Pelangi Retak (Bag. 23)

Penggalan 9

Kembali ke Jakarta seperti kembali ke sangkar sendiri. Menghirup lagi udara tropis yang memanjakan hidung. Tidak seperti Eropa yang dingin dan telah berkali-kali membuatku mimisan. Belum lagi lidah dan perutku yang sudah tidak tahan ingin mencicipi masakan Indonesia yang pedas, gurih, dan pasti cacing-cacing di perutku akan berdisko gembira menikmati makanan sepeti lalapan ayam, bakso dan seafood ala Indonesia. Mana tahan cacing-cacing itu dengan makanan-makanan instan berbahan dasar keju, susu, roti dan saus …

Hari-hari kembali berlalu seperti biasanya. Rutinitas pekerjaan rumah kembali menanti dan tak ada yang tersisa dari Eropa selain capek! Bulan madu itu tetap tak menjawab apa-apa … selain berkeliling ke tempat-tempat wisata, tak ada lagi yang kami lakukan …

Suamiku yang pengertian itu tetap melupakan satu kewajibannya sebagai suami …

***

Assalamu’alaikum ya akhi…ya ukhti…

“Ya, halo …” sengaja tak kuucapkan salam atas nomer asing itu.

Hello, honey? Pa kabar? Selamat ya! Wah, kok undangannya nggak sampai ke aku?”

Dadaku tiba-tiba bergemuruh. Suara itu membuat aliran darah di tubuhku seakan mengalir dua kali lebih deras. Suara itu… Ah, aku tidak mungkin salah. Itu suara Hilma! Darimana dia tahu kalau aku sudah menikah?

“Mm… Hilma, ya! Ke mana aja, kamu? Kok menghilang lalu tiba-tiba muncul seperti ini?”

“E..e..e..e.. langsung nodong, nih! Seharusnya aku yang marah. Tega tidak mengundangku? Mentang-mentang aku sekarang penyakitan, lalu dilupakan…”

“Kamu yang menghilang tiba-tiba… Lagipula, aku nggak rame-rame, kok. Teman-teman tak satupun yang kuundang…”

“Eh, Li! Ketemuan, yuk! Kangen banget, nih!”

“Ya, aku juga kangen. Lho, memangnya kamu sekarang di mana?”

“Aku di Jakarta, Li. Alhamdulillah aku masih bisa bertahan. Kini aku menjadi salah satu nara sumber dalam sebuah seminar tentang AIDS. Udah ya, ntar ceritanya aku teruskan. Kita ketemuan di mana?”

“Hm… gimana kalo di kantin Alta Mara…?”

“Ok, aku tunggu ya. Paling telat dua jam lagi kita ketemu di sana.”

***

Hilma datang bersama seorang wanita berusia sekitar tiga puluhan… Mirip bu Indah kukira. Tapi kelihatannya wanita itu lebih enerjik dan tipe-tipe pekerja lapangan. Begitu besar pancaran semangat yang terlihat menggenangi pandangannya. Ah, mata seorang aktivis! Wah, sejak kapan aku jadi sok tahu tentang pribadi orang lain ya?

“Assalamu’alaikum…”

“Wa’alaikumsalam…”

Hilma berdiri menyambut kedatanganku. Kamipun berpelukan penuh kerinduan. Ah, Hilma. Semakin banyak lagi perubahan yang kulihat di wajah sahabatku itu. Jilbabnya kini makin lebar. Roknya juga lebih mirip sarung. Ataukah itu hanyalah efek dari tubuhnya yang aku yakin begitu kurus kini. Tadi, saat berpelukan… aku seperti memeluk tulang…

“Gimana kabarmu, Hil? Tega kamu, ya…! Bikin orang cemas dan hampir mati penasaran! Ke mana aja sih kamu?” pertanyaan itu muncul begitu saja. Aku tidak ingin Hilma melihat kekecewaan yang pernah kusimpan atas sikapnya dulu.

