Assalamu’alaikum Bapak Ahmad Sarwat, rahmatullah wabarakalluh’alaika.
Saya mau bertanya tentang tingkatan hadits sebagai sumber hukum Islam, apakah kita hanya melaksanakan hadits yang derajatnya paling shoheh dengan meninggalkan yang lebih rendah sama sekali. Yang kedua apakah hadits di luar riwayat Bukhori dan Muslim kurang (tidak ) shoheh?
Terima kasih jika bapak berkenan untuk menjawabnya.
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ketika ada beberapa dalil hadits yang berbicara pada tema yang sama namun isinya saling berbeda, maka ada beberapa cara yang bisa diterapkan, antara lain:
- Thariqatul Jam’i, yaitu menggabungkan keduanya sesuai dengan esensi masing-masing dalil.
- Nasikh mansukh, yaitu melihat ke masa disampaikannya masing-masing dalil, di mana yang datang belakangan lebih kuat dari yang datang lebih dahulu.
- Al-‘aam wal khash, yaitu mendahulukan hadits yang lebih erat kaitannya dengan suatu masalah (lebih khusus) dari pada hadits yang bersifat umum.
- Ar-riwayah, yaitu melihat riwayat untuk menilai derajat keshahihan masing-masing hadits itu. Namun penilaian derajat keshahihan suatu hadits bisa saja berbeda antara satu ulama dengan ulama lainnya.
Khusus masalah yang keempat ini bisa kita perjelas dengan keterangan berikut ini:
Hadits berbeda dengan Al-Quran yang sudah pasti shahih 100% dan diriwayatkan secara mutawatir (oleh banyak orang) dalam setiap level (thabaqat)-nya. Sedangkan hadits, sebagiannya mutawatir dan selebihnya tidak (hadits ahad). Tapi baik yang mutawatir maupun yang ahad, bisa saja sama-sama shahih. Karena keshahihan suatu hadits tidak semata-mata ditentukan oleh jumlah periwayat, melainkan oleh kualitas periwayatnya itu sendiri.
Bisa saja suatu hadits hanya diriwayatkan oleh satu orang saja pada satu thabaqat, tapi kualitasnya shahih.
Tetapi penting juga untuk dipahami bahwa status keshahihan suatu hadits punya standar yang variatif. Seorang ahli hadits (muhaddits) bisa saja punya standar yang berbeda dengan ahli hadits lainnya. Misalnya, Al-Bukhari seringkali berbeda dalam penetapan keshahihan suatu hadits dengan Imam Muslim. Terkadang mereka sepakat menshahihkan suatu hadits, tapi seringkali mereka berbeda pendapat.
Ada banyak hadits yang dianggap shahih oleh Al-Bukhari tapi Imam Muslim mengatakannya tidak shahih. Sebaliknya, banyak juga yang dishahihkan oleh Imam Muslim tapi Al-Bukhari tidak menshahihkannya. Kalau kebetulan keduanya sepakat, dinamakan hadits muttafaqun ‘alihi.
Di luar kedua imam ahli hadits itu, ternyata masih banyak lagi ahli hadits yang punya otoritas dan kapabilitas untuk menyatakan suatu hadits itu shahih.
Hadits shahih selain yang dishahihkan oleh kedua imam itu termasuk bahan baku berkualitas tinggi yang tidak bisa dianggap enteng. Apalagi bila kedua imam itu tidak mencantumkannya di dalam kedua kitab mereka. Seperti yang dilakukan oleh Al-Hakim, di mana beliau ‘seolah’ meneruskan apa yang telah dirintis oleh Al-Bukhari, lantaran beliau menggunakan metodologi kritik hadits yang digunakan Al-Bukhari dalam menshahihkan hadits yang oleh Al-Bukhari belum dilakukan. Kitab beliau bernama Al-Mustadrak, yaitu kitab hadits shahih sesuai syarat dari Bukhari.
Selain Al-Bukhari, Muslim, Al-Hakim, masih banyak kitab hadits lain yang juga mengandung banyak hadits shahih. Yang paling masyhur adalah kutubus-sittah (enam kitab).
Tetapi sebenarnya jumlah kitab hadits tidak terbatas pada yang enam itu saja. Di luar yang enam itu, masih banyak sekali kitab-kitab hadits yang belum terlalu dikenal umat Islam. Masih tersimpan rapi di berbagai perpustakaan di pusat-pusat dunia Islam.
Syeikh Nashiruddin Al-Albani adalah salah satu di antara sekian banyak ulama ahli hadits yang melakukan riset untuk memilah hadits-hadits shahih dan hadits dhaif. Karya beliau banyak menghiasi perpustakaan di dunia Islam.
Bahan Baku dan Pengolahannya
Sumber-sumber hukum Islam ibarat bahan baku dari sebuah hidangan. Hidangan akan memenuhi standar gizi dan standar rasa yang tinggi manakala dibuat dari bahan yang berkualitas. Tentu saja bukan hanya sekedar bahan berkualitas yang paling menentukan, tetapi juga keahlian juru masak dalam mengolah dan menentuan kadar tiap-tiap bahan baku.
Kalau kita kaitkan dengan ilmu hadits dalam perspektif hukum Islam, maka hadits-hadits itu ibarat salah satu bahan baku sebuah masakan. Semakin shahih suatu hadits akan semakin meningkatkan mutu masakan tersebut.
Ketika bicara tetang hukum Islam, masih ada satu bagian pekerjaan maha penting setelah kita bicara tentang keshahihan hadits, yaitu proses istimbath ahkam. Proses ini jauh lebih rumit dari sekedar menilai keshahihan suatu hadits. Yaitu dengan mulai mengumpulkan terlebih dahulu semua dalil baik Quran atau sunnah yang sekiranya terkait dengan suatu masalah yang ingin diketahui hukumnya. Sangat besar kemungkinan suatu dalil dengan dalil lainnya saling bertentangan.
Dalam keadaan itu, para ulama mendahulukan proses al-jam’u terlebih dahulu sebelum sampai kepada penolakan salah satunya. Sedangkan pertimbangan tingkat keshahihan, bukan satu-satunya cara. Maksudnya, bila ada dua hadits, yang satu lebih shahih dan yang lainnya satu derajat di bawahnya, meski masih tetap dalam kelompok shahih, tidak serta merta yang kurang itu langsung ditolak keberadaannya.
Pertimbangan lainnya, misalnya, masalah keumuman dan kekhususan suatu dalil. Bisa saja ada suatu hadits yang shaih, tapi setelah diperdalam redaksinya, ternyata masih bicara hal-hal yang bersifat umum. Sedangkan ada hadits lainnya yang mungkin derajatnya lebih rendah, tapi sangat tepat pada titik permasalahan yang dibahas. Maka dalam hal ini, dalil yang lebih khusus lebih didahulukan ketimbang dalil yang bersifat umum.
Pertimbangan lainnya lagi misalnya masalah waktu wurud-nya suatu dalil. Misalnya ada dalil yang keluar lebih dahulu akan dikoreksi oleh dalil yang datang belakangan. Istilah yang sering digunakan adalah nasakh dan mansukh.
Standar Pengambilan Hukum
Selama ini para shahabat, tabi’in dan para pengikutnya melakukan istimbath hukum sesuai dengan nalar mereka masing-masing. Terkadang antara metode yang digunakan seseorang dengan lainnya saling berbeda. Bahkan tidak jarang juga terjadi ketidak-runtutan dalam setiap proses pengambilan kesimpulan itu. Semua itu akibat belum adanya -waktu itu- sistematika baku dalam proses pengambilan kesimpulan hukum.
Barulah setelah lahirnya imam As-Syafi’i (150-204 H) rahimahullah, muncul metode yang sangat ilmiyah dan profesional yang bisa digunakan oleh setiap faqih dan ahli syariah dalam proses mengambil kesimpulan hukum. As-Syafi’i adalah orang yang pertama kali meletakkan dasar-dasar fiqih, sebuah cabang ilmu yang paling asasi dan esensial dalam masalah pengambilan kesempulan hukum. Ilmu itu kemudian kita kenal dengan ilmu ushul fiqih.
Mustahil seseorang bisa dikatakan sebagai ulama yang berhak mengeluarkan fatwa hukum, apabila tidak mengerti ilmu ushul fiqih. Seperti yang juga seringkali kita saksikan sekarang ini, seorang yang hanya sekedar baca kitab matan hadits, lalu tiba-tiba berfatwa ini dan itu tentang hukum Islam. Ini jelas menyesatkan bahkan merusak tatanan hukum Islam. Karena dia berfatwa tanpa ilmu.
Padahal dasar-dasar metologi pengambilan kesimpulan suatu hukum tidak pernah dikuasainya, apalagi ilmu-ilmu penunjangnya. Akhirnya jadilah taburan fatwa yang terkadang terlalu mensimplifikasi masalah. Sebentar-sebentar bisa keluar fatwa yang terlalu dipaksakan, sebab tidak lahir dari suatu proses istimbath hukum yang baku dan profesional.
Kalau kita ibaratkan dengan masakan tadi, meski masakan itu terdiri dari bahan baku yang berkualitas, namun cara mengolahnya tidak benar. Padahal tidak mungkin umat ini langsung makan beras, atau sayuran mentah begitu saja yang dipetik di ladang. Semua perlu di’siangi ‘ terlebih dahulu, dibuatkan bumbu,ditakar kadarnya, diatur proses pengolahannya sehingga siap disantap tanpa sakit perut.
Semua ini idealnya dilakukan oleh koki profesional, yang mengerti tentang bahan baku yang baik, juga mengerti standar kebutuhan gizi dan mahir dalam masalah pengolahan serta penyajiannya.
Kalau kita serahkan begitu saja seorang ahli hadits yang tahunya hanya urusan shahih dan tidak shahih untuk berfatwa tentang hukum, sementara dia tidak punya kapasitas dalam hal istimbath hukum, ibaratnya kita tidak makan masakan, melainkan kita makan bahan-bahan mentah, beras mentah, tempe mentah, daging mentah, sayuran mentas, yang belum tentu cocok untuk perut kita. Karena standar gizi, pengolahan, penyajiandan ukurannya tidak jelas.
Kita butuh para koki ahli mengolah makanan yang memenuhi standar gizi dan juga standar cita rasa yang tinggi. Mereka adalah para ulama syariah, yang sudah pasti juga ahli hadits. Levelnya di atas dari para ahli hadits.
Sebagai perbandingan, Imam Asy-Syafi’i sebelum menjadi ahli fiqih dan peletak dasar ilmu ushul fiqih, beliau berangkat dari seorang ahli hadits yang mahir memilah dan memilih hadits shahih dan tidak shahih. Tapi itu saja belum cukup, perlu adanya sistematika pengambilan kesimpulan hukum yang baku. Sehingga setiap fatwa yang beliau keluarkan, meski kadang menyendiri, sangat-sangat kuat fundamennya. Sulit untuk mematahkan hujjah-hujjah beliau begitu saja, kalau memang paham urusan ilmu syariah.
Wallahua’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc.