Assalamualaikum wr. wb.
Ustadz, saya sangat ingin mendapatkan penjelasan tentang qaul shahabi dan ru’yatun nabi. Bagaimanakah kedudukan keduanya sebagai sumber hukum Islam? Jazakallah bi jannah
Wassalamualaikum wr. wb.
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Qaulush-shahabi artinya adalah perkataan, pendapat atau fatwa para shahabat. Termasuk salah satu sumber pengambilan hukum Islam. Posisinya berada setelah urutan sumber-sumber utama yang disepakati, yaitu Al-Quran, As-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Qaulus-shahabi termasuk sumber-sumber hukum Islam yang tidak mencapai derajat ittifaq (sepakat) di antara para ulama. Maksudnya, tidak semua ulama sepakat menggunakannya dalam mengistimbath hukum.
Qaulush-shahabi adalah perkataan para shahabat nabi atas suatu hukum. Secara logika nalar, seharusnya apa yang mereka katakan itu bersumber dari Rasulullah SAW juga. Namun pendapat para shahabat itu terutama muncul manakala tidak ada nash yang sharih (eksplisit) dari Rasulullah SAW tentang suatu masalah. Di situlah kemudian para shahabat mengeluarkan pendapatnya. Selain itu, qaulush-shahabi biasanya berbentuk kesimpulan hukum yang lafadznya tidak langsung dari ucapan nabi SAW, melainkan dari mulut para shahabat. Seperti seorang shahabat berkata, "Rasulullah SAW memerintah kita untuk begini dan begini." Atau perkataan seorang shahabat, "Rasulullah SAW melarang kita untuk begitu dan begitu."
Di antara para ulama yang berpegangan pada qaulush-shahabi adalah Al-Imam Malik rahimahullah. Selain itu beliau juga berpegangan pada sumber istimbath lainnya seperti mafhum mukhalafah, mafhum muwafakah, tanbih alal illah, ijma’, qiyas, amal ahlul madinah (perbuatan penduduk Madinah), istihsan, saddudzarai’, muraatul khilaf, istishab, maslahah mursalah, syar’u man qablana (syariat nabi terdahulu). Beliau yakin bahwa perkataan atau pendapat para shahabat lebih utama untuk dipegang dan diikuti ketimbang ijtihad kita sendiri.
Sebab para shahabat itu pernah hidup bersama dengan Rasulullah SAW. Sehingga mereka bisa dianggap barisan orang yang paling mengerti sunnah beliau, paling paham dengan Islam langsung dari sumber aslinya, serta paling tahu seluk-beluk turunnya Al-Quran.
Bahkan para ulama yang berpegang kepada qaulush-shahabi mengajukan dalil dari Al-Quran Al-Kariem dan As-Sunnah An-Nabawiyah yang menegaskan bahwa Allah SWT dan Rasulullah SAWmemang memerintahkan kita untuk mengikuti sunnah para shahabat beliau. Allah SWT berfirman:
وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
Taatilah Allah, taatilah rasulullah dan para pemimpinmu. (QS An-Nisa: 59)
Mentaati pemimpinmu artinya adalah mentaati para shahabat, karena mereka adalah para pemimpin umat Islam sepeninggal Rasulullah SAW. Demikian juga Rasulullah SAW telah bersabda:
عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي ، وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ مِنْ بَعْدِي
Hendaklah kalian berpegang pada sunnahku dan sunnah para khulafa rasyidin setelahku. (Al-Hadits)
Hadits ini secara tegas memerintahkan kita bukan hanya berpegang kepada sunnah Rasulullah SAW, namun juga kepada sunnah para khulafa’ rasyidin setelah beliau SAW. Yakni apabila tidak ada penjelasan tentang hukum suatu hal dari beliau, maka alternatif berikutnya adalah kita merujuk kepada pendapat, perkataan atau fatwa dari para shahabatnya.
Yang Tidak Menerima Qaulush-Shahabi
Sedangkan di antara para ulama yang tidak menerima konsep qaulush-shahabi antara lain adalah murid Imam Malik sendiri, yaitu Al-Imam As-Syafi’i rahimahullah. Beliau tetap hormat dan mengagungkan para shahabat nabi SAW. Namun untuk kepastian dan keoriginalitasan suatu hukum syariah, beliau memandang bahwa perkataan sahabat kurang punya aspek kekuatan. Ada banyak alasan yang beliau kemukakan, salah satunya karena dianggap perkataan para shahabat itu tidak lebih dari sebuah ijtihad. Dan sebagai ijtihad manusia, masih ada kemungkinan untuk salah.
Padahal yang namanya landasan hukum itu harus pasti kebenarannya. Tidak bisa hanya berdasarkan zhan (kira-kira). Kalau memang Rasulullah SAW telah mengeluarkan hukum, seharusnya ada lafadz asli yang diriwayatkan secara utuh dari beliau SAW. Adapun bila sekedar kesimpulan atas interpretasi seseorang, meski pun yang melakukannya para shahabat, belum cukup untuk sampai ke derajat sebagai sumber hukum yang kuat.
Sebab di antara para shahabat sendiri sesungguhnya masih seringkali terdapat perbedaan interpretasi dalam memahami sabda Rasulullah SAW.
Ru’yatun Nabi
Ru’yatun nabi bisa diartikan mimpi bertemu dengan nabi Muhammad SAW. Kalau dalam pengertian ini, maka bermimpi ketemu beliau di mana di dalam mimpi itu beliau menetapkan hukum agama, tidak bisa dijadikan sumber hukum. Sebab risalah Islam telah selesai semenjak beliau wafat. Hal yang demikian itu sudah menjadi ittifaq para ulama sepanjang zaman.
Namun bisa mimpi bertemu nabi SAW itu tidak ada kaitannya dengan penetapan hukum, misalnya nabi SAW tersenyum, atau berbicara tentang hal-hal di luar hukum Islam yang baku, boleh-boleh saja dan mungkin-mungkin saja.
Kalau hari ini ada orang yang mengaku bermimpi bertemu nabi SAW, lalu mengatakan bahwa beliau SAW telah menetapkan suatu hukum yang merupakan bagian dari agama, ketahuilah bahw mimpi itu bohong besar. Yang terjadi sesungguhnya bukan dia bertemu nabi, tetapi bertemu dengan syetan yang terkutuk.
Memang benar ada riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW tidak bisa diserupakan dengan syetan. Sebagaimana hadits berikut
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال سمعت النبي صلى الله عليه وسلم يقول: (من رآني في المنام فسيراني في اليقظة ولا يتمثل الشيطان بي) قال ابن سيرين: إذا رآه في صورته. رواه البخاري
Dari Abu Hurairah ra berkata: Aku mendengar Nabi SAW bersabda, "Siapa yang melihatku di dalam mimpi, maka akan melihatku dalam jaga. Dan syetan tidak bisa menyerupaiku." (HR Bukhari)
Tapi masalahnya, apa orang yang mimpi itu sudah mengenal rupa Rasulullah SAW dengan tepat 100%? Yang jelas sekarang ini, tidak ada orang yang pernah hidup di masa beliau SAW hidup. Sehingga tidak ada seorang pun yang tahu persis seperti apa rupa beliau SAW.
Maka kalau ada syetan masuk ke dalam mimpi seseorang dengan berkostum Arab, lengkap dengan jenggot, unta, tasbih, pedang dan hidung mancung, lalu mengaku sebagai nabi Muhammad SAW, siapa yang bisa memastikan bahwa dia memang Rasulullah SAW atau syetan yang menyamar? Tidak ada seorang pun yang bisa memastikan.
Tapi kita bisa memastikan satu hal. Kalau orang dalam mimpi itu mengaku sebagai nabi SAW, lalu menetapkan suatu hukum agama, pastilah dia bukan Rasulullah SAW. Sebab risalah sudah berakhir dengan wafatnya beliau. Maka tidak ada kamus bagi Rasulullah SAW untuk datang lewat mimpi seseorang dan memberikan syariat baru edisi revisi.
Imam An-Nawawi di dalam kitab Al-Majmu’ Syarah Al-Muhazab jiid 6 halaman 292 menyebutkan: Misalnya pada malam 30 bulan Sya’ban orang-orang tidak melihat hilal (bulan sabit), lalu ada orang yang mimpi bertemu Rasulullah SAW yang bersabda, "Malam ini sudah masuk awal Ramadhan." Maka tidak sah berpuasa esoknya dengan landasan mimpi orang itu, baik bagi yang bermimpi maupun bagi orang lain.
Dalam kesempatan lain, beliau juga menyampaikan argumen lain. Katakanlah seseorang memang benar-benar bertemu Rasulullah SAW dalam mimpinya. Dan katakanlah juga bahwa 100% bisa diyakinkan bahwa yang muncul itu memang sosok Rasulullah SAW. Dan saat itu Rasulullah SAW menetapkan hukum tertentu. Begitu orang itu terjaga, apa yang didapatnya dari Rasulullah SAW dalam mimpi tetap saja tidak bisa diterima sebagai sebuah riwayat yang shahih. Sebab salah satu syarat seorang perawi itu harus ‘aqil (orang yang berakal). Sedangkan orang yang tidur, dia tidak termasuk berakal. Jadi kalaupun dia meriwayatkannya, tetap tidak bisa diterima secara aturan dasar periwayatan hadits.
Wallahu a’lam bishshawab. Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Ahmad Sarwat, Lc.