Untuk kesekian kalinya umat mengalami kebingungan terkait penentuan awal-akhir Ramadhan. Umat Islam yang sejatinya satu, ternyata berbeda satu dengan yang lainnya. Padahal penentuan awal-akhir Ramadhan adalah hidup-mati umat. Hal penting dari penentuan awal-akhir Ramadhan adalah terkait halal-haram untuk berpuasa.
Sebagaimana terjadi di Indonesia. Ada sebagian umat yang berpuasa 1 Ramadhan pada Kamis (19/7/2012), ada yang Jumat (20/7/2012), dan pemerintah memutuskan untuk puasa pada Sabtu (21/7/2012). Adapun di belahan negeri yang lain (seperti Timur Tengah, Eropa, dan Asia) menetapkan awal puasa Ramadhan Jumat (20/7/2012). Perbedaan tersebut menjadikan umat Islam tidak bersatu dalam puasa Ramadhan.
Puasa ramadhan merupakan rukun Islam dan kewajiban yang telah ditentukan Allah Swt . Kewajiban ini mengikat seluruh umat Islam dan fardhu ‘ain. Puasa Ramadhan merupakan ibadah tauqifiyah. Artinya pelaksanaannya dan penentuan waktunya mengadopsi Rasulullah Saw. Bagi umat Islam sama sekali tidak boleh menyelesihi dalam puasa Ramadhan.
Rasulullah Saw menggariskan dalam menentukan awal-akhir Ramadhan dengan ru’yat. Metode ru’yat merupakan cara untuk menentukan awal bulan qomariyah. Maka tidak ada keraguan lagi untuk menentukan awal-akhir Ramadhan dengan ru’yat yang sah secara syar’i. Ru’yat tersebut dilakukan dengan mata telanjang maupun dengan alat bantu.
Jumhur ulama’ telah bersepakat tanpa ada perbedaan di antara ulama madzhab-Hanafiyah, Malikiyah. Syafi’iyah, Hanbaliah-. Adapun penghitungan astronomis tidak mempunyai kedudukan yang kuat untuk menentukan atau memastikan awal bulan jika menafikan ru’yat. Maka yang seharusnya menjadi pegangan umat islam adalah astronomi digunakan untuk membantu ru’yat. Sebuah kesatuan ilmu pengetahuan dan aturan islam. Hal yang harus dipegang oleh umat Islam adalah munculnya bulan tidak pernah dua kali. Tidak mungkin ada 1 Ramadhan dua kali, karena bulan hanya satu.
Fakta Historis
Kaum muslimin sepanjang sejarah negara kesatuan Khilafah menjadikan ru’yat sebagai metode menentukan awal-akhir Ramadhan. Wilayah Khilafah yang terbentang luas tidak menyurutkan langkah untuk menyatukan awal-akhir Ramadhan. Hal ini berlangsung juga pada masa Khulafaur Rasyidin, Umawiyyin, ‘Abasiyyin, Utsmaniyyin sampai keruntuhan Khilafah terakhir.
Sekalipun negeri-negeri mereka berjauhan. Kemungkinan terjadi perbedaan terbitnya bulan (ikhtilaful matholi). Mereka tetap berpuasa pada waktu yang sama dan menyukupkan diri dengan kabar ahad (berita yang dibawa satu orang atau dua orang saksi) berkaitan dengan ru’yat yang bersal dari negeri yang dekat maupun jauh sekalipun jaraknya berhari-hari. Sementara sarana untuk menyampaikan berita ru’yat hanyalah kendaraan unta atau kuda yang tidak memungkinkan menyampaikan berita dalam waktu yang singkat.
Kaum muslimin pada masa Kekhilafahan menyadari betul kewajiban berpegang teguh pada aturan Allah dan Rasul-Nya. Mereka pun mengawali dan mengakhiri puasa bersama. Hanya berpegang teguh dengan syariat Islam mereka bersatu. Mereka tidak berpegang teguh pada kebijakan penguasa yang tidak bijak, atau fatwa sebagian ulama’ yang tidak bertanggung jawab. Sikap penguasa dan ulama’ inilah yang menyebabkan umat terpecah belah.
Umat Islam memahami betul, sebenarnya ru’yat hilal bulan Ramadhan atau bulan Syawal yang dilakukan oleh seorang muslim di negeri manapun mewajibkan berpuasa atau berbuka. Tidak ada perbedaan antara suatu negeri dengan negeri lainnya. Karena siapa saja di antara kaum muslimin yang melihat hilal maka hal itu menjadi hujjah bagi orang yang melihatnya. Kesaksian seorang msulim di suatu negeri tidaklah lebih utama dari kesaksian seorang muslim di negeri Islam lainnya.
Adapun saat ini jika terjadi perbedaan. Hal itu disebabkan ketiadaan pelindung umat Islam, yaitu Khilafah. Umat tidak lagi mempunyai penuntun. Di sisi lain, keruntuhan Khilafah pada tahun 1924 merupakan bencana besar bagi umat Islam. Penjajah melakukan skenario dengan memaksa negeri-negeri Islam untuk menerima penanggalan Masehi. Negeri kaum muslimin dipetak-petak dengan batasan wilayah. Virus nasionalisme disebar sebagai tujuan untuk memecahbelah umat Islam. Maka tak ayal akan ada kejadian janggal ketika dalam menentukan awal-akhir Ramadhan. Lihatlah Malaysia berpuasa pada Jumat (20/7/2012) padahal antara Indonesia dan Malaysia berdekatan ? Sungguh tidak layak bagi penguasa untuk mempertahankan perbatasan semu tersebut, jika negara mereka dikatakan merdeka.
Rambu-rambu Kesadaran
Hakikat yang seharusnya disadari oleh umat beserta para penguasa dalam hal ini ada beberapa hal. Pertama, ketiadaan kesatuan ru’yatul hilal di antara negeri-negeri Islam dan beberapa ormas maupun jamaah merupakan salah satu permasalahan. Permasalahan tersebut disebabkan ketiadaan Khilafah yang menyatukan dan mengurusi urusan umat sesuai dengan hukum Islam. Persoalan penentuan awal-akhir Ramadhan bukan persoalan ijtihad. Karena penentuan awal-akhir Ramadhan merupakan ibadah tauqifiyah. Kedua,tidak ada ketaatan kepada seorang makhluk dalam bermaksiat kepada Allah Swt (HR Imam Ahmad). Maka jika sudah terdapat berita terlihat hilal di negeri kaum muslim manapun dengan syarat berasal dari seorang muslim. Maka negeri-negeri lainnya wajib untuk mengawali dan mengakhiri Ramadhan.
Penyelesaian dari kemelut menentukan awal-akhir Ramadhan, sesungguhnya berasal dari umat Islam sendiri. Jika mereka menginginkan persatuan tentu bisa dengan izin Allah. Tentunya disadari dengan berjuang menegakkan kembali Khilafah. Sebaliknya jika mereka ingin bersatu tetapi tidak berjuang dan tidak berbuat apa-apa untuk mempersatukan negeri-negeri mereka di bawah naungan Khilafah. Maka persatuan itu mustahil terwujud.
Salah satu hal mendesak yang harus dilakukan adalah berjuang untuk mewujudkannya. Umat melalui ulama dan cendekiawan muslim harus mengingatkan penguasa dunia Islam akan amanat dan tanggung jawab di hadapan Allah. Apa jawaban mereka jika nanti dihisab oleh Allah Swt dan ditanya tentang umat ini yang telah diperintah untuk tetap berbuka pada awal bulan Ramadhan atau berpuasa pada hari lebaran ?
Mengakhiri Kemelut
Tiada guna umat ini berdebat untuk berbeda dalam menentukan awal-akhir Ramadhan. Perlunya kesatuan ru’yat global harus segera diusahakan setelah Khilafah runtuh. Jangan sampai sidang untuk memutuskan awal-akhir Ramadhan dijadikan stempel untuk keputusan pemerintah yang sepihak. Apalagi hanya menghabiskan uang rakyat untuk hal yang semestinya bisa dimanfaatkan untuk pencerdasan umat. Jangan sampai sebuah sidang hanya dijadikan dagangan politik basi dan sikap pragmatis ulama’ yang membingungkan umat. Umat dewasa ini butuh ulama’ akhirat yang mukhlis, senantiasa takut kepada Allah. Serta membimbing umat untuk meneladani Rasulullah SAW dan mengajak menerapkan syariah Islam secara kaffah.
Negeri-negeri kaum muslim seharusnya sadar bahwa mereka satu aqidah. Wilayah yang berbeda bukan berarti menunjukkan harus berbeda dalam segalanya. Seiring perkembangan dan kemajuan teknologi. Sarana transportasi dan telekomunikasi hendaknya memudahkan untuk penentuan awal-akhir Ramadhan. Mereka saling berbagi satu dengan yang lain. Sehingga akses informasi sangat mudah. Maka, tidak ada alasan lagi untuk tidak bersama dalam awal-akhir Ramadhan.
Sesungguhnya di sinilah esensi keberadaan Khilafah yang dipimpin seorang Khalifah. Karena amrul imam yarfa’ul khilafa (perintah imam/khalifah menghilangkan perbedaan). Fakta seperti itu telah diilhami oleh umat Islam semenjak dahulu. Demi persatuan umat, pengikut madzhab Syafi’i (ru’yat lokal) yang berada di ibu kota negara Khilafah berpuasa dan berlebaran bersama pengikut madzhab lainnya (Malikiyyah, Hanafiyyah, dan Hanbaliyyah). Sikap mereka tidak menimbulkan perselisihan atau masalah di kalangan pengikut Syafi’i. Maka saat ini umat butuh Syariah untuk mengatur kehidupannya dan butuh Khalifah untuk menyatukan semuanya. Wallahu’alam bissawab.