Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh
Semoga pak ustadz sentiasa berada di bawah lindungan Allah S. W. T.
Saya punya pertanyaan berkenaan 2 hadi ts yang tampaknya seperti bertentangan antara satu dengan yang lain:
"Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Di antara keduanya ada yang syubhat, manusia tidak banyak mengetahui. Siapa yang menjaga dari syubhat, maka selamatlah agama dan kehormatannya. Dan siapa yang jatuh pada syubhat, maka jatuh pada yang haram. " (HR Bukhari dan Muslim).
`Halal adalah sesuatu yang Allah halalkan dalam kitab-Nya. Dan haram adalah sesuatu yang Allah haramkan dalam kitab-Nya. Sedangkan yang Allah diamkan maka itu adalah sesuatu yang dima`afkan` (HR at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan al-Hakim )
Hadith pertama menyatakan bahawa yang tidak dinyatakan kehalalannya dan keharamannya itu syubhat dan siapa yang jatuh pada syubhat, maka jatuh pada yang haram.
Sedangkan hadith kedua menyatakan bahwa yang tidak dinyatakan kehalalannya dan keharamannya itu adalah perkara yang dimaafkan, maka sepertinya boleh diperbuat dan akan dimaafkan oleh Allah.
Mohon penjelasan segera dari pak ustadz.
Terima kasih.
Wa’alaikumsalam warohmatullahi wabarokatuh.
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Kedua hadits di atas sebenarnya tidak harus saling berbenturan dalam tataran pengertian, kalau kita agak teliti dan benar cara memahaminya. Meski memang sekilas secara lafadz ada yang terkesan demikian.
Kebiasaaan para ulama dalam masalah perbedan dua nash yang sama-sama shahih adalah dengan menggunakan thariqatul jam’i, yaitu sebuah cara untuk menggabungkan keduanya sehingga tidak saling bertentangan.
Dan semua itu akan semakin jelas ketika kita membuka kitab syarah hadits. Kitab syarah hadits ibarat tafsir dalam Al-Quran, para ulama di masa lalu telah membaca, mempelajari, meneliti dan mengaitkan satu hadits dengan lainnya, untuk dapat mengambil istimbath hukum. Kami sarankan anda untuk sering-sering membaca kitab-kitab syarah hadits.
Penjelasan Pengertian Hadits Pertama
Lengkapnya teks hadits pertama demikian:
وعن أبي عبد الله النعمان بن البشير قال: سمعت رسول الله يقول: إن الحلال بَيِّن وإن الحرام بَيِّن، وبينهما أمور مشتبهات، لا يعلمهن كثير من الناس، فمن اتقى الشبهات فقد استبرأ لدينه وعرضه، ومن وقع في الشبهات وقع في الحرام، رواه البخاري ومسلم
Dari Abi Abdillah An-Nu’man bin Al-Basyir ra berkata, "Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Di antara keduanya adalah masalah yang mutasyabihat. Kebanyakan manusia tidak mengetahuinya. Siapa yang takut (berhati-hati) dari masalah yang syubuhat baginya, maka dia telah terbebas demi agama dan kehormatannya. Sedangkan orang yang jatuh dalam masalah syubuhat, dia jatuh ke dalam perkara yang haram… (HR Bukhari dan Muslim)
Sekilas memang banyak orang yang memahami hadits pertama dengan pandangan bahwa yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas, lalu di tengah keduanya adalah hal yang syubhat. Siapa yang jatuh ke dalam syubhat, maka dia akan jatuh ke dalam yang haram.
Dengan pengertian seperti ini, sebenarnya agak rancu. Sebab berarti kita mengatakan bahwa yang syubhat itu sudah pasti hukumnya haram. Maka seharusnya bunyi haditsnya begini, "Yang halal itu adalah yang jelas halalnya, sedangkan yang haram ada dua, pertama yang haramnya jelas dan kedua yang haramnya tidak jelas (syubhat)".
Sementara banyak ulama yang tidak demikian memahami hadits ini. Misalnya kitab yang ditulis oleh Syeikh Shalih bin Abdul Aziz Alu Syeikh. Beliau dalam syarah hadits ini menuliskan bahwa yang dimaksud dengan masalah mutasyabihat adalah hukum sesuatu yang kurang dimengerti oleh orang awam.
