Dalam fikih dan hadis , fajar ada 2 jenis, yaitu fajar shadiq (atau subuh shadiq) dan fajar kadzib (atau kadzdzab), dalilnya adalah sabda Nabi saw dalam salah satu redaksinya:
الفَجْرُ فَجْرَانِ، فَجْرٌ يُقَالُ لَهُ: ذَنَبُ السِّرْحَانِ؛ وَهُوَ الْكاَذِبُ يَذْهَبُ طُوْلاً، وَلاَ يَذْهَبُ عَرْضاً، وَالْفَجْرُ اْلآخَرُ يَذْهَبُ عَرْضا،ً وَلاَ يَذْهَبُ طُوْلاً
“Fajar itu ada 2; fajar yang disebut sebagai ekor serigala yaitu fajar kadzib yang datang menjulang, tidak membentang, dan fajar yang lain (yang akhir) datang membentang dan tidak menjulang.” (Silsilah as-Shahihah, 2002; ia memiliki saksi hadits no. 693 dan 2031)
Imam Abu Mijlaz (Lahiq ibn Humaid as-Sadusi al-Bashri, w. 100 atau 101 H) seorang tabi’in yang meriwayatkan dari Abu Musa al-Asy’ari, Hasan ibn Ali dan Muawiyyah serta Imran ibn Hushain, berkata:
«الضَّوءُ السّاطِعُ في السَّمَاءِ لَيْسَ بِالصُّبْحِ، وَلَكِنَّ ذَاكَ الصُّبْحُ الكَذّابُ. إنما الصُّبْحُ إِذَا انْفَضَحَ الأُفُقُ
“Cahaya yang menjulang (meninggi) di langit bukanlah subuh, akan tetapi itu adalah fajar kadzib. Sesungguhnya subuh itu adalah apabila ufuk menjadi terbuka (tersingkap) berwarna putih.”[1]
Imam Al-Azhari (w. 370 H) dalam Tahdzib al-Lughah, pada materi Shubh (4/268) berkata:
وَلَوْنُ الصُّبْحِ الصَّادِقِ يَضْرِبُ إِلَى الحُمْرَةِ قَلِيْلاً كَأَنَّهَا لَوْنُ الشَّفَقِ الْأََوَّلِ فِي أَوَّلِ اللَّيْلِ اهـ
“Dan warna fajar shadiq sedikit condong (mengisyaratkan) kepada warna merah seolah-olah ia warna mega pertama di awal malam.”
Sementara dalam sunnah Nabi , fajar kadzib dan fajar shadiq itu disebut dengan banyak nama atau istilah, antara lain secara berpasangan: fajar mustathil (meninggi) dan fajar mustathir (menyebar membentang), Albayadh (hamburan cahaya putih) dan bayadh an-nahar (putihnya siang), as–sathi’ (terang ke atas) dan al-Mu’taridh al-Ahmar (membentang kemerahan). Sementara untuk fajar shadiq sendiri masih memiliki sifat-sifat yang lain misalnya al-bayyin, al-munfajir, al-muntasyir ‘ala ru`usil jibal.Hakikat fajar shadiq namun jawabannya adalah salah satu hadits tentang selesainya Nabi dari shalat subuh.
Fajar shadiq adalah sesuatu yang konstan sementara selesainya Nabi dari shalat subuh tidaklah konstan, apa maksud dari Fajar Shadiq , dapat menyimpulkannya harus dijelaskan dengan hal hal sbb :
a. disebutkan kumpulan hadits-hadits tentang sifat fajar, sehingga kita benar-benar memahami apa yang dimaksud oleh Allah dan oleh Rasulullah , sebab hadits menafsiri ayat dan hadits juga menafsiri hadits. Lebih dari itu harus mengemukakan pemahaman para sahabat tentang sifat-sifat fajar ini karena mereka adalah manusia yang paling mengerti tentang maksud Rasulullah dan telah mengamalkan fajar shadiq tanpa perselisihan.
b. sedangkan untuk selesainya Nabi dari shalat subuh maka harus dihadirkan sendiri kumpulan hadits tentang itu. Selain itu harus menyebutkan kumpulan hadits yang menerangkan kadar bacaan Nabi dalam shalat subuh, sehingga gambarannya utuh tidak sepotong-potong.
Untuk masalah selesainya Nabi dari shalat subuh maka kesimpulan yang benar adalah sebagai berikut:
– Selesai dari shalat subuh di waktu ghalas bukanlah termasuk petunjuk Nabi yang terus menerus. Beliau bervariasi dalam hal ini; terkadang beliau keluar saat ghalas, dimana para sahabat belum bisa saling mengenali wajah, dan terkadang pula selesai pada saat isfar (terang), dimana para sahabat sudah bisa mengenali wajah.
– Selesai pada waktu ghalas diterangkan oleh hadits Aisyah :
كُنَّ نِسَاءٌ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ يَشْهَدْنَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- صَلاَةَ الْفَجْرِ مُتَلَفِّعَاتٍ بِمُرُوطِهِنَّ ، ثُمَّ يَنْقَلِبْنَ إِلَى بُيُوْتِهِنَّ حِيْنَ يَقْضِيْنَ الصَّلاَةَ لاَ يَعْرِفُهُنَّ أَحَدٌ مِنَ الْغَلَسِ
“Ada sekumpulan wanita mukminat menghadiri shalat subuh bersama Nabi dalam keadaan berselimutkan kain penutupnya kemudian beranjak pulang ke rumah-rumah mereka ketika usai melakukan shalat, mereka tidak dikenali oleh seorang pun karena ghalas (gelap akhir malam di awal waktu subuh).” (HR. Bukhari, Muslim (2/119), Nasa`i (94), Ibn Majah (669), Thayalisi (206), Ahmad (6/33; 37; 248) dan Thahawi, 104.)
– Selesai dari shalat pada waktu isfar, yaitu pada saat saling mengenali wajah, diterangkan oleh dua hadits:
1. Hadits Abu Barzah al-Aslami ra dia berkata:
” كَانَ رَسُوْلُ اللهِ ( صلى الله عليه وسلم ) يَنْصَرِفُ مِنَ الصُّبْحِ فَيَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى وَجْهِ جَلِيْسِهِ الَّذِيْ يَعْرِفُ فَيَعْرِفُهُ ”
“Adalah Rasulullah selesai dari shalat subuh lalu seseorang melihat kepada wajah teman duduknya yang ia kenal maka ia mengenalinya.” (Diriwayatkan oleh as-Sittah (6 Imam) kecuali Tirmidzi, Baihaqi dan Ahmad; ditakhrij oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Abu Daud 587; hadits muttafaq ‘alaih.)
Sayyar ibn Salamah berkata: Saya dan ayah saya menemui Abu Barzah al-Aslami, lalu ayah saya bertanya kepadanya: Bagaimana Rasulullah dulu melakukan shalat wajib? Maka beliau menjawab (menerangkan shalat Nabi di 5 waktu, diantara jawabannya adalah):
وَكَانَ يَنْفَتِلُ مِنْ صَلاَةِ اْلغَدَاةِ حِيْنَ يَعْرِفُ الرَّجُلُ جَلِيْسَهُ وَيقْرَأُ باِلسِّتِّيْنَ إِلَى الْمِائَةِ.
“Beliau selesai dari shalat subuh ketika seseorang mengenali teman duduknya, dan beliau membaca 60 hingga 100 ayat.” (Muttafaq ‘alaih; Abu Daud (66); Nasai (92); Thahawi (105), Ahmad (4/420, 423- 425)
2. Hadits Anas ra.
Abu Shadaqah Maula Anas berkata:
” سَأَلْتُ أَنَسًا عَنْ صَلاَةِ رَسُوْلِ اللهِ ( صلى الله عليه وسلم ) فَقَالَ : كَانَ رَسُوْلُ اللهِ ( صلى الله عليه وسلم ) يُصَلِّى الظُّهْرَ إِذَا زَالَتِ الشَّمْسُ وَالْعَصْرَ بَيْنَ صَلاَتَيْكُمْ هَاتَيْنِ وَالْمَغْرِبَ إِذَا غَرَبَتِ الشَّمْسُ وَاْلعِشَاءَ إِذَا غَابَ الشَّفَقُ وَالصُّبْحَ إِذَا طَلَعَ الْفَجْرُ إِلَى أَنْ يَنْفَسِحَ الْبَصَرُ “
“Saya bertanya kepada Anas tentang Shalat Rasulullah r maka dia berkata: Rasulullah dulu shalat Zhuhur ketika matahari tergelincir, dan asar diantara dua shalat kalian ini, dan maghrib apabila matahari telah terbenam, sedangkan isya` ketika mega (merah) menghilang dan subuh ketika terbit fajar hingga pandangan terbuka.” (HR. Nasa`i, 1/94-95; Ahmad (3/129, 169), redaksi ini miliknya dan sanadnya shahih, para perawinya adalah para perawi Bukhari dan Muslim, kecuali Abu Shadaqah yang namanya Naubah al-Anshari al-Bashri. Demikian ucapan Syaikh al-Albani)
Kemudian, Nabi tidak memulai shalat subuh saat isfar kecuali sekali. Abu Mas’ud al-Anshari t berkata:
: ((وَصَلَّى الصُّبْحَ مَرَّةً بِغَلَسٍ ثُمَّ صَلَّى مَرَّةً أُخْرَى فَأَسْفَرَ بِهَا كَانَتْ صَلاَتُهُ بَعْدَ ذَلِكَ الْغَلَسَ حَتَّى مَاتَ لَمْ يَعُدْ إِلَى أَنْ يُسْفِرَ))
“Rasulullah shalat shubuh pada suatu kali di waktu ghalas, kemudian pada kali yang lain pada waktu isfar. Setelah itu shalat beliau di waktu ghalas sampai beliau wafat, tidak pernah lagi pada waktu isfar.” (HR. Abu Daud, 65; Thahawi, 104; Daruquthni, 93; Ibn Hibban dalam shahihnya. Ini adalah sanad yang hasan seperti yang dikatakan oleh Nawawi, sementara al-Khatthabi mengatakan: shahih sanadnya.”
Kedua: penerjemahan istilah ghalas dengan “saat kelam pada akhir malam” atau “gelap” begitu saja kurang bisa memberikan pemahaman yang benar, belum bisa memahamkan maksud Rasulullah , sebab ghalas itu adalah:
ظُلْمَةُ آخِرِ اللَّيْلِ إِذَا اخْتَلَطَتْ بِضَوْءِ الصَّبَاحِ، أَوْ بِبَيَاضِ النَّهَارِ
“Gelap akhir malam yang telah bercampur dengan cahaya pagi atau putihnya awal siang.” Atau suasana gelap di akhir malam pada saat fajar shadiq tampak terang membentang. Perhatikan hadits Jabir t berikut:
كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يُصَلِّى الظُّهْرَ بِالْهَاجِرَةِ، وَالْعَصْرَ وَالشَّمْسُ نَقِيَّةٌ، وَالْمَغْرِبَ إِذَا وَجَبَتْ، وَالْعِشَاءَ أَحْيَانًا وَأَحْيَانًا، إِذَا رَآهُمُ اجْتَمَعُوا عَجَّلَ، وَإِذَا رَآهُمْ أَبْطَوْا أَخَّرَ، وَالصُّبْحَ كَانُوا – أَوْ كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يُصَلِّيهَا بِغَلَسٍ
“Nabi shalat zhuhur di waktu sangat panas (di pertengahan hari), ashar pada saat matahari cerah, maghrib jika matahari terbenam, sedangkan isya` kadang segera kadang lambat, jika melihat mereka telah berkumpul beliau menyegerakan dan jika melihat mereka terlambat maka beliau mengakhirkan, sementara subuh mereka- atau Nabi r– melaksanakannya di waktu ghalas.” (HR. Bukhari, 560, Muslim, 1423, Abu Daud, 397, Nasai dalam assughra 281)
Sementara di hadits Jabir yang lain kata ghalas ini diganti (ditafsiri) dengan “ketika fajar telah tampak terang pada beliau”.
صَلَّى رَسُوْلُ الله الصُّبْحَ حِيْنَ تَبَيَّنَ لَهُ الصُّبْحُ.
“Rasulullah Sholallohu `alaihi wa sallam shalat subuh ketika tampak terang pada beliau subuh (fajar shadiq).” (HR. Nasa’i, 543, dari Jabir).
Jadi ghalas adalah awal waktu subuh yaitu suasana gelap akhir malam yang telah bercampur dengan cahaya fajar shadiq. Pada saat ghalas tersebut gelap masih mendominasi, sehingga masih tidak bisa mengenali wajah orang lain, sebagaimana hadits Aisyah di atas. Ibnu Zubair berkata:
كُنَّا نُصَلِّي مَعَ عُمَرَ بِغَلَسٍ فَيَنْصَرِفُ أَحَدُنَا وَلاَ يَعْرِفُ وَجْهَ صَاحِبِهِ
“Kami shalat subuh bersama Umar di waktu ghalas, lalu salah seorang kami beranjak pergi dan tidak mengenali wajah sahabatnya.” (HR. Ibn Majah; Ithaf al-Khiyarah al-Maharah bi Zawaidil Masanid al-Asyrah, 1/126).
Maka kalau kita runut perubahan waktu malam itu kira-kira sebagai berikut: pertama adalah ‘atamah (Zhulmatullail, gelap malam), lalu muncul fajar kadzib, maka waktu itu disebut sahar, kemudian terbit fajar shadiq, maka saat itu mulai disebut ghalas (gelap campur terangnya fajar shadiq, termasuk berkembang menjadi ghabasy), lalu (kira-kira 30 menit berikutnya) adalah isfar (pagi yang terang), lalu humrah (merahnya ufuq menjelang matahari terbit, kemudian syuruq (terbit matahari).
Dalam Gharibul Hadits milik Ibrahim al-Harbi (2/489/no. 742) disebutkan bahwa ghabasy sama dengan ghalas (atau ghabasy adalah bagian akhir dari ghalas). Aisyah berkata:
كَانَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه يُصَلِّي الْفَجْرَ، وَتَخْرُجُ النِّسَاءُ مُتَلَفِّعَاتٍ بِمُرُوْطِهِنَّ، وَمَا يُعْرَفْنَ مِنَ الْغَبَشِ
“Rasulullah shalat fajar, dan kaum wanita keluar dengan menutup seluruh tubuhnya dengan kainnya (terbuat dari wol, atau linen), dan tidak dikenali karena ghabasy (sisa gelapnya malam).
[1] Al-Afdhah adalah al-abyadh (putih) yang tidak sangat putih. Dari Jami’ul Bayan 2/235, no. 2450.
Ustadz Agus Hasan Bashori, Lc, MAg
Bersambung…