Gelora untuk memisahkan Islam dari ruang publik, tampak menyala pada komunitas Islam Liberal. Agama di mata mereka adalah wilayah privat, karenanya, “haram” baginya mengintervensi urusan publik. Hal tersebut memang bukan wacana baru, melainkan sekadar ulangan dari paham sekulerisme.
Sekulerisme, sering diidentikkan dengan pemberontakan Marthin Lutter yang protestan, atas naifnya kondisi gereja yang terlampau “merecoki” urusan kehidupan, terutama pada aspek politik. Gereja mengklaim berhak mengampuni dosa, bahkan sampai menjual sertifikat surga, semua dilakukan atas nama Tuhan. Marthin-pun berontak.
Maka, ketika segelintir cendekiawan menjajakan produk sekulerisasi “Islam”, sebagaimana Kristen melakukan, banyak Ummat Islam protes, pasalnya, analogi Islam-Kristen tidaklah adekuat, pula, bagaimana mungkin “Ilham” Marthin Lutter yang protestan dapat dijadikan sandaran dalam kehidupan muslim ?. Singkatnya, logika “awwam” menyatakan, “ilham” itu tidak otoritatif, karenanya, harus dibuang jauh-jauh.
Belakangan, seiring “banjir-bandang” kajian Utan Kayu di mass-media, alasan (baca: dalil) dari ajakan “kenapa harus sekuler ? ” tidak murni lagi menampilkan “manifesto” seorang Marthin, melainkan “membawa-mbawa” dalil Islam. Yang cukup populer adalah hadits Rasulullah SAW, “antum a’lamu biumuuri dunyaakum”, juga beberapa kaidah ushul fiqh.
Ulil Abshar misalnya berkata: “Dalam kehidupan publik, Tuhan menyerahkan semua hal pada voting. “Antum a’lamu biumuri dunyakum,” kata Nabi; kalian lebih tahu urusan mundan yang anda hadapi setiap hari. “Fa-ma sakata ‘anhusy syari’u fahuwa ‘afwun,” kata Nabi dalam hadis yang lain; apa-apa yang agama diam, maka itu berarti memang bukan urusan agama, ia urusan duniawi yang menjadi kawasan “mubah” (diperbolehkan)”. 1)
Dalam sebuah diskusi di Utan Kayu Denny JA juga berkata: “Kalau kita konsekuen bahwa Al-Quran itu berlaku sepanjang zaman, menembus batas masa dan ribuan tahun, maka amat mustahil bahwa Al-Qur’an yang sesuai dengan semua zaman itu hanya diterjemahkan dalam satu sistem. Logikanya tidak kena. Artinya, mustahil misalnya satu sistem yang ada pada masa Nabi Muhammad SAW dianggap cocok untuk semua zaman. Sistem itu belum tentu cocok dan baik untuk diterapkan saat ini. Oleh karena itu, raihlah apinya Islam, kata Bung Karno, bukan abunya”. 2)
Dalil yang dinukil Ulil memang demikian adanya, namun kesimpulan Ulil bahwa “Tuhan menyerahkan semua hal (dalam kehidupan publik) pada voting”, tergolong nekad. Karena ia tidak menjelaskan pada aspek apa ?, mengingat, Islam banyak mengatur kehidupan publik. Kehidupan publik yang diserahkan kepada voting -menurut istilah Ulil- adalah pada urusan dunia an sich, seperti akan dijelaskan dibelakang. Kaidah yang dinukil Ulil —..apa-apa yang agama diam, maka itu berarti memang bukan urusan agama, ia urusan duniawi yang menjadi kawasan “mubah” (diperbolehkan )–, adalah normal belaka. Karena itulah, justru ide sekulerisasi menjadi aneh karena Islam jelas tidak diam bahkan mengatur kehidupan dunia.
Pernyataan Denny juga rasanya belum lengkap, Jika yang dimaksud Al Qur’an tidak selalu hadir dengan redaksi yang baku, rinci dan detail pada sebuah sistem, memang demikian adanya, namun semoga tidak diteruskan dengan sebuah kesimpulan – seperti tercermin dalam banyak pernyataan Denny di islib– bahwa sebuah “sistem” menjadi bebas untuk dibuat tanpa perlu menjadikan dasar dan nilai umum syari’at sebagai rujukan ijtihad, karena jika demikian, konsekuensianya akan menghapus sekian banyak ayat Al Qur’an.
Tulisan berikut bermaksud menjelaskan bagaimana ketentuan syari’at mengatur kehidupan manusia, baik yang bersifat privat maupun publik, agar batasan-batasannya menjadi jelas, kekaburan dalam hal ini kadang berdampak pada sikap pemaksaan dalil, untuk sebuah konteks yang seringkali kurang tepat.
Islam, Sempurna dan Lengkap
Adalah bagaian dari Iman, meyakini Dien Islam telah sempurna sekaligus syumul (lengkap, komprehensif). Syumul dalam arti, ia telah lengkap untuk mengatur dan menjawab seluruh persoalan kehidupan manusia yang multi dimensional. Islam adalah syari’at penutup hingga akhir zaman. Allah menegaskan dalam QS Al Maidah:
“Hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian Dien kalian dan telah Aku sempurnakan untukmu nikmatKu dan telah Aku ridhai Islam sebagai dien-mu”.
Sempurna dan lengkap dimaksud, tentu bukan dalam arti setiap persoalan kehidupan telah diterangkan secara detail oleh Al Qur’an dan As Sunnah, karena hal tersebut tidak mungkin, mengingat persoalan kehidupan selalu berkembang dan tak terbilang jumlahnya. Dengan demikian, maksud sempurna dan lengkap adalah, disatu sisi, Islam mengatur kehidupan dengan nash-nash yang detail dan rinci, yang bersifat tidak berubah seriring perubahan waktu, tempat dan kondisi. Disisi lain, terkadang Islam mengatur kehidupan dengan nash-nash global yang ia menjadi inspirasi dan pedoman bagi munculnya istimbath hukum pada persoalan kehidupan yang bersifat “situasional”.
Imam Asy Syatiby berkata: “Jika yang dimaksud ayat —al-yauma akmaltu lakum diinakum— adalah kamal (sempurna) dalam bentuk ketetapan perilaku pada setiap juz’iyyah (bagian/rincian), maka sesungguhnya juz’iyyah itu tidak ada habisnya, …. Akan tetapi, sempurna yang dimaksud adalah, ketetapan global (qoidah kulliyyah) yang dengannya, juz’iyyah yang tidak terbatas itu, berjalan diatasnya…”.3)
Ibnu Taimiyah mengkritik pihak yang mengingkari kesempurnaan Islam, berikut petikan kalimatnya:
“Jumhur Aimmah berpendapat, nash-nash (Al-Qur’an-As Sunnah) cukup sebagai landasan mengatur garis besar kehidupan manusia, sebagian bahkan menyatakan cukup sebagai landasan mengatur seluruh kehidupan manusia, … Akan tetapi, ada sebagian kalangan yang menolak hal tersebut. Hal ini disebabkan ia tidak memahami ma’na nash-nash umum dari Firman Allah dan sabda RasulNya… . Padahal Allah mengutus Muhammad SAW dengan kalimat yang jami’ (komprehensif), Ia berkata dengan kalimat padat ma’na dan bersifat umum yang menjadi “prinsip global” atau “teori umum” yang dapat mencakup banyak persoalan sekaligus meliputi kasus-kasus yang tak terbilang. Dalam konteks semacam inilah nash-nash mencakupi ketetapan-ketetapan kehidupan manusia.4)
Dengan demikian, secara sederhana, “methodologi” Islam mengatur kehidupan dapat kita klasifikasikan sebagai berikut: 5)
1. Tafshiliyah Tsubutiyyah (detail-absolut).
Pada aspek kehidupan yang bersifat statis, tidak berubah seiring perubahan situasi dan kondisi, syari’at datang dengan redaksi hukum yang terinci, detail dan jelas. Semisal, ketentuan pernikahan, ketentuan pidana (hudud), ketentuan ubudiyah (sholat, puasa, haji, dll. ).
