Pelangi Retak (Bag. 20)

PENGGALAN 8

Sebulan sudah usia pernikahanku. Ah, tiada terasa. Akhir-akhir ini aku baru menyadari bahwa aku sudah melalui pintu gerbang ajaib itu. Sebuah pintu gerbang yang membuatku harus menyandang sebutan baru sebagai seorang isteri. Sebuah judul dari antologi sederhana yang berisikan rangkaian kisah kehidupan. Sederhana namun sarat perenungan.

Bahagia. Mungkin itulah satu kata pertama yang dapat kutuliskan dari deretan perasaan lain yang bergema di dalam hati ini. Dia ternyata adalah suami yang begitu baik, sabar, pengertian, penuh kasih sayang dan penuh nasihat.

Aneh. Ah, perasaan itu akhirnya harus kuakui juga. Perasaan yang kukira muncul akhir-akhir ini tanpa sengaja. Di antara sekian banyak kesibukannya, kadang mas Indra masih sempat membuatkan aku segelas teh atau sepiring roti bakar untuk sarapan pagi. Masih sempat melayaniku berdiskusi tentang banyak hal. Masih sempat mengoreksi detil bajunya yang kadang kurang licin kusetrika, dan masih banyak hal lain yang tak luput dari perhatiannya. Kecuali satu hal!

Kenapa mas Indra tak pernah menyentuhku sebagai seorang isteri? Hingga akhirnya malam-malam kami cukuplah berlalu dengan menikmati mimpi masing-masing. Kapan dia mencoba menawarkan diri untuk menikmati mimpi-mimpi itu berdua, terbang bersama dan menjelajahi keindahan itu… Adakah yang salah?

***

“Sayang … hari ini kita belanja. Siap-siap ya! Banyak yang harus kita beli.”

Aku hanya berkerenyit heran. Belanja? Perasaan baru kemarin kami pergi ke supermarket. Sayuran masih banyak. Keperluan kamar mandipun masih lengkap. Apalagi yang mau dibeli?

“Belanja apaan?” tanyaku kemudian. Suamiku tak menjawab. Dia hanya menunjukkan dua lembar kertas.

Hah … tiket? Ke Eropa? Ternyata suamiku telah menyiapkan bulan madu paling romantis seperti yang pernah kubayangkan…

Inikah jawaban dari keanehan sikapmu, Mas…?

“Mas, beneran? Kita ke Eropa? Ke Paris?”

“Nggak… aku bosan ke Paris. Nanti kita akan ke Mesir, Macedonia, Albania, Yugoslavia, Bosnia….”

“Hah…nakal! Ngapain ke sana? Mau jadi peneliti arkeologi atau mau ngeliput perang, sih?”

“Ha…ha…ha… Gitu aja kok marah. Ok, kita ke Eropa. Aku akan ajak putri kecilku terbang ke mana pun dia suka…” Mas Indra mengacak-acak rambutku mesra. Ah, akhirnya perasaan aneh itupun terjawab sudah…

***

“Mas… kita beneran mau ke Mesir? Mau ngapain di sini? Mau lihat piramid? Mau meneliti mumi?”

Mas Indra hanya tersenyum tipis. Dia tampak tak peduli dengan tatapan keherananku.

Kota yang pertama kali kami kunjungi adalah Sinai. Lembah suci legendaris tempat nabi Musa pernah mengadakan dialog dengan Tuhan. Walaupun hampir seluruh dataran Sinai kebanyakan hanya berupa padang pasir dan gunung-gunung batu namun pemandangannya cukup mengesankan. Menyaksikan dari dekat mata air bersejarah yang oleh penduduk setempat disebut ‘Uyun Musa’ membawa nuansa tak terlukiskan dalam hatiku. Tempat ini berupa dua belas mata air yang berasal dari sebuah batu yang dipecahkan oleh nabi Musa A.S dengan tongkatnya untuk memberi minum dua belas suku kaumnya. Meski saat ini tak semua sumur itu dapat ditemukan karena tertutup pasir gurun, namun tetap saja hati ini bergetar menyaksikannya….

“Mas, kenapa mengajakku ke sini?”

“Kamu nggak suka?”

“Suka. Tapi… aneh aja. Bulan madu kan biasanya ke Paris?”

“Itukan biasanya. Aku ingin memberikan yang luar biasa untuk putri cantikku! Selain itu, agar perjalanan ini nggak sia-sia tapi akan membuat kita semakin mencintai-Nya…”

Aku terdiam mendengar alasan mas Indra. Sejauh apakah sebenarnya dia berubah, Tuhan…

Hari sudah sore ketika kami meninggalkan mata air itu. Mas Indra kemudian mengajakku menikmati kilau senja di Dahab. Sebuah pantai elok berpasir kuning keemasan. Sinar baskara yang kemerahan dipantulkan oleh bulir-bulir pasir hingga menghasilkan leratan cahaya menyilaukan yang begitu fantastis. Pemandangan senja yang menakjubkan.

“Mas, aku pingin mandi…!”

“Coba aja kalo berani!” Mata itu melotot jenaka mendengar permintaanku.

***

Keesokan harinya perjalanan dilanjutkan ke Aswan, salah satu kota di Mesir Selatan yang paling kaya dengan peninggalan kebudayaan kuno berbau Afrika. Terletak sekitar 81 mil sebelah selatan Luxor. Berjalan-jalan di kota Aswan seperti memasuki toko rempah-rempah. Aroma khas tanaman obat itu menyengat di mana-mana di setiap sudut kota kecil itu…

Dari pinggiran kota kecil yang cantik ini kami dapat menyaksikan pemandangan sungai Nil yang memanjakan mata. Menatap sungai terpanjang itu mengalir membelah hamparan padang pasir dan batu karang, jajaran pulau Jamrud yang tertutup hutan tropis. Kapal yang lalu lalang di atasnya dan indahnya langit biru sambil menikmati musik Nubian dan sajian ikan segar di atas restoran terapung.

Subhanallah… Benar-benar laksana surga di dunia.

Yang paling jelas terlihat di kota Aswan adalah pulau Elephantine. Sebuah pulau cantik yang penuh dengan peninggalan sejarah abadi sejak dahulu kala. Konon pulau itu adalah pulau terbesar di Aswan yang sering disebut Geziret el-Nabatat (pulau tumbuh-tumbuhan). Dinamakan demikian untuk mengenang Jendral Kitchener, seorang jendral Inggris Haratio Kitchener (1858-1916) yang dikirim ke Mesir pada tahun 1883 untuk membekali tentara Mesir, yang kemudian memimpin perang melawan Sudan. Jendral itulah yang menanam banyak tanaman langka di pulau ini.

Menatap satu persatu bangunan Mesir kuno bergaya arsitektur Dinokrates yang tersebar di pelataran kota Iskandariyah seperti membawa diri ini terbang ke masa lalu. Mercusuar-mercusuar kuno Alexandria yang menjadi kebanggaan kota ini menggambarkan kecerdasan dan tingginya peradaban para pendirinya di masa lalu.

Kota yang dibangun oleh Iskandar Zulkarnaen sekitar tahun 323 SM ini juga kaya ilmu pengetahuan. Terbukti dengan adanya sebuah perpustakaan yang disinyalir merupakan perpustakaan terbesar di dunia. Luasnya saja tidak kurang dari 40 hektar. Di sana tersimpan rapi manuskrip-manuskrip kuno dari berbagai negara.

Ah, perjalananku benar-benar lebih mirip study tour daripada bulan madu…