Pelangi Retak (Bag. 18)

“Gimana pekerjaannya hari ini?”

“Lumayan lancar. Eh, katanya mau ngasih aku sesuatu? Mau ngasih apa?”

“Nih!” Mas Indra mengeluarkan benda setebal kamus dari tasnya. Tuh kan…bener, hanya sebuah buku. Tapi, upps! Kok judulnya…”Kiat menjadi Ibu yang Baik”.

Hah? Apa-apaan ini? Apa Pak Aan sudah cerita sama Mas Indra kalau dia akan melamarku?Ah, tapi nggak mungkin.

“Katanya kamu mau cerita sesuatu? Cerita apa?”

“Mmm… sebenarnya sih tentang proyek kita. Tapi, tadi sudah aku konsultasikan sama bu Indah. Nggak jadi cerita, deh. Masalahnya sudah selesai…”

“Memangnya masalah apa?”

“Cuma masalah kecil kok. Ah, sudahlah. Never mind!

“Kalo gitu… aku aja yang cerita!”

“Kali ini aku serius, Li! Jadi, tolong kamu juga serius.”

Apa? Serius…memangnya masalah apa? Aku hanya menjawab kalimat Mas Indra dengan anggukan kecil. Enggan mengeluarkan suara.

“Li, aku sudah lama mempertimbangkan semua ini. Aku tahu Hilma adalah sahabat dekatmu. Apalagi sekarang dia sedang sakit. Sempat aku berpikir bahwa pilihanku ini tidak akan pernah kau setujui. Makanya, beberapa saat kemarin aku mencoba menghindarimu. Lalu, mencoba memposisikan diriku untuk menjadi sekedar teman yang baik. Tapi aku menyadari…aku hanya manusia biasa. Apalagi kita begitu sering bertemu di kantor. Aku ingin mengubah banyak hal dalam hidupku. Aku ingin mewarnai masa laluku yang kelabu. Tapi ternyata..aku haya melihat cahaya bulan sabit. Aku tahu untuk meraih purnama, aku harus…”

Lama Mas Indra terdiam. Aku yang tak mengerti alur ceritanya hanya menaikkan alis. Bingung. Mungkinkah kalimat itu akan berakhir dengan….

“Li, aku minta maaf kalau hal ini tidak kau sukai.”

“Aku…aku ingin menikahimu, Li!”

Bruakkkkk! Sebuah pot bunga kecil yang ada di pagar tembok rumah sebelah, terjatuh… Tak hanya aku yang kaget. Mas Indra juga kulihat tampak lebih terkejut. Bagaimana tidak? Kucing tetangga yang memang dari tadi duduk manis di atas tembok itu seakan mengerti apa yang kami bicarakan. Dia menjatuhkan pot bunga itu tepat setelah Mas Indra menyelesaikan kalimatnya.

“Aku tidak harus menjawabnya sekarang, kan?” tanyaku setelah berhasil menguasai perasaan. Mas Indra tersenyum. Mungkin sudah menduga bahwa kalimat itu yang akan menjadi jawabanku.

“Pikirkanlah, dulu.Jangan tergesa-gesa.Ini adalah sebuah keputusan besar dalam hidupmu!”.

Sangat besar, Mas! Bahkan dulu, aku berharap aku tidak akan pernah memikirkannya….

***

Malam itu kuhabiskan untuk mendata kelebihan dan kekurangan Mas Indra maupun Pak Aan. Yang satu, manajer. Tampang biasa. Labil. Angkuh. Sombong. Egois. Tapi sekarang mulai berubah, meski tidak mustahil akan kambuh lagi. Dan aku punya beban moral padanya. Kalau menolaknya, what will happen with him? Apa dia tidak akan bunuh diri?

Yang satu lagi, mantan kapten tim basket SMA. Matang. Tampan. Manajer juga. Dulu sih, agak badung. Mantan Playboy. Bekas pacar Hilma.T api sekarang tampak religius dan lebih dewasa…

Ah, keduanya sama-sama pilihan yang memberatkan…

***

“Bu Indah, pernah nggak merasa bingung untuk memutuskan sesuatu. Misalnya… karena ada dua pilihan yang sama-sama punya beban yang sama untuk dipilih?”

“E..e..e..e… kok tumben tanya yang beginian? Ada apa, sih? Kamu dilamar ya?”

“Yah, Bu Indah… Cuma nanya gitu aja, udah diledek…”

“Kalo memang iya, kenapa? Itu wajar, Rien… Lagian, kamu juga sudah cukup dewasa untuk itu..”

Wajar sih… tapi aku tidak tega menceritakan semua ini pada bu Indah. Usianya sepuluh tahun diatasku. Tapi sampai sekarang, dia belum menikah… Apa dia tidak akan sakit hati kalau aku yang lebih muda dilamar dua orang dalam waktu yang bersamaan….

“Bukan masalah itu kok, Bu!”

“Masalah itu juga nggak pa-pa. Ibu ngerti kalau kamu malu menceritakanya.”

“Ah, bener bu. Bukan itu!”

“Kalau bukan ya sudah… gitu aja kok, ngotot? Jadi curiga, deh!”

Akhirnya aku hanya tersenyum tipis. Dan sepertinya bu Indah menangkap arti senyumku.

“Bingung menetukan pilihan? Kamu sudah sholat istikharah? Minta aja petunjuk pada Yang Di atas…”

Oh, iya.Kok aku jadi lupa… Bukankah hanya pada-Nya manusia bisa memohon petunjuk? Wah, ternyata aku masih belum tahu apa-apa dalam hal agama. Seperti ini, sudah mau nikah. Apa yang bisa dijadikan bekal?

***

Istikharoh panjangku akhirnya menghasilkan sebuah keputusan.. Mas Indra lah yang kupilih. Dan Pak Aan…dia ternyata jauh lebih tegar dari yang pernah kuduga.

“Ah, Rien..menyesal aku pernah mau menjodohkan kalian. Tapi nggak pa-pa…keputusanmu justru membantuku untuk terus menepati janjiku padanya untuk tidak pernah menikah. Selamat ya!”

Hanya itu yang terlontar dari bibir Pak Aan. Terasa sedikit menyayat memang. Tapi itulah kehidupan. Yang selalu menyajikan pilihan dengan resikonya masing-masing. Pilihlah jalan mendaki yang sulit dan penuh duri. Maka kaupun akan sampai ke puncak keindahan…