“Sebenarnya kemarin aku ketemu Hilma. Dia bercerita banyak hal tentang apa yang menimpanya. Hilma juga bercerita tentang siapa sebenarnya laki-laki yang menghamilinya. Dan laki-laki itulah yang menularkan virus itu padanya. Sekarang jujurlah, mas. Aku sudah terlanjur sakit. Jangan bohongi aku lagi…!”
“Li… aku memang pernah melakukannya dengan Hilma. Tapi itu sebuah kecelakaan… aku khilaf, Li! Aku pikir Hilma tidak akan menceritakannya padamu. Aku sudah bertekad untuk memperbaiki diri hingga akhirnya menikahimu…”
Apa? Kecelakaan? Khilaf? Tidak sesederhana itu, mas…
Mas Indra tertunduk sedih. Perih itu menusuk hatiku lagi. Sekarang, perih itupun harus kubagi dengan makhluk mungil yang kini mendekap hangat dalam rahimku. Semakin sakit rasanya.
“Tapi aku bukan pengidap AIDS, Li! Kalau kau tidak percaya aku bisa melakukan tes darah. Dan aku tahu persis, dokter yang merawat Hilma mengatakan bahwa Hilma tertular dari transfusi darah…bukan dari aku! Aku tidak mengerti kenapa Hilma tetap berprasangka bahwa aku yang menularkannya.”
Sayang, penjelasanmu tidak berpengaruh apapun bagiku, mas. Aku sudah terlanjur sakit. Tapi… anakku juga membutuhkan seorang ayah. Apa yang akan dirasakannya kalau aku akhirnya memilih untuk bercerai?
“Maafkan aku, mas!” lirihku. Aku tidak tahu harus meminta maaf untuk apa. Mungkin untuk bayi tak bersalah ini…
“Akulah yang harus minta maaf, Li. Kamu pasti sudah mengambil keputusan, bukan? Semoga itu yang terbaik bagimu. Yang pasti… aku masih sangat mencintaimu.”
“Aku sudah menghubungi pengacara untuk mengurus perceraian kita. Semoga kamu menemukan pendamping yang bisa membahagiakanmu. Bisa menjadikanmu seorang isteri yang sesungguhnya. Bisa memberimu keturunan. Bisa…"
“Mas, cukup! Aku tidak tahu keputusan terbaik itu apa!!”
Aku berteriak dalam isak yang semakin menghimpit dadaku. Tergesa-gesa aku mengulurkan secarik kertas…
Mungkin aku tak lagi punya cinta untukmu, mas. Tapi anak ini…
“Mas, aku hamil…”
“Hah…apa, Li?” Mas Indra menatap kertas itu tak berkedip. Menyusul sebuah senyuman yang kemudian mewarnai wajahnya. Senyuman yang justru merobek batinku yang telah penuh luka.
Mata mas Indra masih meneliti satu persatu tulisan di atas kertas itu. Sepertinya dia masih ragu dengan tanda positif yang tergambar besar di kertas itu. Setelah itu tatapannya beralih ke wajahku. Mata itu nanar… dilumuri rasa bersalah.
“Di hotel De Ville…” suara mas Indra terdengar lirih. Ucapannya seakan membenarkan ingatanku.
“Li, kamu akan menjadi seorang ibu?”
“Kamu kejam, mas!” sahutku dalam selimut kebencian.
“Li…kumohon, maafkan aku. Demi anak itu… demi anak kita…”
Kalimatnya memelas. Tangan kekarnya kemudian menggenggam tanganku seperti tak berdaya. Ada permohonan yang begitu dalam di sinar matanya.
“Li…kumohon, ikhlaskan kesalahanku. Aku berjanji akan menjadi suami yang baik untukmu. Aku berjanji akan menjadi ayah yang baik untuk anak kita…!”
Ya, Allah… Ini adalah pilihan yang maha berat…
Akhirnya aku menjatuhkan diri dalam pelukan mas Indra. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Sakit itu masih begitu menusuk … Tapi aku sadar, cinta memang selalu butuh pengorbanan. Dan aku akan melakukan apapun demi cinta sejati itu..
Cinta sejati seorang ibu…
***
Ya Allah… Biarlah masa lalu itu benar-benar berlalu
Sekarang kami ingin merajut masa depan…
Dan kini, sempurna sudah kebahagiaan yang Kau anugerahkan pada kami…
Kumohon, tunjukkan pada kami bagaimana caranya bersyukur atas anugerah yang begitu agung ini, Robbi…
Ibu… kini aku menemukan tujuan itu.. tujuan yang akan aku perjuangkan.
Tujuan yang dulu mungkin begitu kau junjung tinggi…
Mendidik anakku menjadi orang yang bisa membuat orang tuanya bangga di hadapan Allah… di akhirat kelak…
“Mas… anak kita kembar! Kamu pilih yang mana?”
“Pilih yang tidak mirip ibunya…”
“Kalau semua mirip ayahnya, aku juga nggak mau..!”
Ah, kastil yang terbangun di atas pasir itu ternyata masih begitu kokoh. Karena pondasinya dibuat dengan gaya arsitektur tercanggih bernama keihklasan…
Dan pagi-pagiku selanjutnya diwarnai lengkungan pelangi yang terpancar dari kerlip-kerlip cahaya dalam sepasang mata mungil kedua boneka kecilku…
-TAMAT-