Dan kebanyakan umat Islam memang awam dalam hukum-hukum syariah. Karena itu dalam teks hadits ini secara tegas disebutkan, "Kebanyakan manusia tidak mengetahuinya." Maksudnya orang yang tidak belajar ilmu syariah tidak akan mengetahuinya. Sebab yang mereka baca hanya teks yang lahiriyah saja, tanpa mengerti bagaimana cara membedah da mengambil kesimpulan hukumnya.
Maka hadits ini menjelaskan adanya perbedaan antara orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu, khususnya ilmu fiqih atau syariah. Orang yang tidak berilmu akan kesulitan untuk mengetahui hukum-hukum syariah, karena itu dia wajib untuk bertanya kepada yang berilmu, agar tidak jatuh ke dalam masalah yang haram.
Maka makna kalimat "Siapa yang jatuh ke dalam masalah syubhat" adalah orang bodoh (awam) yang tidak tahu hukum seharusnya tidak menabrak perkara yang dia belum tahu ilmunya. Dia harus bertanya kepada orang yang berilmu, kalau tidak, maka dia boleh jadi jatuh ke dalam sesuatu yang diharamkan. (Lihat Kitab Syarah Al-Arba’in An-Nawawiyah).
Penjelasan Pengertian Hadits Kedua
Sedangkan hadits yang kedua, yang menyebutkan bahwa yang halal itu adalah apa yang dihalalkan oleh Allah dalam kitab-Nya, kita perlu lebih teliti dan cermat.
Memang sekilas banyak orang memahami bahwa bila dalam Al-Quran tidak disebutkan secara eksplisit tentang kehalalan suatu hal, maka hukumnya tidak halal. Sebenarnya cara berpikir seperti ini agak keliru dan kurang tepat. Sebab jumlah ayat Quran itu hanya 6000-an saja. Dan yang terkait dengan hukum halal dan haram hanya sebatas 200-an ayat saja. Kalau sesuatu yang halal adalah terbatas hanya yang disebutkan secara ekspisit dalam Quran, maka sedikit sekali hal-hal yang halal di dunia ini.
Maka kita harus memahami masalah ini secara lebih luas. Dan bahwa problematika manusia semakin berkembang dan meluas melebihi apa yang termaktub di dalam kitabullah, sudah sejak zaman nabi terjadi. Bahkan Rasulullah SAW sendiri yang menyebutkan hal itu, yaitu ketika beliau hendak mengutus Muadz bin Jabal ke negeri Yaman.
"Dengan apa kamu akan memutuskan perkara?", tanya nabi SAW. "Dengan kitabullah", jawab Muadz. "Kalau tidak kamu temukan dalam kitabullah?" AKu akan memutuskan perkara berdasarkan sunnah nabi", jawabnya lagi. "Kalau tidak kamu temukan juga?", nabi bertanya lagi. "Aku akan berijtihad", jawab Muadz.
Ijtihad adalah upaya sungguh-sungguh untuk mencari istidlal dari kedua sumber hukum Islam itu, bukan sebatas pada dalil yang sharih dan jelas saja, tetapi kepada hal-hal yang mungkin secara mata awam tidak terlihat. Dan para fuqaha adalah orang yang amat jeli dan teliti. Mereka bisa menarik kesimpulan hukum dari dalil-dalil yang oleh orang lain terlewat begitu saja.
Ijtihad Muadz bukan berarti beliau memutuskan perkara dengan logika dan otak biasa, melainkan beliau akan mengerahkan segenap kecerdasannya untuk mengeksplorasi quran dan sunnah secara lebih mendalam.
Maka kesimpulan yang bisa kita dapat adalah:
- Penjelasan tentang hukum halal dan haram tidak terbatas pada Al-Quran saja, tetapi juga pada sunnah nabawiyah. Sebab keduanya adalah sumber hukum Islam yang sah.
- Sesuatu yang halal itu tidak terbatas hanya yang disebutkan secara eksplisit dalam Al-Quran dan sunnah. Tetapi juga yang masuk dalam kriteria halal dan haram, atau yang disebutkan secara implisit di dalamnya.
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc