Solo, (forum-alishlah.com) – Sejak merdeka 17 agustus 1945, Negara Indonesia belum juga mencapai tujuannya, yakni melindung segenap tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut mewujudkan perdamaiaan dunia.
Menurut Ustadz Wahyudin, pengajar senior sekaligus pimpinan Ponpes Al Mukmin Ngruki Solo, belum tercapainya tujuan tersebut dikarenakan terdapat hal mendasar yang salah dalam pengelolaan negeri ini. Hal tersebut tidak lain adalah perangkat aturan yang dijalankan bukan aturan islam.
Ajaran islam yang merupakan ajaran universal yang tidak terikat dengan ruang dan waktu, merupakan solusi yang mampu dan ampuh untuk menjawab tantangan kontekstual tersebut. sebagian besar ulama dan tokoh cendikiawan muslim di seluruh dunia bahkan menuturkan hanya pada islam-lah terdapat kepaduan antara iman, ilmu dan amal.
Ustadz Wahyudin mencontohkan, bahwa lemahnya hukum di Indonesia jelas dikarenakan tidak adanya keadilan dan konsistensi dalam penegakan hukum. Para pelaku yang di duga merupakan teroris seharusnya di meja hijaukan, sehingga jika memang jaringan teror itu benar-benar ada, maka dapat terungkap hingga ke akar-akarnya.
Namun yang di jumpai, realita yang sering terlihat yakni banyak orang yang baru diduga sebagai teroris, langsung “di dor atau di bunuh” oleh Densus 88 tanpa di adili terlebih dulu. Hal tersebut jelas sekali telah bertentangan dengan hukum yang berlaku di negeri ini.
Pencabutan nyawa seseorang harus dengan putusan pengadilan. Tapi, dalam kasus-kasus teror yang terjadi, Densus 88 faktanya telah menjadi “Hakim” dalam penanganan terorisme. Maka disini sangat terlihat sekali terlihat ketidak konsistenan para penegak hukum yang memberlakukan hukum jahiliyah di Indonesia.
“Seharusnya para pelaku yang baru di duga teroris itu di persidangkan, bukan langsung dibunuh, itu bertentangan dengan hukum yang mereka terapkan sendiri. Dan ini merupakan ketidak konsistenan aparat penegak hukum dalam penegakan hukum”, kecam Ustadz Wahyudin saat ditemui Kru FAI kamis petagng 6/9/2012 dikediamannya.
Sejumlah permasalahan jhad praktis yang terjadi di Indonesia di sinyalir sebagai bentuk pembebasan Indonesia dari system Negara yang buruk dan bobrok. Disamping itu, banyak permasalahan lain yang menuntut segera penyelesaiannya. Seperti kasus korupsi, ketimpangan ekonomi, kekerasan moralitas, kriminalitas, dan lain sebagainya.
Menurutnya, agregasi (pengumpulan sejumlah kelompok atau kepentingan yang terpisah-pisah menjadi satu) dan artikulasi kepentingan umat muslim harus diakomodir jika memang pemerintahan ini benar-benar berkeadilan. Pasalnya, umat muslim selalu di pojokan dan tidak diberi ruang untuk membuktikan bahwa islam mampu memberikan solusi bagi permasalahan bangsa dan Negara.
“Pemerintah (Indonesia-red) harusnya berani mengumpulkan semua umat muslim yang memiliki kapasistas keislaman yang benar, jika (mereka-red) memang maunya di daerah-daerah di terapkan aturan islam, harusnya di beri ruang, toh islam itu ajaran yang universal, rohmatan lil ‘aalamin”, tuturnya.
Dirinya menegaskan bahwa tidak menolak adanya NKRI, tapi dengan catatan, NKRI yang mampu memakmurkan rakyatnya, tentu dalam artian makmur secara rohani juga materi. Tidak mendiskreditkan umat islam satu dengan yang lain, mengapresiasi segala masukan yang diberikan kepada pemerintah, dan terakhir tidak menjadikan umat islam sebagai korban atau “tumbal” dari kepentingan segelintir elit penguasa. (asg/Kru FAI)