Pelangi Retak (Bag. 19)

PENGGALAN 7

Surat pengunduran diri telah kuajukan ke HRD dan bu Indah, seminggu yang lalu. Satu tahun bekerja di Citra Persada dengan pimpinan sebaik bu Indah, membuatku berat meninggalkan Citra Persada…

Bu Indah, terima kasih. Darimu aku banyak belajar tentang hidup ini. Maaf, aku tak bisa berada di sini lebih lama lagi. Aku harus pulang kampung dan mempersiapkan pernikahanku… Masa depanku…

Perjalanan menuju kampung halaman adalah sebuah pengulangan masa lalu bagiku. Sudah tiga tahun aku tidak melakukannya lagi. Bahkan saat hari raya sekalipun. Karena aku tak tahu lagi siapa yang harus kutemui. Ibu… ah, perempuan renta itupun kini hanya menyisakan gundukan tanah merah untukku. Begitu banyak kenangan yang dulu kami lalui bersama di antara pematang sawah dan lambaian bunga-bunga jagung yang telah berganti dengan kemacetan metropolitan.

Meski menyesal karena aku tak pernah bisa memenuhi keinginan ibu untuk tinggal di kampung, tapi aku yakin ibu lebih bahagia saat ini. Sebuah kampung mungil yang listrik saja tak ada, hanya akan membuat pengetahuanku tentang informatika terbuang sia-sia. Padahal, aku tak meraihnya dengan mudah. Kukira ibu pasti cukup mengerti dan akan setulus hati membiarkan anaknya menyumbangkan ilmu yang dimilikinya. Meski wanita sederhana itu tak pernah mau kuajak tinggal di Jakarta yang katanya penuh kemaksiatan. Hingga akhirnya sosok agung itu menjemput ajal dalam kesendirian…

Ah, ibu… Betapa tak bergunanya anakmu ini…

Kerinduan membuncah dalam hatiku. Kerinduan akan banyak hal. Rindu dengan omelan-omelan ibu yang bijak. Rindu dengan segala pernak-pernik suasana perkampungan yang polos dan khas. Rindu dengan rumah mungilku yang hanya beratap genteng tua penuh jelaga. Rindu dengan kamar mandi mungil berlantai kerikil yang hanya bisa digunakan setelah bersusah payah menimba air dari sumber mata air di lereng bukit. Rindu dengan cericit kenari yang membangunkanku setiap pagi. Ah, tapi Jakarta telah jauh mendominasi pribadiku. Aku tahu, tak akan betah bertahan lebih lama di kampung kecil itu…

***

“Apa? Ba’na akabina, Li? Kamu mau kawin? Dengan siapa?” suara pak de tampak terkejut dengan kedatanganku yang tiba-tiba untuk memintanya menjadi wali pernikahanku. Logat Maduranya yang kental mengingatkanku pada Ibu…

“Sareng kanca sakantor, Pak de. Oreng Situbanda kiya. Tapi campok na neng e kotthana.”

(Dengan teman sekantor, Pakde. Dia juga orang Situbondo. Tapi rumahnya di kota)

“Baddiyanna ba’na a raja, Li! Rassana buru ba’arik ba’na egindhung bik ebuna. Tape satiya ebuna la tak bisa nyandingi ba’na. Pasabbar ya, Nak. Pak de perak bisa mojiyagi. Dhar katemuwa apa ekaarep…”

(Ternyata kamu sudah dewasa, Li! Rasanya baru kemarin kamu berada dalam gendongan ibumu. Tapi sekarang, ibumu sudah tidak bisa lagi bersamamu. Bersabarlah, Nak. Pakde hanya bisa berdoa semoga kau menemukan apa yang kamu inginkan…)

Aku melihat tetes-tetes bening mengaliri wajah tua yang mulai keriput itu. Ah, kalau ayah dan ibu masih ada, akan menangis pulakah seperti Pakde?

Aku sebenarnya tak hanya ingin menangis. Tapi lebih dari itu… aku ingin menjerit…

Ibu… ini adalah peristiwa terbesar kedua dalam hidupku yang tak bisa kau hadiri…

***

Acara sakral itu dilangsungkan secara sederhana. Aku sudah memohon dengan hormat kepada keluarga mas Indra untuk tidak menampakkan kemewahan apapun di kampungku yang masih terlalu lugu. Biarlah, mereka tetap mengenalku sebagai Lili yang dulu… Polos dan sederhana. Biarlah mereka tidak pernah tahu tentang Lili di kota metropolitan sana. Biarlah mereka menganggap bahwa aku masih gadis desa yang bersahaja…

Semuanya berjalan dengan begitu khidmat. Meskipun di hatiku yang paling dalam rasa kepedihan itu masih membayangi, rasa kebahagiaan yang datang perlahan…

“Te ngate mon odhik e kottha, Li. Pakde tak ngarep pa apa dhari bha’na. Perak pa teppa’ajalani odhik ya… Ja’samape dha’ka se Kobasa…”

“Nak, cang manto… matoro’a Lili ya! Jaga pa teppak. Ja’sampe bilu’ jalanna.”

(“Hati-hati hidup di kota, Li. Pakde tidak mengharap apa-apa darimu. Hanya pesanku, tetaplah berada di jalan yang benar. Jangan pernah lupa ada Yang Maha Kuasa”)

(“Nak, mantuku. Aku titipkan Lili padamu. Jagalah dia dengan baik. Jangan sampai melangkah di jalan yang salah…”)

Itulah pesan terakhir Pakde sebelum kami pergi meninggalkan kampung kecil itu. Ah…, serpihan masa lalu yang harus kutinggalkan kembali.

Ibu… maafkan aku. Aku tak bisa menjaga rumah kita. Tapi aku janji, akan selalu mendo’akanmu dalam sujud panjangku…

***