Assalamu’alaikum wr. wb.
Ustadz saya mau nanya bagaimana kita mengetahui suatu hadist shahih atau tidak, jika dalam sebuah hadist disebutkan perawinya tapi tidak diberi keterangan tentang perawi-perawi itu? Setahu saya doa berbuka yang diawali dengan allahumma lakasumtu… dst tidak shahih tapi saya melihat masih banyak yang menggunakan doa itu bahkan ustadz yang saya percaya pun menggunakan doa itu. Bagaimana ustadz?
jazakumullah khairan katsir
wassalamu’alaikum wr.wb
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Apa yang anda tanyakan itu memang masih merupakan pe-er buat para ulama hadits di masa sekarang ini. Sebab belum semua dari riwayat-riwayat itu yang telah diteliti keshahihannya.
Misalnya, Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim. Keduanya sudah mengerahkan seluruh tenaga, waktu, pikiran dan kehidupannya untuk mengabdi di bidang penelusuran riwayat hadits. Tetapi harus diketahui bahwa di luar apa yang telah mereka kumpulkan dalam kitab shahih masing-masing, masih banyak lagi hadits yang belum di-takhrij secara menyeluruh.
Enam kitab induk hadits (kutubussab’ah) atau sembilan kitab hadits (kutubutis’ah) sebenarnya sudah agak mewakili banyak hadits, namun belum bisa dikatakan bahwa keseluruhan hadits ada di sana. Padahal yang di kesembilan kitab itu sendiri belum semua selesai pentakhrijannya. Dan kalau kita bicara tentang hadits-hadits lainnya di luar keenam atau kesembilan kitab itu, tentunya masih perlu begitu banyak source yang dipersiapkan.
Karena itu upaya untuk membuat ensiklopedi hadits sampai hari ini belum pernah bisa tercapai. Mengingat jumlah butir hadits yang terlalu banyak, bahkan mencapai jutaan. Padahal satu persatu harus diteliti dari A sampai Z.
Sayangnya lagi, lembaga-lembaga tempat berkumpulnya para ulama di dunia belum bersinergi. Masing-masing masih bekerja sendiri-sendiri. Al-Azhar As-Syarif di Cairo sudah mempeloporinya, Dr. Yusuf Al-Qaradhawi di Qatar bersama dengan timnya juga sudah mulai mengerjakan, belum lagi di Saudi Arabia dan Negara Kuwait. Sayangnya, masing-masing jalan sendiri-sendiri tanpa ada semacam kerjasama dengan satu grand desain yang serius.
Yang jelas semua resources sangat diperlukan, selain para profesor dan doktor hadits, juga diperlukan dana yang tidak sedikit untuk menunjak proyek maha raksasa ini. Juga dibutuhkan para programer kawakan untuk mengerjakan programing dan pen-database-annya. Termasuk para editor dan peneliti ahli yang akan memeriksa semua bugs dan kesalahan.
Bayangkan, kita bicara tentang sistem data base yang berisi semua rekaman hidup seorang Muhammad SAW yang hidup 1.400-an tahun yang lalu, baik perkataannya, perbuatannya ataupun sikapnya. Semua sampai kepada kita dari kisah 23 tahun kenabiannya, lewat jutaan para perawi hadits yang berserak mulai dari ujung barat Maroko hingga ujung Timur Marauke. Di dalamnya, tiap field data harus mendapatkan penilaian tersendiri dari para begawan ilmu hadits atas kekuatan dan ketinggian derajatnya, sesuai dengan tolok ukur ilmu takhrij hadits.
Walhasil, sampai hari ini karya gemilang yang dinantikan masih belum kunjung terlaksana. Umat Islam rasanya masih harus bersabar beberapa tahun lagi untuk bisa menikmati karya besar warisan nabi dalam format yang sudah siap pakai.
Selama ini kita masih harus bersabar dengan hadits-hadits dengan jumlah terbatas, misalnya yang ada pada 2 kitab Shahih Bukhari dan Muslim, atau silsilah hadits shahih karya Syaikh Nasiruddin Al-Albani yang fenomenal. Selebihnya, setiap ulama harus melakukan dulu takhrij secara sendirian, buka kitab ini dan buka kitab itu, terus ditelusuri sebatas jumlah koleksi kitab rujukan yang dimilikinya, akhirnya setelah bersusah payah, dapatlah kesimpulan tentang derajat suatu hadits.
Bisa jadi memakan waktu berhari-hari, berminggu, berbulan bahkan bertahun-tahun.
Allahumma Laka Shumtu: Dhoif?
Lafadz doa buka puasa yang memang sangat populer itu bila kita teliti secara riwayat, memang banyak yang mengatakan kelemahannya. Bunyinya adalah:
اللهم لك صمت وعلى رزقك أفطرت
Ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa dan atas rezeki dari-Mu aku berbuka
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud, At-Thabarani dan Ad-Daaruquthuny dengan sanad yang lemah, bahkan satu dengan lainnya tidak bisa saling menguatkan, bahkan lafadznya pun berbeda-beda.
Menurut versi riwayat Abu Daud dan lainnya seperti Ibnul Mubarak dalam Al-Zuhd, atau seperti Al-Baihaqi, Ibnu Abi Syaibah lewat jalur Mu’az bin Zahrah adalah:
Apabila nabi SAW berbuka puasa, beliau mengucakan:
اللهم لك صمت وعلى رزقك أفطرت Allahumma laka shumtu, wa ‘ala rizkika afthartu."
Dalam hadits ini ada ‘illat, yaitu ketidak-jelasan identitas Muaz. Ibnu Hajar mengatakan hadits ini maqbul bila ada ikutannya, bila tidak maka hadits ini lemah sanadnya dan mursal. Hadits mursal menurut pendapat yang rajih dari mazhab As-Syafi’i dan Ahmad tidak bisa dijadikan hujjah. Ini berbeda dengan metodologi Imam Malik yang sebaliknya dalam masalah hadits mursal.
Hadits ini juga tidak punya shawahid yang mengangkatnya mencapai derajat hasan.
Imam At-Thabarani meriwayatkannya di dalam kitab Ash-Shaghir dan Awsath, lewat jalur Daud bin Az-Zabarqan dengan lafadz:
Apabila nabi SAW berbuka puasa, beliau mengucakan:
بسم الله اللهم لك صمت وعلى رزقك أفطرت Bismillahi allahumma laka shumtu, wa ‘ala rizkika afthartu."
Imam Al-Hafidz mengomentari Daud sebagai orang yang matruk (riwayatnya ditinggalkan). Abu Daud juga memvonisnya sebagai matruk.
Ad-Daruquthuny, Ibnussunni dan At-Tahabari meriyawatkan juga lewat jalur Abdul Malik bin Harun. Namun Az-Zahab mengomentari Abdul Malik sebagai orang yang ditinggalkan riwayatnya. Lafadznya:
اللهم لك صمنا وعلى رزقك أفطرنا اللهم تقبل منا إنك أنت السميع العليم
Allahumma laka shumna, wa ‘ala rizkika aftharna, Allahumma taqabbal minna innaka antas samiul-alim.
Syeikh ‘allamah Al-Albani di dalam Al-Irwa’ jilid 4 halaman 36 telah menetapkan kedhaifannya
Berdoa dengan Hadits yang Tidak Shahih
Meski kita bisa menerima bahwa secara jalur sanad bahwa lafadz hadits doa ini lemah, namun yang jadi pertanyaan adalah:
Apakah tiap berdoa diharuskan hanya dengan menggunakan lafaz dari nash quran dan hadits saja?
Nyatanya, para ulama berbeda pendapat tentang hukum berdoa dengan menggunakan lafadz hadits yang derajat keshahihannya masih menjadi perdebatan.
Sebagian mengatakan tidak boleh berdoa kecuali hanya dengan lafadz doa dari hadits yang sudah dipastikan keshahihannya. Namun sebagian yang lain mengatakan tidak mengapa bila berdoa dengan lafadz dari riwayat yang kurang dari shahih.
Bahkan dalam lafadz doa secara umum, pada dasarnya malah dibolehkan berdoa dengan lafadz yang digubah sendiri. Apalagi ada zhan bahwa lafadz itu diucapkan oleh Rasulullah SAW.
Namun memang demikian adanya, di mana saja kapan saja, para ulama sangat mungkin terjebak dengan perbedaan sudut pandang.
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc.