Buat Anda yang masih sempat nonton acara musik di televisi, tentu tidak asing dengan penari latar. Itu, lho, sekelompok anak muda, lelaki-perempuan, yang ‘bertugas’ menari mengiringi penampilan penyanyi utama. Jumlah mereka bervariasi, tapi umumnya sekitar 5-10 orang.
Sebagai penari latar, mereka memang cuma sekadar figuran. Di layar kaca, pemirsa hanya melihatnya sesekali, itu pun hanya sepintas. Porsi utama tetap saja diperuntukkan bagi penyanyi utama. Sekali lagi, tugas mereka hanya mengiringi sang biduan. Mungkin maksudnya supaya lebih menarik.
Sayangnya, para penari latar ini tidak selalu sukses dalam bertugas. Atensi penonton, terutama pemirsa di rumah, tetap saja tesita habis untuk sang penyanyi utama. Apalagi, tidak jarang, tarian yang mereka bawakan ga nyambung dengan lagu yang dilantunkan. Tarian ke mana, lagu ke mana… Begitulah nasib –mengenaskan– para penari latar.
Masih soal penari latar, Agustus tahun silam Direktur Lembaga Pemilih Indonesia (LPI) Boni Hargens membuat pernyataan menarik. Dia menilai para peserta Konvensi Demokrat hanya sebagai penari latar dalam Pemilu 2014. Para peserta Konvensi bukanlah pemain utama dalam pertarungan di Pemilu 2014. Peserta Konvensi itu sekadar pekerja Partai Demokrat. Mereka dipekerjakan untuk mendongkrak elektabilitas Partai Demokrat itu sendiri. “Karena Demokrat tidak akan pernah menembus 20%. Jangankan 20%, 10% aja nggak,” ujarnya. Hemm…
Nyelekit, memang. Tapi begitulah Boni. Bicaranya sering ceplas-ceplos.
Kini, setelah partai penguasa itu bertubi-tubi dihajar terkuaknya berbagai skandal korupsi yang dilakukan para elitnya, apa status penari latar tadi masih relevan? Maksud saya, jangan-jangan untuk sekadar menjadi penari latar pun, mereka tidak ‘berhak’ lagi. Walahhh…
Begini duduk ceritanya. Sebagai ruling party, Demokrat memang kelewat PD alias percaya diri. Partai besutan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu teramat yakin akan mampu menyabet 20% kursi di DPR atau 25% suara pemilih. Ingat, angka-angka keramat itu adalah amanat Undang Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pilpres, atawa yang lebih beken dengan sebutan Presidential Threshold. Hanya partai yang sanggup meraup angka-angka itulah yang boleh menyorongkan calon presiden.
Sudah di kantong
Demikian PDnya –atau malah jumawa?– Demokrat kemudian menggelar konvensi. Maksudnya, konon, untuk menjaring tokoh-tokoh terbaik bangsa sebagai calon presiden. Bukan saja dari internal partai, tapi juga eksternal. Kisah selanjutnya kita semua tahu. Ada 11 tokoh dipanggil SBY untuk menjadi peserta konvensi. Menilik latar belakang para peserta, bisa dipastikan mereka bukanlah orang-orang sembarangan. Ada yang masih jadi menteri, mantan KSAD, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), rektor, ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD), mantan Dubes, dan lainnya. Keren…
Saya tidak tahu, apakah mereka lupa bahwa Demokrat punya aturan main sendiri soal pencapresan. Dalam pasal 20 AD/ART hasil Kongres Luar Biasa yang mendaulat SBY jadi Ketum, ada wewenang Majelis Tinggi menetapkan capres dan cawapres untuk setiap edisi pemilu. So, dengan begitu, hasil akhir Capres Demokrat pada akhirnyaakan disahkan dan ditentukan Majelis Tinggi.
