Saat ini saya sering temukan bulletin atau majalah yang isinya mengkritik habis perilaku ibadah atau pendapat masyarakat lainnya yang menurut mereka bid’ah karena tidak berdalil atau dalil yang dipakai lemah sehingga tidal layak dipakai. Menurut pengamatan saya, biasanya mereka mengatakan lemah kuatnya dalil merujuk kepada ulama mereka. Di lain waktu saya menemukan buku dari pihak yang dituduh bid’ah yang mengatakan bahwa ibadah mereka punya landasan yang kuat dan tidak lemah. Dari hal tersebut saya mengambil kesimpulan bahwa penilaian seseorang tentang shohih, hasan, dhaifnya suatu hadits adalah hasil ijtihad orang tersebut yang bisa saja benar bisa juga salah. Benarkah dan bolehkah saya berkesimpulan seperti itu?
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Apa yang anda simpulkan itu memang benar sekali. Dunia takhrijul-hadits memangpada hakikatnya adalah sebuah proses ijtihad, di mana seorang muhaddits mengerahkan segala kemampuannya dalam meneliti sanad suatu hadits. Dantentunya sangat dimungkinkan bahwa antara seorang muhaddits dengan muhaddits lainnyasaling berbeda dalam menilai derajat suatu hadits.
Misalnya, Imam Al-Bukhari mengatakan bahwa suatu hadits itu derajatnya tidak mencapai shahih, sehingga hadits itu tidak beliau masukkan ke dalam kitab shahihnya. Namun ada imam lainnya, misalnya Imam At-Tirmizy, justru mengatakan bahwa hadits itu shahih. Sebab menurut beliau, para perawi hadits itu semua orang-orang yang tsiqah dari awal hingga ke level shahabat. Sehingga tidak ada alasan untuk mendha’ifkan-nya.
Maka hadits tersebut dikatakan shahih, dengan detail keterangan bahwa hadits itu "dishahihkan oleh At-Tirmizy", meski tidak dishahihkan oleh Al-Bukhari. Perlu diketahui bahwa meski diakui integritas dan ketelitiannya dalam ilmu hadits, namun bukan berarti Al-Bukhari satu-satunya orang yang berhak mengatakan bahwa suatu hadits itu shahih atau tidak shahih. Selain Imam Al-Bukhari, masih banyak para muhadditsin lainnya, yang tidak kurang ahlinya di dalam meriwayatkan hadits.
Bahkan sesungguhnya para ulama mujtahid mutlak yang mendirikan mazhab-mazhab fiqih, tidak lain adalah para muhaddits juga. Seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam As-Syafi’i, Imam Ahmad bin Hanbal, rahimahumullah rahmatan wasiah dan lainnya. Sebab syarat seorang mujthid mutlak memang harus punya kapasitas sebagai orang yang mampu melakukan penelusuran keshahihan suatu hadits. Mustahil ada seorang mujtahid yang tidak mengerti bagaimana menilai dan mendudukkan suatu hadits.
Bahkan kelebihan mereka dibandingkan dengan para muhadditsin adalah bahwa mereka juga memiliki dasar dan pola kaidah istimbath hukum yang sempurna. Sebagaimana kita maklum, bahwa nilai keshahihan suatu hadits yang diberikan oleh satu orang muhaddits dari sekian banyak muhaddits, tidak bisa lantas begitu saja bisa diambil kesimpulan hukumnya. Sebab di tempat lain masih mungkin ditemukan hadits lainnya yang tidak kalah shahihnya, namun secara zhahir bertentangan atau berbeda esensinya. Sehingga perlu dicarikan hubungan yang menyatukan antara keduanya. Apakah yang satu menasakh yang lain, atau yang satu bersifat umum (‘aam) dan yang lain bersifat khusus (khash), atau yang salah satunya menguatkan yang lainnya.
Dengan demikian, kita tahu bahwa keshaihan suatu hadits itu belum lagi bisa dijadikan kesimpulan hukum. Masih ada banyak proses lagi agar kesimpulan hukum itu bisa didapat. Dan proses selanjutnya itu, biasanya bukan lagi tugas para muhadditsin, melainkan tugas para ahli fiqih. Sedangkan para ahli fiqih itu sendiri harus punya kapasitas seorang ahli hadits (muhaddits). Adapun tugas para muhadditsin itu terbatas hingga memberi nilai derajat suatu hadits saja.
Salah satu muhaddits di masa sekarag ini yang bisa kita sebut adalah Syeikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani. Beliau diakui integritas dan kedalaman ilmunya dalam masalah memberi nilai suatu hadits. Bahkan kitab-kitab hadits yang disusun oleh para ulama hadits di masa lalu, oleh beliau diteliti ulang. Kemudian beliau susun ulang dengan dipilah antara yang shahih dengan yang dha’if.
Beliau juga banyak melakukan penelitian hadits-hadits dari kitab-kitab ulama di masa kini. Misalnya, kitab Fiqhus-Shirah yang ditulis oleh Syeikh Muhammad Al-Ghazali, juga kitab Al-Halalu wal Haram, susunan Dr. Yusuf Al-Qradawi.
Sebagai satu dari sekian juta muhaddits sepanjang zaman, tentu merupakan hak beliau untuk memberikan sebuah penilian atas suatu hadits. Kita tentu bisa mengambil banyak manfaat dari ilmu dan jasa beliau. Semoga Allah SWT membalasnya dengan balasan yang lebih baik dan berlipat ganda.
Namun di balik semua itu, kita pun sadar bahwa apa yang beliau lakukan itu adalah sebuah ijtihad seorang anak manusia. Di mana seseorang kadang benar dan kadang salah. Penilaian beliau atas hadits-hadits itu tentu bukan wahyu yang turun dari langit serta wajib diimani tanpa reserve. Tidak ada orang yang pasti benar dalam semua pendapatnya kecuali Rasulullah SAW al-ma’shum.
Salah satu buktinya, beberapa kali para ulama di zaman sekarang ini menemukan ketidak-konsekuenan beliau dalam menilai suatu hadits. Terkadang di suatu kitab, beliau menilai suatu hadits sahih, namun di kitab lainnya atas hadits yang sama, beliau menilainya sebagai hasan atau dhaif. Mungkin beliau selalu melakukan penelitian, sehingga apa yang pernah disimpulkan, boleh jadi direvisi lagi. Dan hal itu sah-sah saja. Bukankah dahulu Al-Imam As-Syafi’i rahimahullah juga melakukan revisi atas ijtihad-ijtihad beliau, sehingga ada qaul qadim dan qaul jadid?
Dan semua itu mengajak kita sampai pada suatu kesimpulan berharga, bahwa penilaian para muhaddits atas suatu hadits adalah ijtihad. Di mana seseorang bisa benar dan bisa salah, bahkan sangat dimungkinkan baginya untuk merevisi ulang hasil ijtihadnya itu.
Dan ini tentu sangat manusiawi sekali, serta sama sekali tidak mengurangi integritas yang bersangkutan. Serta tidak mengurangi rasa hormat dan penghargaan kita atas semua ijtihad yang beliau kerahkan dengan sepenuh kekuatan.
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc.