“Bu Rien…hidup itu terlalu rumit. Dan konsep anda saya rasa terlalu klise untuk menjangkau semua sisi kehidupan yang rumit ini.”
“Hidup itu mudah, Pak. Manusia sendirilah yang membuat hidup itu rumit. Manusia suka membesar-besarkan masalah yang dihadapinya. Mendramatisir suasana. Akhirnya, hidup mereka lihat tak ubahnya seperti jalinan benang ruwet. Itu tidak akan terjadi kalau orang tidak melihatnya dari kain yang terbalik. Jalinan benang itu akan tampak sebagai sulaman episode kehidupan yang indah, karena tangan-Nya yang Maha Pandai telah menyulamnya dengan penuh kasih sayang. Begitulah Tuhan merenda setiap peristiwa yang terjadi dalam kehidupan kita.”
“Puitis. Sepertinya Anda lebih cocok menjadi seorang penyair, Bu. Atau mungkin Anda terlalu sering membaca novel hingga anda mengira bahwa hidup itu seperti fiksi yang sering Anda baca! Dan itu tidak cocok dengan orang seperti Saya. Saya tahu, Anda adalah seorang gadis agamis.”
“Saya rasa setiap orang bisa mencoba untuk menjadi lebih baik jika dia mau!”
“Oh, jadi Anda pikir saya tidak mau mencoba? Saya sudah sering mencobanya dan selalu gagal. Mungkin, Tuhan sudah melupakan Saya. Bahkan, Dia telah mengambil satu-satunya orang yang saya cintai. Dan yah, seperti inilah kehidupan yang harus saya jalani sekarang. Hampa.”
“Maaf, Pak. Saya rasa…”
“Oh, nggak pa-pa. Saya tahu, dunia kita memang berbeda. Very-very…different. Tapi, jangan khawatir, saya akan mencoba menghargai Anda. Meskipun dunia kita jauh berseberangan.”
“Ya, saya juga akan memahami Bapak.”
"Oh, jangan Bu! Tidak usah. Saya tidak butuh untuk dipahami. Dunia Anda terlalu cerah untuk bersentuhan dengan dunia Saya yang buram. Ok! Sekarang, waktu makan siang sudah habis. Dan kita harus segera kembali ke dunia pekerjaan…setuju?”
Huhh…dasar aneh.
Aku hanya bisa mengangguk. Kesal. Jengkel. Baru kali ini aku berhadapan dengan orang seaneh dia. Tidak mau dipahami? Ah, angkuh. Memangnya anda siapa? Aku toh cuma basa-basi. Aku pikir kita adalah rekan kerja yang cocok. Yang akan memulai hari-hari baru dengan mencoba memahami karakter masing-masing. Tapi ternyata? Aku memang takkan pernah bisa memahamimu, Tuan…
Jam-jam berikutnya kulalui di depan komputer hingga jam kerjaku habis. Manajer aneh itupun asyik di ruangannya. Aku berharap dia memang tidak akan pernah keluar ruangan sebelum jam kerjanya habis. Agar aku tidak usah mendengar kalimat-kalimat pedasnya.
***
“Bu Rien langsung pulang?” tanyanya ketika dilihatnya aku mengemasi barang-barangku dan bersiap untuk pulang.
“Tidak, Pak! Saya akan ke musholla dulu, ” jawabku datar.
“Oh ya, nanti pulang naik apa?”
“Bis.”
“Boleh saya antar?”
Wah, dia mulai menawarkan api, nih. Hati-hati Rien…
“Saya belum memerlukannya, Pak, ” tukasku cepat.
Bodoh! Kenapa tadi tidak kubilang saja “tidak memerlukannya”. Kata“belum” terlalu sopan untuk orang seangkuh dia.
“Mm…belum. Berarti suatu saat Anda akan memerlukan mobil Saya untuk mengantar Anda.”
“Saya harap tidak!”
Aku segera berlalu dari hadapannya. Kupercepat langkahku agar tak lagi mendengar ocehannya yang menyakitkan. Benar-benar menyebalkan. Kapan sih, orang itu akan terdengar “very nice”seperti yang dikatakan banyak orang di perusahaan ini. Security, driver, cleaning service, dan… ah, semua orang-orang itu bilang bahwa Mr. Aan itu orangnya baik, perhatian, dan hih!!!
Berkali-kali bibirku mengucapkan istighfar. Aku tak ingin hari-hariku dipenuhi kebencian. Byur…kuusapkan air wudhu perlahan ke wajahku yang kering akibat serangan air conditioning. Air itu membelai lembut wajahku. Menyisakan segumpal kesegaran di sana. Seakan ingin bersahabat dengan udara yang mulai sejuk karena hari ini mulai merambat gelap. Tak hanya berhenti di wajahku, namun kesegaran ini menembus ke dalam relung-relung hatiku yang akhir-akhir ini sering terasa hampa.
Ah, kok Pak Aan nggak salat ya? Tanganku jadi gatal untuk mengingatkan. Dan refleks jemariku mengetikkan sebaris kalimat di layar mungil handphoneku.
Nggak salat, Pak?
Saya lagi cuti. Entah sampai kapan. Jadi tidak perlu mengingatkan Saya.
Duh, Ya Rabbii… balasannya sungguh menyakitkan. Tebersit sebait sesal di hatiku. Kalau tahu seperti ini, lebih baik tidak pernah berusaha mengingatkannya. Aku tidak mau dinilai sok perhatian. Nanti dia malah ge-er lagi.
Hh! Terserah. Aku tidak mau lama-lama memikirkannya. Dan menit berikutnya aku telah tenggelam di lautan teduh kasih-Nya. Bersama semburat saga yang selalu tersenyum manis menyambut sang malam. (bersambung)
Tentang Penulis:
Dewi Anjani, lahir pada 20 September 1985, dengan latar belakang pendidikan S1 Akuntansi Unibraw. Status menikah dan dikaruniai seorang puteri. Prestasinya di bidang penulisan antara lain; Nominasi lomba cerpen Direktorat Kepemudaan tahun 2004, cerpen dibukukan dalam Antologi “dari Zefir hingga Puncak Fujiyama”, CWI, Jakarta. Nominasi lomba cerpen UNISBandung tahun 2005 dan dibukukan dalam Antologi “Dilarang Menangis”, Bandung. Cerpen bersama FLP Malang dibukukan dalam antologi “Dua Pilihan”, Syaamil, Jakarta.