Assalamu alaikum wr wb.
Semoga pak ustadz sekeluarga mendapat ridha Allah.
Seorang mengatakan bahwa di masa kini sudah tidak relevan lagi bicara jihat dalam pengertian perang, apalagi ada hadits nabi yang mengatakan bahwa kita kembali dari jihad kecil menuju jihad besar, yaitu melawan hawa nafsu.
Pernyataan ini mengusik rasa ingin tahu saya tentang kedudukan hadits itu.
Siapa yang merawikan dan apa statusnya? Benarkah jihad secara pisik itu hanya jihad kecil?
Sebelumnya saya ucapkan terima kasi
Wasalam
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Kalimat ini menurut para ahli riwayat bukanlah sabda Rasulullah SAW. Namun di tengah masyarakat memang sudah terlanjur populer, bahkan tidak sedikit yang mengaitkannya dengan sabda Rasulullah SAW.
Sebagai muslim, kita wajib bersikap kritis dan teliti. Jangan sampai kita salah dan menggampangkan masalah. Lebih baik kita bertanya kepada ahlinya sebelum bicara.
Tidak ada salahnya bila kita banyak membuka kitab tentang kritik hadits untuk memastikan keshahihan riwayatnya. Atau setidaknya kita bertanya kepada para ulama ahli hadits, bukan kepada sembarang ustadz atau kiyai.
Sebab urusan keshahihan suatu hadits tidak bisa ditetapkan oleh sembarang orang. Hanya mereka yang belajar serius di bidang ilmu hadits saja yang punya otoritas dan kompetensi untuk menjelaskannya.
Bukan Hadits
Lafadz ini oleh para ulama hadits ditetapkan bukan sabda nabi, melainkan perkataan orang lain. Adalah Ibrahim bin Abi Abalah yang disebut-sebut sebagai sumbernya. Kitab yang paling terkenal dalam ilmu periwayatan hadits, Siyar a’lamin nubala, yang disusn oleh Adz-Dzahabi, pada halaman 325 jilid 6 menyebutkan bahwa Ibnu Abi Abalah berkata, "Kalian telah pulan dari perang terkecil, lalu perbuatan apa yang kalian perbuat untuk menghadapi perang besar (melawan hawa nafsu)?."
Jelaslah bahwa yang mengucapkan lafadz ini bukan nabi SAW, melainkan orang lain..
Dalam kitab Tasdidunnufus, Al-Asqalani berkata bahwa lafadz tersebut memang populer di kalangan umat, tetapi ini adalah perkataan Ibrahin bin Abi Abalah dalam kitab Al-Kina karya An-Nasai.
Al-Qari menyebutkan bahwa lafadz ini terdapat dalam kitab Al-Ihya’.
Muhaddits kontemporer, Syeikh Nashiruddin Al-Albani menyebutkan dalam kitab Silsilah Ahadits Dhaifah jilid 5, hadits nomor 2460 bahwa haditsnya diingkari (munkarul hadits).
Siapakah Yang Mengucapkan?
Sudah disebutkan di atas bahwa lafadz ini bukan sabda nabi, melainkan perkataan Ibrahim bin Abi Abalah.
Ibrahim bin Abi Abalah adalah seorang yang termasuk generasi tabiin, satu level di bawah generasi shahabat.
Disebutkan bahwa beliau lahir pada tahun 60 hijriyah, atau 50 tahun setelah nabi SAW wafat. Sebuah sumber menyebutkan bahwa beliau wafat pada tahun 152 hijriyah.
Beliau adalah orang yang mengatakan lafadz ini dan bukan riwayat dari Rasulullah SAW seperti anggapan sebagian orang. Namun di luar lafadz ini, beliau tercatat pernah meriwayatkan sekitar 100-an hadits dari nabi SAW.
Boleh jadi beliau memang tidak berniat memalsu hadits nabawi, namun orang-orang yang keliru mengutip perkataannya sebagai sabda nabi SAW..
Karena itu kita boleh saja menyampaikan lafadz itu, selama tidak mengatakannya sebagai sabda nabi SAW.
Dan intinya memang di situ, bahwa perkataan siapa pun bisa diterima atau ditolak, kecuali sabda nabi SAW.
Lafadz ini bisa saja kita tolak karena bukan sabda seorang nabi. Apalagi ketika digunakan untuk mementahkan semangat jihad secara pisik di kalangan umat, wa bil khusus, generasi mudanya.
Jihad melawan hawa nafsu memang berat dan banyak orang yang tidak lulus di dalamnya.
Namun jihad secara pisik juga tidak ringan, karena memutuhkan pengorbanan yang tidak kecil. Mulai dari latihan, keterampilan, kekuatan pisik, kesehatan, biaya, kesiapan mental hingga resiko meninggal di medan tempur, semua bukan perkara ringan.
Belum lagi resiko cacat seumur hidup bila selamat.
Yang pasti, karena beratnya jihad secara pisik ini, Allah membebaskan para mujahidin yang syahid dari segala bentuk pertanyaan di akhirat. Mereka masuk surga langsung tanpa hisab, bahkan tanpa harus dikafani atau dimandikan jenazahnya.
Pendeknya, surga sudah di tangan sejak masih hidup. Mana ada amal selain jihad yang se besar itu ganjarannya?
Apalagi Allah SWT telah berfirman
Allah telah melebihkan mujahidin dari pada orang duduk dengan ganjaran yang besar(QS. Annisa 59)
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Ahmad Sarwat, Lc