Yth Bapak Ustad
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Saya mau bertanya apakah orang yang sedang sholat dengan sarung atau celana panjang yang sampai menutup mata kaki termasuk orang yang sholat dengan sombong. Katanya sarung atau celana panjang harus di atas mata kaki ketika sholat.
Tapi bagaimana kalau sama sekali tidak ada rasa sombong dalam hati ketika sholat meskipun celana panjangnya sampai menutup mata kaki, Apakah sholat bisa diterima oleh Allah SWT.
Demikian pertanyaan saya, sebelumnya saya haturkan terima kasih
Wassalam
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Apa yang anda tanyakan itu sebenarnya sebuah polemik berkepanjangan yang tidak pernah ada habisnya. Dan melibatkan begitu banyak pihaksepanjang zaman. Serta telah menghabiskan begitu banyak resources, energi, waktu, kesempatan serta potensi terpendam umat ini. Sungguh begitu banyak maksiat dan keretakan persaudaraan di dalam tubuh umat lantaran meributkan urusan ujung celana.
Setiap hari kami menerima pertanyaan seperti ini, dengan masing-masing motivasinya. Dan ternyata pertanyaan seperti ini kami terima tanpa pernah ada habisnya juga.
Padahal semua itu dikeluarkan untuk sekedar memperdebatkan masalah ini, yang dari zaman kuda gigit besi sudah ramai diributkan, dan sampai hari ini tetap tidak ada penyelesaiannya.
Di satu sisi, kita melihat pemandangan unik. Di sana nampak saudara-saudara kita sibuk mencari dalil, hujjah dan argumentasi untuk ditusukkan ke lambung saudara kita yang lain, sekedar untuk mengatakan bahwa ujung celana yang melewati mata kaki itu adalah api neraka. Sebagian dari mereka bahkan sampai tidak mau bertegur sapa dengan orang yang celananya melewati mata kaki. Bahkan ada juga yang sampai mencaci makinya di depan umum karena urusan ini.
Anehnya, ke mana pun pergi, urusan ujung celana ini selalu menjadi primadona pembicaraannya, yang intinya ingin mencap pelakunya sebagai para pendosa, ahli bid’ah sampai jadi calon penghuni neraka. Pelakunya harus diperangi, dibokot, dikucilkan, bahkan diintimidasi kalau perlu.
Kita hanya bisa mengurut dada melihat pemandangan seperti ini. Kok sampai segitunya, ya?
Disisi lain, kita juga melihat sebagian saudara kita yang lain merasa ‘terganggu’ dengan sikap demikian. Lantas mereka pun tidak mau kalah dan balas menyerang, sambil menyebutkan semua kejelekan-kejelekannya. Bahkan sampai mencap lawan mereka sebagai keturunan suku-suku penyamun di gurun pasir Arabia, dan seterusnya dan seterusnya…nauzdu billahi min zalik.
Lalu apakah umat yang seperti ini yang diharapkan oleh Rasulullah SAW? Akankah beliau berbahagia, bila melihat umatnya saling cakar, saling ceker dan saling cokor terhadap sesama? Sudikah beliau memberikan syafaat udzma di yaumil hisab nanti, kalau pemandangan umatnya macam ini? Hanya beliau SAW yang bisa menjawabnya.
Sungguh masalah ujung celana ini sudah sedemikian merampas kenikmatan yang Allah berikan. Berkah berukhuwah dan persaudaraan telah sirna karenanya. Indahnya kemesraan antara sesama umat Rasullah SAW entah hilang ke mana. Ke laut, kali…
Maka alangkah indahnya bila kita sejenak merenung atas beberapa hal. Misalnya, apakah amar makruf nahi mungkar yang telah kita lakukan ini sudah bisa terlaksana dengan indah dan nyaman? Ataukah malah melahirkan kemungkaran baru?
Haruskah kita selalu saling menjelekkan? Haruskah kita selalu menguntit dan mencari-cari kesalahan saudara kita? Masih tegakah kita melihat pemandangan kurang menyenangkan sepertiini?
Mengapa kita tidak duduk bersama dengan baik-baik, saling membuka referensi, saling bertukar informasi, saling menyampaikan ilmu dengan penuh kemesraan? Mengapa kritik dan sanggahan itu harus hujatan dan cemoooah, yang kemudian disebarkan dalam berbagai berbentuk seperti buku, kaset, rekaman video, situs internet dan media lainnya, yang kemudian hanya membongkar dan menyebar-luaskan aib sesama kita? Dan mengapa kita harus selalu berbantahan dalam perkara agama? Tidakkah ada cara yang lebih elegan, sopan, santun dan indah untuk mencari jalan tengah?
Apakah dengan berbantahan seperti ini, urusan umat ini akan selesai? Atau malah tambah ruwet lagi?
Di sisi lainnya lagi, kita lihat bagaimana yahudi dan nasrani serta musuh-musuh Allah yang lain sibuk merapatkan barisan. Mereka bahu membahu, bekerjasama, saling berkorban, saling menopang dan saling menguatkan antara sesama mereka. Semuanya untuk satu alasan bersama, yaitu menghancurkan Islam dan umatnya.
Mereka bangun pabrik senjata, bank, industri dari hulu sampai hilir, sekolah, kampus, lab, perpustakaan, rumah sakit, yayasan sosial, kekuatan militer, semua untuk tujuan bersama, yaitu menumbangkan agama Allah. Padahal perbedaan di antara mereka sangat besar, namun untuk satu tujuan bersama, mereka rela untuk menepis perbedaan.
Mereka susah makan dan susah tidur untuk menghimpun kekuatan bersama mengganyang umat Islam.
Bagaimana dengan kita, umat Islam? Yang kita lakukan justru banyak makan banyaktidur sambil saling menikam dan membongkar aib sesama. Mohon ampun ya Allah.
Sudahkah kita menjalin persaudaraan antara keping-keping elemen umat? Sudahkah tokoh salafi berangkulan mesra dengan petinggi Ikhwanul muslimin? Sudahkah petinggi Hizbuttahrir, NU, Muhammadiyah, Persis, Syiah dan lainnya, ikut melebur diri dalam kerja sama pertahanan umat Islam? Sudahkah partai-partai berbasis umat Islam saling peluk dan cium demi umatnya?
Sudahkah mereka menenangkan para kader di levelakar rumput untuk tidak selalu ‘cari perkara’ dengan sesama kelompok Islam lainnya?
Sudahkah kita menghidupkan sunnah Rasululah SAW untuk selalu saling berziarah dan menyambung tali kasih (silaturrahim) antara berbagai faksi yang bertentangan?
Jawaban dari semua itu ada di hati kita masing-masing. Jawabannya sebanding dengan keluasan hati, kepekaan atas realitas, kesabaran dalam berdakwah, ketulusan dalam bersikap serta kesantunan dalam berkata.
Selama kita belum bisa belajar mengimplementasikan hal-hal di atas, mungkin Allah SWT belum akan mengubah wajah dunia kita yang carut marut ini.
Khilaf tentang Isbal
Dalam pandangan kami, wallahu a’lam, masalah ujung celana di bawah mata kaki ini adalah masalah khilaf. Sebagian ulama mengharamkannya secara mutlak, tanpa memperhatikan niat dan motivasi. Kami tetap menghormati pendapat ini.
Sementara sebagian lainnya mengharamkannya selama niat dan motivasi riya’ ikut mengiringinya. Dan tidak mengharamkannya bila tanpa disertai rasa sombong.
Itu saja jawabannya, karena memang begitu kenyataannya.
Wallahu ‘alm bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc