil mazhab
Mereka ini adalah mujtahid yang tidak membuat sistem sendiri, juga tidak berijtihad sendiri. Mereka menggunaka sistem dari mazhab masing-masing dan mengikuti hasil ijtihadnya juga.
Mereka hanya berijtihad manakala di dalam mazhab mereka belum ada hasil ijtihad. Karena persolaan hukum akan terus ada dan tidak pernah berhenti.
Maka pada saat tidak hasil ijtihad dari mazhabnya yang sekiranya cocok dan bisa dijadikan jawaban, mereka barulah berupaya untuk berijtihad.
Dari kalangan mazhab Al-Hanafiyah, yang termasuk ulama mujtahid fil mazhab adalah Abul Hasan Al-Karkhi (260-340H) dan Hasan bin Az-Ziyad (w. 204H). Dari kalangan Maliki adalah Muhammad bin Abdullah Al-Abhari (89-375H). Dari kalangan mazhab Syafi’i adalah Ibnu Abi Hamid Al-Asfraini (344-406H).
4. Mujtahid fi at-tarjih
Pada level paling bawah, ada mujtahid fit tarjih. Peran mereka bukan membuat sistem, juga tidak berijtihad sendiri, juga tidak melakukan ijtihad yangbelum ada ijtihad sebelumya.
Mereka 100% mengikuti sistem dan ijtihad dari para seniornya. Dan karena sudah banyak hasil ijtihad dari para senior dan terkadang hasilnya agak berbeda, maka peran mereka adalah melakukan tarjih.
Namun tarjih yang mereka lakukan bukan dalam arti mementahkan hasil ijtihad, melainkan mencoba melakukan studi komparasi antara semua hasil ijtihad dari keempat mazhab itu, lalu melakukan penelitian ulang atas dalil-dail yang digunakan serta analisa tentang keunggulan dari masing-masing mazhab.
Mengapa masih harus ada tarjih?
Salah satu sebabnya adalah perubahan zaman yang sangat dinamis serta kondisi tiap negeri yang selalu berbeda. Sehingga ada ijtihad yang cocok diterapkan di suatu negeri tapi barangkali kurang tepat kalau diterapkan di negeri yang lain.
Juga ada mazhab yang bisa diterapkan pada zaman tertentu dan kurang tepat untuk masa yang lain.
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc