Assalamu’alaikum wr. wb.
Ustadz yang terhormat, saya membaca ulasan ustadz tentang kodok yang mayoritas ulama katakan haram dengan dalil hadits percakapan Rasulullah dengan seorang tabib. Dan juga ulasan tentang hadits "kalian lebih tahu urusan dunia kalian."
Yang saya ingin tanyakan bagaimana kita bisa membedakan apakah suatu hadits itu juga ijtihad Rasulullah juga atau tidak. Banyak hadits Rasulullah yang mengharamkan berbagai jenis binatang, seperti ular, binatang yang hidup dua alam, bercakar, menjijikkan, dan sebagainya. Menurut hemat saya bukankah hal ini akan menyulitkan ummat untuk menentukan? Misalnya cacing, yang menjijikkan, ternyata bisa menjadi obat berbagai penyakit. Apakah hadits-hadits Rasulullah tentang jenis-jenis makanan yang diharamkan itu dapat diterima semua? Ataukah ada yang merupakan ijtihad semata?
Demikian pertanyaan saya. Saya harapkan penjelasan ustadz. Maaf jika ada yang kurang berkenan.
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Tidak semua orang bisa membedakan suatu hadits itu ijtihad nabi atau bukan. Juga tidak semua ulama bisa melakukannya. Pekerjaan seperti ini memang hanya bisa dilakukan oleh para ulama spesialis, yakni mereka yang expert di bidang penelitian ini. Selain urusan jam terbang, juga ilmu-ilmu dasar dan pelengkapnya tentu sangat rumit.
Maka buat kita, cukuplah kita meminta fatwa mereka saja, tanpa harus melakukan penelitian sendiri. Atau kita bisa membaca hasil penelitian mereka dalam masalah ini. Kajian seperti ini termasuk agak langka, tetapi ketahuilah bahwa para ulama sudah melakukan penelitian mendalam.
Di antara mereka yang menulis tentang masalah ini antara lain Imam Waliyullah Ad-Dahlawi (wafat 179 H). Selian itu Al-Qarafi juga menuliskannya. Di masa sekarang ini, di antara mereka yang tertarik menuliskan hal ini adalah Syaikh Muhammad Syaltut, Rasyid Ridha dan juga Dr. Yusuf Al-Qaradawi.
Dalam kitabnya, Hujjatullah Al-Balighah, Ad-Dahlawi mengatakan bahwa sunnah nabi itu terbagi menjadi dua klasifikas, yaitu yang bersifat tasyri’ dan yang bukan tasyri’. Kemudian beliau menjelaskan mana saja yang merupakan termasuk kelompok tasyri’ dan mana saja yang bukan.
Di antara sunnah yang bukan termasuk tasyri’ menurut pendapat mereka umumnya adalah perkara-perkara yang bersifat teknis kehidupan sehari-hari, di mana hal itu masuk rekaman hadits nabawi, namun sebenarnya hanya setting lokal yang tidak terkait dengan syariah.
Misalnya seringkali diriwayatkan bahwa nabi SAW makan kurma, roti, kambing atau beliau minum susu, semua hanyalah setting yang menggambarkan keadaan masa dan tempat di mana beliau hidup. Namun tidak mengandung pesan bahwa kita diharuskan menirunya sebagai bagian dari syariah Islam.
Juga masalah kedokteran atau medis yang kebetulan dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW, termasuk kebiasaan beliau SAW dalam memilih model pakaian, atau hal-hal berkaitan dengan adat suatu daerah, penegasan untuk mengingatkan masyarakat dan sebagainya. Semua itu meski tercantum dalam hadits nabawi, namun fungsinya tidak terkait dengan masalah pensyariatan.
Contoh lainnya yang berkaitan dalam hal ini adalah anjuran beliau untuk memelihara kuda yang berbintik putih, sebagaimana tercantum dalam hadits nabawi berikut ini:
”Peliharalah kuda hitam yang di dahinya ada bintik berwarna putih. (HR Ahmad).
Adanya hadits ini tidak berarti umat Islam di seluruh dunia dianjurkan untuk memelihara kuda, apalagi yang berbintik putih. Kalau mau melakukannya lantaran seseorang punya keluasan dalam masalah rizqi dan kehidupannya, boleh-boleh saja. Tapi jangan dibuat sebuah hukum bahwa melakukan hal yang demikian adalah bagian dari produk syariah Islamiyah.
Dan juga termasuk anjuran beliau SAW untuk memakai celak mata, sebagaimana tercantum dalam hadits Nabi berikut ini:
“Sebaik-baik yang kalian gunakan untuk bercelak adalah itsmid (batu bahan celak), karena dia menjernihkan mata. (HR Tirmizy).
Kedua perintah di atas menurut para ulama itu tidak bernilai tasyri`, meski terekam di dalam hadits nabawi. Sebab hal-hal tersebut tidak berkaitan dengan ajaran agama tetapi berkaitan dengan pengalaman beliau untuk masalah keduniaan saja.
Demikian juga dengan berbagai advis beliau tentang masalah pengobatan, seperti yang dikerjakan Rasulullah SAW tidak termasuk tasyri` atau tidak berkaitan dengan hukum-hukum syariat baik wajib atau sunnah.
Sebab semua hal di atas tidak sejalan dengan fungsi dan tugas seorang nabi, yaitu pembawa risalah. Masalah detail obat dan pengobatan tidak termasuk masalah syariah, melainkan merupakan masalah tajribiyyah, atau ilmu yang didapat lewat sekian banyak eksperimen, serangkaian test, prosedur dan analisa ilmiyah. Di mana prosinya memang bukan tugas para nabi dan kitab suci untuk menjelaskannya.
Kalau pun para nabi dan kitab suci sempat menyinggungnya, lebih merupakan isyarat dan anjuran untuk melakukan penelitian. Namun kita tetap boleh melakukannya. Bahkan bila motivasi melakukannya adalah untuk ittiba` dan tabarruk (mengambil barakah) dari Nabi SAW, lebih utama.
Wallahu a’lam bishshawab wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc.