Tuduhan aliran sesat kembali menyebabkan konflik horisontal yang menimbulkan korban tewas. Kali ini terjadi di Sukabumi, yang melibatkan jamaah tarekat At-Tijaniyah pimpinan Sumarna, aliran yang dianggap sesat oleh warga setempat.
Ratusan warga Kampung Cisalopa, desa Bojong Tipar, Sukabumi, Jawa Barat, membakar habis perkampungan yang dihuni pengikut ajaran Sumarna itu. Beruntung aksi anarki yang dilakukan warga ini tidak menimbulkan korban jiwa. Sebab, sebanyak 18 kepala keluarga yang terdiri dari 70 orang pengikut ajaran Tijaniyah telah terlebih dulu dievakuasi polisi dan TNI, menyusul bentrokan yang terjadi sepekan sebelumnya.
Tapi tidak ada asap tanpa ada api. Aksi kemarahan warga yang membakar perkampungan jamaah Tijaniyah disebabkan hilangnya Ustadz Endin, pemuka agama setempat. Warga menduga Ustadz Endin diculik dan dibunuh oleh pengikut Tijaniyah pimpinan Sumarna.
Ustadz Endin kemudian ditemukan di kebon singkong yang terletak sekitar 500 meter dari belakang rumah Sumarna dalam keadaan tewas. Jasad itu ditemukan malam hari usai pembakaran perkampungan At-Tijaniyah, setelah polisi mendapat informasi dari hasil interogasi para tersangka.
Penggalian lokasi tempat Ustadz Endin dikubur dilakukan oleh Polres Sukabumi dibantu oleh anggota TNI dari Batalyon Infanteri (Yonif) 310/Kidang. Saat ditemukan, korban dalam posisi telungkup dengan menggunakan celana pendek, kaos dan jaket hitam.
Kapolres Sukabumi, AKBP Muhammad Firman, mengatakan telah menetapkan 13 tersangka terkait pembunuhan Ustadz Endin. “Salah satu yang ditahan dan menjadi tersangka adalah Sumarna, jamaah At-Tijaniyah. Tapi kemungkinan masih akan ada tersangka lain dalam kasus ini. Kami masih lakukan pendalaman,” kata Firman, Rabu 22 Agustus 2012.
Kepolisian Daerah Jawa Barat kemudian menjelaskan kronologi yang menyebabkan pembakaran perkampungan Tijaniyah. Menurut Polda Jabar, keluhan warga mengenai aliran sesat jamaah At-Tijaniyah bentukan Sumarna sudah dilaporkan ke Polres Sukabumi sejak 8 Juli 2012.
Atas informasi itu, polisi, pimpinan daerah, dan MUI sudah mengamankan pimpinan dan pengikut ajaran itu. “Setelah diamankan dilakukan pertemuan dan pengucapan dua kalimat syahadat, sebagai pertanda dengan ikhlas kembali kepada ajaran Islam,” kata Kabid Humas Polda Jawa Barat, Kombes Martinus Sitompul, dalam keterangan tertulisnya.
Sumarna kemudian membuat pernyataan kontroversial, yaitu akan terjadi kiamat pada 17 Agustus 2012 pada pukul 02.00. Hal ini menyebabkan warga kembali panas dan berkumpul di sekitar rumah Sumarna, tapi polisi dan TNI kemudian mengamankan Sumarna dan adiknya, Budiman.
Pada 19 Agustus pada pukul 14.15, sekitar 1.000 orang kembali berkumpul. Warga berkerumun karena adanya kabar akan hilangnya Ustadz Endin yang sejak 14 Agustus tidak diketahui keberadaannya. “Karena tidak menemukan keberadaan Ustadz Endin di sekitar rumah Sumarna, massa melakukan perusakan dan pembakaran rumah Sumarna,” ujar Martinus.
Sekitar pukul 20.00 jasad Ustadz Endin kemudian ditemukan dikubur di belakang rumah Sumarna. Mendengar informasi ini, warga semakin mengamuk dan mulai membakar rumah pengikut Sumarna.
Bukan Tijaniyah
Menanggapi peristiwa ini, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Sukabumi, Zezen Zainal Abidin, mengatakan konflik yang menyebabkan tewasnya Ustadz Endin dan pembakaran perkampungan Tijaniyah sebagai tindakan murni kriminal. “Tarekat Tijaniyah tidak sesat. Konflik ini bukan pertentangan pemahaman mengenai tarekat,” ucap Zezen.
Zezen kemudian menjelaskan, MUI telah melakukan pertemuan dengan pimpinan Tarekat Tijaniyah. Dari pertemuan diketahui bahwa Sumarna pernah berlajar ajaran Tijaniyah kepada orang yang salah sehingga ajaran yang diajarkannya pada pengikutnya selama ini sesat.
Selain itu, dari pertemuan dengan para tokoh tarekat Tijaniah diketahui kalau Sumarna bukan tokoh dari tarekat tersebut. Mereka menjelaskan bahwa di Indonesia hanya ada 12 orang yang diangkat menjadi muqqodam atau pemimpin ajaran Thoriqoh Tijaniyah, dan Sumarna bukanlah salah satu dari muqqodam.
Sumarna juga diketahui pernah berusaha membangun ajarannya di Bogor lima tahun lalu. Tapi warga setempat menganggap ajaran Sumarna sesat, Sumarna pun diusir.
“Sumarna mengajarkan ajaran sesat, pada pengikutnya, seperti salat hanya empat waktu, pengikutnya tidak perlu melakukan ibadah salat subuh. Selain itu, tidak ada salat Jumat bagi pengikut Sumarna. Ini jelas salah dan keluar dari aturan agama Islam. Saya menentang ajaran Sumarana karena bukan ajaran tarekat Tijaniyah,” kata Zezen.
MUI meminta masyarakat tidak terjebak polemik ini, sehingga menganggap Tijaniyah sebagai aliran sesat. MUI khawatir bila tidak segera di berikan pencerahaan, masyarakat akan terjebak dan melakukan tindakan anarki pada jamaah tarekat Tijaniyah di tempat lain.
Dari catatan sejarah, keberadaan tarekat Tijaniyah sudah dibahas dalam Muktamar Jam’iyyah Nahdlatul Ulama ke 3 tahun 1928 di Surabaya. Ketika itu muktamar memutuskan bahwa tarekat Tijaniyah adalah muktabarah dan sah.
Keputusan ini kemudian diperkuat lagi dengan Muktamar NU ke VI tahun 1931 di Cirebon, yang intinya tetap memutuskan bahwa Tijaniyah adalah muktabarah dan sah. Jadi ditinjau dari keputusan NU maka tarekat Tijaniyah sudah ada di
Indonesia sebelum tahun 1928.
“Tarekat Tijaniyah adalah sah dan tidak sesat. Kami juga akan terus berupaya mengembalikan nama baik tarekat Tijaniyah setelah terjadinya kasus ini. Dan kepada anggota thoriqoh Tijaniyah, kami imbau tidak melakukan tindakan yang bisa menambah panjang konflik ini,” ucap Zezen.(fq/vivanews)