“Yaah… seperti yang kau lihat. Aku masih bisa berdiri tegak. Masih bisa sampai di Jakarta lagi. Ya, Li. Sorry, dulu itu aku benar-benar down. Aku nggak ingin bertemu siapapun. Rasanya semua orang hanya memandangku dengan tatapan menghina. But, life must change. Sekarang aku sudah menemukan semangat itu lagi! Bahkan aku menemukan sesuatu yang lebih berarti gara-gara penyakit ini mampir di tubuhku.”

Tak ingin bertemu siapapun? Termasuk aku? Tapi dulu kamu bertemu Mas Indra setiap hari? Benarkah Mas Indra masih lebih penting bagimu, Hil? Apa reaksimu kalau tahu bahwa laki-laki itu kini telah menjadi suamiku?

“Berat badanku kini hanya 35 kilo, Li. Tapi untungnya aku masih kuat menyangga tubuhku dan masih bisa terbang ke sana kemari… Oh, ya, kenalkan! Ini mbak Farah. Dia sekretaris umum sebuah yayasan AIDS di Surabaya. Dia yang setia menemaniku mengikuti seminar-seminar AIDS atau sekedar curhat-curhatan sesama penderita…”

Begitu semangatnya Hilma bercerita sampai-sampai aku berpikir bahwa dia tak pernah sakit. Hebat. Sebegitu cepatnya dia menemukan kembali semangat itu… Mbak Farahkah yang membantunya? Tatapan mata perempuan yang bercahaya itu begitu sejuk. Senyumnya lembut. Wajahnya yang syahdu mengingatkanku pada seseorang. Ah, ibu… bayangan wanita itu kembali menyelusup perlahan di ruang batinku.Ibu, aku ingin menjadi seperti bunga Lili… cantik tapi tetap damai. Dia tidak berduri seperti mawar…

“Nah, Li… Aku kan sudah cerita banyak, sekarang kamu harus cerita tentang pangeranmu. Gimana proses kalian sampai bisa menikah? Lalu, pergi bulan madu ke mana?”

Aku tergugu mendengar permintaan Hilma. Siapkah dia dengan cerita ini? Bagaimana kalau dia masih menyimpan cinta untuk mas Indra? Aku melirik ke mbak Farah. Perempuan anggun itu kemudian bergegas meninggalkan kami dengan alasan akan memesan makanan. Sepertinya dia mengerti bahwa ada sebuah rahasia yang tidak ingin kuperdengarkan padanya. Dan Hilma masih menatapku dengan tatapannya berlumur kebahagiaan. Hatiku semakin tak enak.

“Ah… cerita tentang itu ntar aja… kamu kan belum selesai… Di mana kamu kenal mbak Farah? Hm… mengenai atasanmu itu apa ada kabar? Dan tanggapan keluarga di Surabaya mengenai kondisi kamu, bagaimana?”

Aku berhasil mengalihkan perhatian Hilma. Dugaanku tepat. Diapun memulai lagi ceritanya yang mengalir seperti es.

“Hm…. sepertinya sekarang aku memang harus menceritakan semuanya. Biar kamu nggak penasaran lagi… Atasanku itu sudah pergi entah ke mana. Saat itu sebenarnya aku berpikir bahwa aku bisa membesarkan anakku. Tapi Allah berkehendak lain. Aku mengalami pendarahan ketika meeting di Bekasi. Makanya aku sampai terdampar di rumah sakit itu.”

Hilma diam. Sepertinya bagian selanjutnya adalah bagian yang sulit untuk diceritakan. Aku hanya bisa menebak-nebak.

“Li! Umurku mungkin tak panjang lagi. Tapi aku beruntung. Keluargaku di Surabaya mau menerimaku meski Mama sempat shock juga. Papa yang memperkenalkanku dengan mbak Farah dan akhirnya aku bergabung dengan yayasan itu. Berkumpul sesama penderita. Saling menguatkan. Menjalani berbagai macam terapi yang membuatku akhirnya menemukan arti hidup ini yang sesungguhnya. Maafkan aku, Li! Dulu aku sempat mengira bahwa kita tak bisa lagi bersahabat. Tapi ternyata kamu masih begitu baik padaku…”

Hilma tiba-tiba menangis. Satu-satu titik kristal bening membasahi pipinya. Ada apa sebenarnya…?