Tidak ada “inovasi” dalam wilayah ini, jika Rasulullah bersabda: “shollu kamaa- raitumuuni usholli” –sholatlah sebagaimana engkau melihat aku sholat-, maka tidak boleh neko-neko dengan membikin sholat gaya baru, demikian juga dengan adzan, tidak bisa diterjemah dengan bahasa lokal atas nama pribumisasi. Pembagian waris menurut Islam juga paket yang tidak bisa diutak-atik atas dalih kontekstualisasi ijtihad.
2. Ahkam Mujmalah (ketentuan/nilai umum)
Nash juga tampil dengan ketentuan global (ahkaam mujmalah) atau teori umum (qaidah kulliyah). Secara substansi, nilai dan tujuan dari kaidah umum tersebut jelas, hanyasanya, bentuk dan perwujudanya dalam praktek kekinian lebih bervariasi dan berubah-ubah, seiring tuntutan situasi, kondisi dan tempat. Dalam hal ini, kaidah umum dimaksud, menjadi acuan dan pedoman bagi lahirnya ijtihad baru.
Contoh aspek ini antara lain, kurikulum pendidikan, konsep ekonomi bagi sebuah negara, sistem administrasi, peraturan lalu lintas dan lain-lain. Dalam konteks semacam ini syari’at tidak hadir dengan ketentuan-ketentuan yang detail, mengingat persoalan semacam diatas terus berkembang pada setiap tempat dan waktu, karenanya, jika seluruh rincian persoalan telah tercantum dalam ketentuan syari’at, justru hal ini akan mempersempit ruang lingkup Islam sebagai sistem yang paripurna dan komprehensif.
Konsep ekonomi misalnya, syari’at telah meletakkan pijakan umum, baku dan tidak berubah, seperti, harta adalah milik Allah sedang manusia sebagai pengelola, harta tidak boleh beredar hanya pada sekelompok orang kaya, Islam mengakui hak kepemilikan pribadi, tidak boleh memakan harta orang lain dari jalan yang tidak benar, riba diharamkan, Infaq harus digalakkan dan seterusnya.
Pijakan-pijakan umum tersebut menjadi landasan bagi lahirnya ijtihad, baik berupa jawaban, legislasi hukum, atau yang lainnya dalam persoalan ekonomi “modern”. Dengan demikian, segala bentuk konsep, aturan atau ijtihad yang dirumuskan, tidak boleh bertentangan dengan nilai umum yang terkandung.
Ijtihad dimaksud tentu bukan sembarangan, ia musti lahir dari kalangan yang memiliki otoritas dibidangnya. Secara normatif, hal ini telah ditegaskan dalam kaidah ushul, misalnya, seorang mujtahid haruslah orang yang; mengimani kebenaran syari’at, memahami bahasa arab, berwawasan Al Qur’an – As Sunnah, berwawasan turots (warisan karya Ulama’ Mujtahidin masa lalu), memahami persoalan yang dihadapi dan berakhlaq (moral) terpuji.Dengan demikian, ijtihad merupakan persoalan berat yang “secara umum”, tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang.
3. Umuurud Dunya (Urusan Dunia)
Ada aspek kehidupan manusia yang dimensinya murni urusan dunia, tidak ada sangkut pautnya dengan halal-haram, haq-bathil, petunjuk-sesat. Misalnya, budi daya tanaman, industri, dan sejenisnya. Pada wilayah ini, Islam menyerahkan urusannya kepada masing-masing pribadi untuk berkembang, berkreasi, berinovasi, bereksperimen sebatas kemampuan nalar dan kemampuan yang dimiliki.
Status hukum asalnya mubah (diperbolehkan), selama tidak bertentangan dengan tujuan umum hidup manusia, yakni Ibadah. Disinilah letak penerapan dalil, Dari Anas RA, Rasulullah SAW bersabda:
“… Engkau lebih tahu urusan dunia kalian”(HR. Muslim)”
Asbabul wurudl hadits diatas, Rasulullah saw. bersama Sahabat berjalan menghampiri penduduk Madinah yang mengawinkan Kurma, Beliau berkomentar, “menurut pandangan saya, itu tidak bermanfaat”. Penduduk Madinah kemudian meningalkan tradisi tersebut, sampai akhirnya Kurma tidak berbuah, atau buahnya menjadi berkurang. Akhirnya mereka melapor kepada Rasulullah, dan kemudian beliau berkata, “Engkau lebih mengetahui urusan dunia kalian”, 6)
Dalam riwayat yang berbeda, Beliau menyatakan: “Sesungguhnya hal itu hanyalah sangkaan saya, maka janganlah engkau ambil dariku yang bersifat sangkaan, akan tetapi jika saya berbicara kepada kalian sesuatu dari Allah, maka ambillah”.
Para Ulama’ menerangkan, maksud sangkaan (dzann) atau pendapat (ra’yu) pribadi Rasulullah SAW dalam konteks hadits diatas adalah dalam urusan dunia dan kehidupannya, bukan dalam urusan tasyri’. Adapun perkataan dari ijtihad Rasulullah dan pandangan-pandangannya yang syar’I, maka wajib diamalkan. 7)
Penutup
Skema dan uraian ringkas diatas menggambarkan bahwa syari’at mencakup semua cabang hukum pada seluruh aspek kehidupan manusia. Disamping, syari’at juga tetap memberikan ruang bagi pemberdayaan potensi akal dan pikiran manusia. Pada aspek legislasi hukum islam, fungsi akal dan pikiran berperan pada proses ijtihad dengan piranti-piranti yang lazim semisal, takwil (interpretasi, seperti pada ayat-ayat mutasayaabihat), qiyas (deduksi analogi), istihsan (inferensi) dan sejenisnya. Fungsi akal dalam legislasi, namun demikian, tidaklah tampil dengan kemandirian pandangan secara penuh, melainkan harus selaras dengan dasar syari’at dan semangat umumnya (maqoshidusy syar’I). Berbeda dengan pemberdayaan akal dan pikiran pada urusan dunia murni, akal dapat tampil dengan kemandirian pandangan secara penuh.
Siapapun yang mangkaji secara rinci, jujur dan obyektif akan mampu membedakan antara bagian-bagian syari’at yang memiliki sifat baku (absolut, tsawaabit) dan bagian-bagian yang relatif (mutaghoyyirot), yang lentur dan memiliki berbagai kemungkinan untuk memenuhi tuntutan waktu dan zaman yang selalu berubah.
Dengan demikian menjadi jelas bahwa tujuan dan obyek tujuan ijtihad bukanlah untuk menggantikan hukum ilahi dengan kreasi manusia. Atas pandangan semacam ini, maka menjadi aneh ide mentafsir ulang Islam dengan nafsu mencampakkan “otoritas masa silam” seperti menjadi kegemaran komunitas Islam Liberal.
1.islamlib.com
2.ibid
3.Asy Syatiby. Al-I’tishom. II/305, terjemahan beba.
4.(Ibnu Taimiyah. Majmu’ Fatawa XIX/280. terjemahan bebas.
5.diilhami oleh kitab, Al Ilmaniyyah, atsaruha wa tathowwuriha, Syaikh Safar Al Hawaly, dunukil Ad Dumaijy. Al Imamah AL Udzma. Hal.
6.Periksa, Imam Nawawi. Syarhu Shahih Muslim III/118.
7.ibid. hal 116