Assalammu’laikum Wr. Wb
Pa ustadz yang dirahmati Allah SWT,
Saya terkadang mengisi dakwah/ ceramah di musholla atau di masjid ceramah terkadang mengalir begitu sajasesuai tema yang saya bawakan, di tengah ceramah terkadang ada rujukan beberapa hadits yang saya sampaikan ke jamaah namun saya mengambil poinnya saja seperti " Nabi SAW bersabda…..ila akhir, terkadang kalau ingat dengan arabnya baru artinya kalau lupa saya langsung terjemahanbahasa Indonesia.
Ini saya lakukan tanpadidahului dengan perawinya. Tapi saya ingat hadist tersebut sudah saya baca di sahih Bukhori Muslim, apakah cara seperti ini masih diperbolehkan?
Wassalammulaikum wr. Wb
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ketika seseorang sudah yakin dengan keshahihan suatu hadits, maka tidak ada salahnya dalam menyampaikan tidak lagi disebutkan bahwa hadits itu shahih atau terdapat dalam kitab Shahih Bukhari.
Walaupun sebenarnya akan jauh lebih baik kalau disebutkan, karena jusru akan menguatkan dalam berhujjah. Tapi memang bukan sebagai syarat mutlak.
Semua akan tergantung kepada audience yang ada di depan anda. Kalau mereka orang awam yang butuh penjelasan singkat tanpa menghiraukan urusan isnad, dan karena mungkin bukan farumnya untuk diskusi isnad, silahkan saja disampaikan meski tanpa bicara siapa perawinya.
Akan tetapi ada forum tertentu yang memang dikemas khusus untuk
Tidak Tahu Derajat Hadits
Yang seharusnya dihindari adalah ketika seseorang mengutip hadits yang dia sendiri tidak tahu apakah hadits itu shahih atau tidak. Sebab hal itu bisa menyesatkan umat.
Kalau memang ternyata shahih atau setidaknya maqbul derajatnya, mungkin aman dan tidak masalah. Tapi bagaimana seandainya yang kita sampaikan itu ternyata bukan hadits, melainkan lafadz karangan manusia yang dinisbahkan kepada perkataan nabi Muhammad SAW? Tentu amat besar ancaman adzab yang telah nabi SAW sendiri ingatkan.
Ada satu trik ketika kita tidak yakin derajat hadits tersebut, yaitu kita bisa menggunakan metode kutipan. Kita tidak berhujjah dengan diri kita namun pinjam hujjah orang lain. Jadi kita hanya mengutip hujjah suatu pendapat orang lain dan bukan kita yang sedang berhujjah.
Kalau dalam konteks mengutip pendapat orang lain, kita bisa mengutip pendapatnya itu sekaligus dengan hujjah hadits tersebut, yang kita tidak tahu kedudukannya. Kalau hujjah itu salah, maka yang salah bukan kita tetapi orang itu. Bahwa kita mengutip pendapatnya, itu lain urusan. Karena ketika kita mengutip sesungguhnya tidak lantas kita setuju dengan pendapatnya.
Dengan demikian, kita pun tidak berkewajiban untuk menjelaskan status kedudukan hadits yang kita kutip dari pendapat orang lain.
Hujjah dengan Hadits Dhaif
Bagaimana bila kita yakin suatu hadits dhaif? Masih bolehkah kita menyampaikannya?
Menyampaikan suatu hadits yang derajatnya lemah, misalnya hadits dha’if, tanpa menunjukkan kelemahannya, lalu dijadikan hujjah untuk masalah aqidah dan hukum syariah, tentu merupakan larangan. Sebab nanti akan timbul resiko orang akan berdalil dengan hadits yang kita kutip itu tanpa tahu bahwa ternyata hadits itu bermasalah dari segi kekuatannya.
Sebenarnya menyampaikan hadits yang dhaif tidak masalah, asalkan kita sebutkan bahwa hadits itu dhaif. Adapun apakah hadits dhaif itu bisa dijadikan hujjah atau tidak, di situ ulama berbeda pendapat.
Al-Imam An-Nawawi dan beberapa ulama lain mengatakan bahwa selama suatu hadits tidak parah dalam kedhaifannya, boleh dijadikan dasar penyemangat untuk masalah amal-amal tambahan (fadhailul-a’mal).
Sehingga berdasarkan pandangan seperti ini, sekiranya anda ingin mengikutinya, boleh saja anda kutipkan suatu hadits yang kedhaifannya tidak terlalu parah, sambil tidak lupa menjelaskan status kedhaifan hadits itu dan sekalian dijelaskan bahwa khusus untuk masalah pahala amal sebagian ulama masih membolehkannya.
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc