Salamullahi alaik…
Banyak hadits yang menerangkan supaya manusia meminta fatwa dari hatinya sendiri. karena sebenarnya hati lebih mengetahui mana yang baik dan buruk, mana yang dosa dan mana yang tidak berdosa. Seolah-olah manusia tidak membutuhkan lagi apa yang namanya mufti (dari luar diri orang itu sendiri), karena di dalam hatinya telah ada mufti yag dimintai fatwa.
Yang menjadi pertanyaan saya, bolehkah manusia hanya bertanya kepada hatinya, tidak membutuhkan ustadz atau ulama lainnya? Kalau tidak boleh, bagaimana sebenarnaya pengertian hadits yang menjelaskan hal ini?
Terima kasih atas jawabannya.
Wassaalam
Assalamu a’laikum warahmatulahi wabarakatuh
Istafti qalbaka adalah sebuah ungkapan untuk menggambarkan sebuah keadaan, di mana seseorang sesungguhnya sudah mengenal halal dan haram, akan tetapi ada dorongan yang kuat dari jiwanya untuk tetap mengerjakan yang haram. Pada saat itu, ada ungkapan, "Silahkan minta fatwa kepada hati nuranimu sendiri."
Istafti qalbaka…
Fatwa yang dimaksud bukan lagi fatwa yang menjelaskan mana halal dan mana haram, dengan dalil-dalilnya. Fatwa itu adalah fatwa yang bersifat perang batin di dalam jiwa seseorang. Sebab sejahat-jahat manusia, sesungguhnya di dalam lubuk hati yang paling dalam ada kebaikan, namun kebaikan ini terkadang tertutupi oleh nafsu, syahwat dan amarah angkara murka.
Namun hati yang paling dalam terkadang bisa muncul mana kala diberi kesempatan. Lalu akan mengalahkan segala bisikan jahat lainnya. Paling tidak, ketika seseorang dalam keadaan yang terancam, biasanya hatinya yang paling dalam akan muncul, lalu ingin kembali kepada kebenaran. Persis seperti yang digambarkan Allah berikut ini.
Dialah Tuhan yang menjadikan kamu dapat berjalan di daratan, di lautan. Sehingga apabila kamu berada di dalam bahtera, dan meluncurlah bahtera itu membawa orang-orang yang ada di dalamnya dengan tiupan angin yang baik, dan mereka bergembira karenanya, datanglah angin badai, dan gelombang dari segenap penjuru menimpanya, dan mereka yakin bahwa mereka telah terkepung, maka mereka berdo’a kepada Allah dengan mengikhlaskan keta’atan kepada-Nya semata-mata., "Sesungguhnya jika Engkau menyelamatkan kami dari bahaya ini, pastilah kami akan termasuk orang-orang yang bersyukur." (QS Yunus: 22)
Hati nurani manusia terkadang lenyap ditelan nafsu, tapi bisa muncul dalam keadaan dirinya terancam. Bahkan seorang atheis yang tidak pernah percaya adanya tuhan, di saat jiwanya terancam, akan berdoa dan tiba-tiba mereka punya tuhan.
Itulah hati nurani yang paling dalam, yang kadang lenyap ditelan nafsu angkara murka. Pada saat seseorang sudah punya ilmu dan bisa membedakan mana halal dan mana haram, tapi masih saja melanggar dan menganggap sepele hukum Allah, kita katakan kepadanya, "Silahkan ajak bicara hati nurani anda sendiri."
Tentu saja ungkapan seperti ini berbeda dengan keadaan seseorang yang tidak tahu hukum suatu masalah. Sementara jiwanya memang ingin menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangannya. Dalam keadaan yang seperti ini, yang berlaku adalah firman Allah SWT,"Fas’aluu ahlazzikri inkuntum laa ta’lamun." Dan tanyakanlah kepada ahli zikr (ulama) bila kamu tidak tahu." (QS An-Nahl: 43 dan QS. Al-Anbiya’: 47)
Jadi memang ada dua kemungkinan dalam masalah ketaatan dan pelaksanaan perintah Allah. Pertama, orang itu sudah tahu hukum halal haram tapi masih suka melanggar. Kepadanya diperintahkan untuk meminta fatwa kepada hati nuraninya. Kedua, orang itu tidak punya ilmu tentang halal haram, kepadanya diperintahkan untuk bertanya kepada para ulama.
Sebenarnya dua karakteristik ini secara tidak langsung juga terjadi kepada dua umat terdahulu, yaitu yahudi dan nasrani.
Umat Yahudi paling banyak didatangi nabi dan kitab suci. Nyaris semua hukum Allah telah mereka tahu dan pahami dengan jelas. Tapi sayangnya jiwa mereka rusak sehingga mereka justru dikenal sebagai umat pembangkang. Membangkang bukan karena tidak tahu, justru sebaliknya mereka adalah orang yang paling tahu. Tapi giliran pelaksanaannya, mereka tidak mau mengerjakan dan gemar melanggar aturan dari Allah. Yang sakit jiwanya, bukan ilmunya. Kepada mereka, kita katakan, silahkan anda bertanya kepada hati nurani kalian. Al-Quran menyebutkan sifat mereka adalah Al-Maghdhubi ‘alaihim (orang-orang yang dimurkai).
Umat Nasrani sebaliknya, mereka tidak punya banyak nabi, bahkan nabi Isa as. pun meninggalkan mereka dalam usia yang sangat muda. Boleh dibilang nabi Isa as. tidak meninggalkan kader kecuali beberapa gelintir orang saja (hawariyyun). Akibatnya, kebanyakan umat nasrani memang tidak punya informasi yang lengkap tentang hukum Allah. Bahkan sampai perkara yang paling sederhana, misalnya siapa yang jadi tuhan, mereka pun tidak tahu. Al-Quran menyebutkan sifat mereka adalah Al-Dhaalliin (orang-orang yang sesat).
Dimurkai dan sesat adalah dua karakter kekufuran abadi sebagaimana yang kita baca tiap hari 17 kali dalam rakaat shalat kita. Namun biasanya, karakter yang pertama ini yang lebih dahsyat dan lebih berat azabnya. Sebab dia sudah tahu tapi melanggar. Karena itu, kita katakan kepada:
.tanyakan sajalah pada hati nurani anda sendiri…
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu a’laikum warahmatulahi wabarakatuh
Ahmad Sarwat, Lc.