Denyut kehidupan rakyat Indonesia senantiasa berdetak. Belum selesai persoalan korupsi, separatisme, dan persoalan lainnya. Muncul pernyataan dari Menteri Kesehatan, Nafsiah Mboi untuk penggunaan kondom di kalangan seks beresiko dan pengidap penyakit HIV/AIDS. Tidak hanya itu pula kondom juga disarankan bagi remaja untuk mengurangi aborsi dan HIV/AIDS di kalangan remaja. Jika diamati tiap tahunnya kebijakan kondomisasi atau penekanan HIV/AIDS belum menunjukkan keberhasilan.
Banyak pihak yang memerotes kebijakan menteri kesehatan. Baik dikalangan agamawan, DPR maupun masyarakat luas. Mereka menilai kondomisasi sebagai legalisasi seks bebas dan penghancur generasi. Tidak ingin kebijakannya disalahartikan, akhirnya Nafsiah Mboi angkat bicara. Nafsiah Mboi mengatakan jika penggunaan kondom pada seks berisiko merupakan indikator, salah satu indikator MDGs keenam. Ditegaskan pula jika tidak ada pembagian kondom gratis. Yang ada jika terjadi seks beresiko akan dilakukan pendidikan dan konseling untuk menghentikan perilaku seks beresiko. Kondom merupakan langkah terakhir untuk mengurangi seks beresiko. [1]
Lebih jauh lagi, kebijakan kondomisasi tidak berdiri sendiri. Beberapa lembaga dunia dalam menanggulangi HIV/AIDS bekerja sistematis. Sebagai contoh PBB melalui United Nation Programe on AIDS (UNAIDS) yang bekerja di negara-negara anggota. Ada Millennium Development Goals (MDGs) juga bekerja di beberapa negara. Untuk di Indonesia ada lembaga seperti Badan Kependudukan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Ada juga LSM yang gencar memberikan edukasi kepada penderita HIV/AIDS. Kerja LSM biasanya kepada akar rumput misalnya gay, lesbian, transgender, biseksual dan wanita tuna susila (WTS). Mengingat mereka lebih dekat dengan kelompok seks beresiko.
Kolaborasi Kondomisasi dan Bisnis
Pada sebuah kesempatan wawancara, Nafsiah Mboi mengatakan: “kita sudah menganjurkan pakai kondom, tetapi tetap tidak dilakukan. Makanya HIV naik, kehamilan di luar nikah itu naik. Jadi tidak bisa dilarang itu kondomnya.”[2]
Beberapa tahun sebelumnya, 1 Desember 2006, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengampanyekan kondomisasi kepada pemerintah daerah untuk mencegah HIV/AIDS. Meskipun kampanye ini tidak begitu populis di masyarakat. Bahkan sebelumnya, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia melalui Surat keputusan 68/MEN/IV/2004 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV-AIDS di tempat kerja.
Kondomisasi sejatinya tidak hanya untuk pencegahan HIV/AIDS. BKKBN juga menyarankan masyarakat untuk menggunakannya sebagai pengaturan jumlah penduduk. Sebagaimana semboyan BKKBN “dua anak cukup”. Selain itu juga kepadatan populasi penduduk mengakibatkan jumlah orang miskin bertambah.
Jika diamati mendalam, kondomisasi tidak akan pernah berhasil. Karena kondomisasi tidak memberikan solusi dasarnya.. Tidak pernah terbukti di negara mana pun bahwa kondomisasi berhasil menekan angka penyebaran HIV/AIDS. Kondomisasi hanya bentuk pengalihan dan sering dijadikan lahan bisnis Hal ini sebagaimana yang pernah diatur oleh pemerintah. PP nomor 46 tahun 1990 tentang penambahan penyertaan modal negara Republik Indonesia ke dalam modal saham perusahaan perseroan (persero) PT. Perkembangan Ekonomi Nasional Rajawali Nusantara Indonesia (PT. Rajawali Nusantara indonesia). PP tersebut berisi digunakan untuk memanfaatkan dan mengisfisensi kekayaan negara yang tertanam dalam pabrik kondom.
Bisnis kondom di Indonesia sangat menggiurkan, setahun bisa terjual 190 juta buah atau setara dengan 1,3 juta gross kondom per tahun.[3] Jika harga per kondom Rp 10.000. Maka Omset yang diraih Rp 1,9 T. Koordinator Investigasi dan Advokasi FITRA Uchok Sky Khadafi mengungkapkan lelang untuk pengadaan kondom 2012 sudah selesai. Pemenang adalah PT Kimia Farma Trading and Distribution dengan harga Rp 24,8 miliar. Penandatanganan kontrak sendiri sudah dilakukan mulai 7 Februari sampai 17 Februari 2012.[4] 50% kondom yang dipasok di pasaran diproduksi dalam negeri. 50% lagi ada produsen luar negeri.
Salah Paradigma
Sisi lain yang menarik dari kondomisasi adalah kesalahan paradigma dalam mengatasi HIV/AIDS dan seks bebas. Akibatnya kondomisasi dengan embel-embel pencegah dijadikan alat. Padahal dibalik kondomisasi berdiri para kapitalis yang siap mengeruk keuntungan dari bisnis haram ini. Berikut ini beberapa kesalahan paradigma kondomisasi.
Kesalahan paradigma pertama adalah memahami seks berisiko. Seks berisiko dipahami sebagai setiap hubungan seks yang berisiko menularkan penyakit dan atau berisiko memicu kehamilan yang tidak direncanakan. Terlihat jelas pemahanan keliru dan ngawur. Tidak ada batasan jelas, apakah berhubungan seks itu dibolehkan atau tidak ? Selama ini yang terjadi justru seks berisiko jika dikaitkan dengan prostitusi dilegalkan oleh negara. Seks berisiko hanya dikaitkan dengan penderita penyakit menular seksual (PMS). Karena selama ini di tengah-tengah masyarakat, seks dengan orang lain (yang bukan suami atau istri) boleh saja. Asal suka sama suka. Jika terjadi kehamilan yang tidak diinginkan yang penting bertanggung jawab.
Kesalahan paradigma kedua adalah pencegahan dengan kondom. Ingat, kondom walaupun dipercaya 70% mencegah HIV/AIDS 30% ada kemungkinan bocor. Karena virus HIV/AIDS bisa menembus kondom. Sekalipun penggunaannya benar. Kondom diibaratkan obat mujarab. Padahal sampai saat ini penyakit HIV/AIDS belum diketemukan obatnya. Kondom merupakan hasil dari peradaban yang liberal. Yang terjadi justru melanggengkan seks bebas.
Kesalahan ketiga adalah gaya hidup liberal berbasis kapitalis-sekular. Gaya hidup inilah yang mengakibatkan peningkatan seks bebas, aborsi, dan HIV/AIDS. Anehnya, Indonesia mengimpor budaya ini dari barat. Mengingat barat merupakan sumber kebebasan yang mengenyampingkan agama. Agama hanya dijadikan pada aspek ritual. Selebihnya mengekor pada budaya barat. Buktinya prostitusi pun dilegalkan.
Kesalahan keempat adalah negara yang abai. Negara selama ini tidak serius mengurusi rakyatnya. Khususnya dalam menangani penyakit masyarakat berupa HIV/AIDS dan lainnya. Negara juga gagal dalam mengatasi semua persoalan. Negara sering hanya melakukan pencegahan. Ditambah lagi ketimpangan yang terjadi antarlembaga. Terkait kondomisasi pun, negara juga turut mendukung dengan menanamkan modal. Tanpa ingin tahu akibat kondomisasi negara hanya ingin meraup keuntungan. Di sisi lain, UU dan aturan tidak memberikan efek jera pada pelaku kriminal maupun tindak kejahatan. Negara juga mengikuti arahan lembaga dunia semisal PBB melalui UNAIDS dan MDGs. Hal itu membuktikan jika negara ini masih di bawah ketiak penjajah. Para kapitalis juga berkolaborasi dengan negara dalam kondomisasi. Tak heran jika negara saat ini berbentuk corporate state (negara korporasi/perusahaan).
Kesalahan paradigma tersebut seharusnya tidak terjadi, jika diambil dari sumber paradigma yang benar. Paradigma kapitalis selama ini justru menjerumuskan ke jurang kehinaan dan kehancuran. Solusi yang dibuat hanya tambal sulam. Kebijakan yang ada justru menyesatkan dan merusakkan umat. Apalagi paradigma sosialis-komunis yang telah lama menyengsarakan manusia. Sehingga, tidak ada pilihan lain mengambil paradigma Islam. Islam memberikan solusi total, termasuk pemberantasan HIV/AIDS, seks bebas, dan lainnya. Kesempurnaan Islam ini akan lebih lengkap ketika diterapkan negara (Khilafah).
Islam Memberantas dan Solutif
Jika selama ini seks bebas dituding menjadi penyebab meningkatnya HIV/AIDS. Maka Islam akan memberikan solusi yang menyeluruh. Termasuk hal-hal yang dapat menjerumuskan umat kepada seks bebas. Seperti pornografi dan pornoaksi. Baik dalam tontonan, media massa (cetak dan elektronik), maupun VCD, film dan lainnya. Islam melarang hal-hal tersebut. Upaya tersebut sebagai bentuk preventif.
Islam pun melarang pembukaan tempat yang bisa mengarahkan kepada seks bebas. Misalnya prostitusi, tempat-tempat maksiat, taman-taman pacaran, dan lainnya. Industri pornografi dan pornoaksi juga dilarang. Termasuk industri kondom yang dijadikan alat pelanggeng seks bebas. Walaupun ditengarai ada manfaat, tapi itu kecil. Upaya pelarangan tersebut sangat penting mengingat lingkungan merupakan tempat hidup umat. Sebagaimana dalam kaidah Ushul Fiqhi : “Al-Wasaail Lahaa Hukmul Ghooyah” (Hukum Sarana yang digunakan sama dengan tujuan penggunaannya)
Islam juga mewajibkan negara memberikan pendidikan yang benar. Karena negara sebagai pelayan umat. Negara juga mencegah terjadinya adzab yang disebabkan perzinaan. Sebagaimana hadits rasulullah SAW,
“Tidaklah riba dan zina merajalela di suatu bangsa, melainkan bangsa itu telah menghalalkan dirinya untuk mendapat adzab Allah ‘Azza Wajalla ( HR .Ahmad)
Negara menjelaskan kepada umat jika seks bebas, perzinaan, atau aborsi merupakan kriminalitas. Pelakunya diberikan sanksi berat jika perzinaan bisa dirajam dan dicambuk, serta diasingkan. Begitu pula pelaku industri seks bebas ataupun penyedia kebutuhan maksiat akan dikenai ta’zir. Yang tidak kalah penting dalam penerapan syariah Islam didukung tiga pilar. Ketaqwaan individu, masyarakat yang melaksanakan amar makruf nahi munkar, dan negara yang memberlakukan syariah secarah kaffah.
Oleh karena itu Khilafah akan memberikan solusi total terhadap semua persoalan. Termasuk seks bebas, HIV/AIDS, dan aborsi. Jika demikian maka masyarakat yang hidup dalam naungan Khilafah akan menjadi masyarakat yang sehat, bersemangat, dan beriman. Khilafah akan memberikan kesejahteraan dalam seluruh aspek kehidupan. Bukan seperti negara saat ini yang mencari untung dari bisnis kondomisasi. Khilafah akan membubarkan kelompok atau organisasi komparador maupun antek asing. Khilafah juga akan mengeyahkan setiap bentuk hegemoni penjajahan yang dilakukan orang-orang kafir melalui lembaga maupun negara. Karena Khilafah merupakan negara berdaulat yang mempunyai solusi total dari Allah SWT yaitu syariah Islam. wallahu a’lam bisswab.
Rujukan
- Inilah Klarifikasi Menkes Terkait Kampanye Kondom, 20 Juni 2012, www.health.kompas.com
- Tak Bisa Dilarang Kondomnya, interview Majalah Detik edisi 25 Juni-1 Juli 2012.
- Fantastis…Setahun 190 Juta Kondom Terjual di RI, 24 Maret 2012, www.solopos.com
- FITRA: Kampanye Kondom Habiskan Rp25,2 Miliar, Senin, 25 Juni 2012 08:56 WIB metronews.com