Ini bukan kata saya, lho. Adalah Sekretaris Komite Konvensi PD Suaidi Marasabessyyang mengatakannya. “Majelis Tinggi memiliki kewenangan campur tangan dalam hasil survei penentu pemenang konvensi capres,” ujarnya kepada wartawan di Wisma Kodel, Jakarta, 30 Agustus 2013 silam.
Artinya, siapa pun yang menang Konvensi tidak akan bisa menjadi calon presiden.Apakah ini berarti para peserta seperti dibohongi oleh komite? Wah, kalau soal ini ya saya ndak tahu, lah. Silakan tanya ke rumput yang bergoyang, eh, ke Komite.
Tapi di luar itu semua, yang sangat mengganggu akal sehat adalah, kalau sudah bisa ditebak hasil akhirnya, pertanyaannya, kok ya para tokoh itu masih mau dan ngotot jadi peserta dan berjibaku lewat konvensi? Bukankah Capres Demokrat sudah ada di kantong Ketua Majelis Tinggi yang tidak lain adalah SBY sendiri? Nah, lho…
Aturan main organisasi itulah yang sangat mungkin menimbulkan keberpihakan pengurus (partai) kepada peserta tertentu. Ini bukan isapan jempol. Setidaknya begitulah yang dirasakan Dino Patti Djalal. Perserta konvensi yang mantan Dubes RI untuk Amerika Serikat, belum lama ini mengancam akan mengundurkan diri dari konvensi. Pasalnya, dia mencium aroma keberpihakan yang kental dari pengurus partai kepada peserta tertentu.
Walau dia tidak menyebut nama, publik menebak peserta yang dimaksud Dino itu adalah Pramono Edhie Wibowo. Mantan KSAD ini tidak lain ipar SBY. Sebagian kalangan menyebut Edhie sebagai ‘putra mahkota’ yang dipersiapkan agar SBY bisa soft landing sekaligus jadi palang pintu pasca 2014. Maklum, bukan rahasia lagi kalau banyak pihak yang mulai mengutak-atik borok Yudhoyono dan keluarga di ranah politik dan ekonomi. Jejak keluarga ini di skandal Bank Century dan Hambalang kian lama kian kentara saja. Tinggal tunggu mainnya. Begitulah, kurang lebihnya.
Jeblok ke bawah 3,5%
Nah, kini kita kembali ke soal penari latar tadi. Dengan badai dan puting beliung skandal korupsi yang mengobrak-abrik partai berlogo Mercy tersebut, apakah mungkin Demorkat akan bisa mempertahankan perolehan suaranya pada Pemilu 2014? Beberapa pekan lalu, sejumlah pengamat memperkirakan suara Demokrat kelak tidak akan beringsut jauh dari 10%. Kalau prediksi ini jadi kenyataan, bagaimana mungkin mereka bisa mencalonkan Capres?
Ulangi lagi, kredibilitas dan integritas Demokrat terus merosot seiring dengan makin terkuaknya permainan kotor para elitnya. Dalam beberapa hari ke depan, akan semakin banyak saja pengadilan digelar bagi tokoh-tokohnya. Yang teranyar ada Sutan Bhatoeghana. Ibas semakin sering disebut. Ani Yudhoyono yang asyik dengan instagramnya juga. Belakangan bahkan tuntutan agar KPK juga memeriksa SBY, yang teramat hobi bikin lagu dan nulis buku itu, dalam kaitan penggarongan Bank Century senilai Rp6,7 triliun mulai kencang.
Dengan fakta seperti ini, saya kok ragu, Demokrat akan mampu bertahan di 10%. Jangan-jangan malah melorot di bawah 3,5%. Artinya, Demokrat bahkan bisa tidak lolos parliamentary threshold. Wah, kalau ini jadi kenyataan, ngeri-ngeri sedap itu…
Bagaimana nasib para Capres penari latar? Masih mau dan ngotot bertarung lewat konvensi? Tidak takut bakal benar-benar menguap? Halo… (*)
Jakarta, 6 Februari 2014
Edy Mulyadi, Direktur Program Centre for Economy and Democracy Studies (CEDeS)