“Pulang, yuk! Kayaknya kamu sudah mengantuk, ya?”
Aku mengangguk dan kemudian mengekor di belakangnya menuju tempat parkir.
“Mas, boleh tanya sesuatu?” tanyaku pada Mas Indra ketika kami telah berada di dalam mobil. Sopirnya yang mendengar pertanyaan itu, melirikku lewat kaca spion. Mungkin dia risih. Ah, cuek aja.
“Tanya apa?”
“Sabar itu apa, sih?”
“Menurut kamu apa?”
“Ya…pokoknya bisa mengendalikan diri dan menghadapi semua masalah dengan tenang.”
“Ya…miriplah. Intinya adalah keteguhan hati untuk memahami bahwa semua berasal dari-Nya dan akan kembali pada-Nya. Innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Ketika hati sudah berpijak di sana, maka kita akan menganggap bahwa apapun yang terjadi dalam hidup ini adalah yang terbaik yang diberikan oleh Allah. Orang yang memiliki pemahaman ini tidak akan pernah mengeluh dan akan selalu bahagia dalam menjalani hidup.”
Darahku berdesir mendengar penjelasan Mas Indra. Kalimat-kalimat seperti itu begitu sering kudengar. Dulu. Entah darimana. Mungkin guru agamaku waktu SMA atau dari para ustad yang sering mengisi ceramah di kampung, atau serial siraman rohani di televisi… Ah, bayangan ibu yang kurasa dulu juga sering menasihatiku demikian tiba-tiba berkelebat di benakku.
Bu… sabarkan tidak harus diam di desa. Menunggu rezeki turun dari langit…
“Li, sudah sampai..”
“Eh, iya. Makasih Mas…”
“Sama-sama. Aku langsung pulang ya. Assalamu’alaikum…”
“Wa alaikum salam…”
Ada sedikit perasaan tak nyaman di hatiku. Perasaan kehilangan. Ah, tidak. Aku tidak boleh merasa memiliki apapun dan siapapun kalau tidak ingin merasa kehilangan dan sakit hati. Lagi-lagi bayangan Ibu menyergap sisi lain hatiku yang rapuh.
“Nak, apa yang kau cari?” suara tuanya yang serak terngiang jelas di telingaku…
***
“Rien…ada surat untukmu. Heran, akhir-akhir ini kamu sering dapat kiriman ya? Aku jadi punya saingan nih…”
Rita meledekku. Bibirnya yang tipis membentuk sepotong kerucut, membuat wajahnya tampak menggelikan. Tapi aku sedang tidak ingin tertawa sore ini. Pikiranku sedang ruwet. Pekerjaan kantor nggak ada yang beres…
“Kalo surat, aku nggak usah di bagi, nggak pa-pa, Rien! Tapi kalo kue, awas kalo kamu makan sendiri…”
Masih dengan suara centilnya Rita terus saja menggodaku. Tapi kali ini aku langsung mengambil langkah panjang menuju kamar. Tentu saja setelah merebut surat itu dari tangannya.
“Makasih, Ta!” ujarku sambil menutup pintu kamar…
Kamarku yang sepi. Kasurnya pun masih tertata rapi. Kemarin malam aku tak sempat menyentuh kasur itu karena semalaman aku tertidur pulas di depan monitor. Hanya beberapa kertas print out yang berserakan di sudut meja kerjaku. Teronggok sedih karena tak sempat kugunakan semalam. Ah, that’s life!
Surat tanpa nama pengirim…
Dulu aku menganggap wanita itu begitu sempurna. Hingga penyakit ganas itu menjemputnya menuju kehidupan lain. Kehidupan yang tak pernah lagi dapat kusentuh. Meski suatu saat, aku pasti akan menemuinya juga. Dan hingga dua tahun lamanya, aku tetap yakin bahwa tak seorang pun yang layak menggantikan posisinya dalam hatiku. Termasuk karyawan baru yang cukup cantik ini. Rienita. Seorang gadis muda yang filosofis. Hampir setiap hari aku berdebat dengannya. Tapi dari sanalah dia banyak menegurku dari kekeliruanku dalam memandang hidup selama ini.
Kalimat-kalimat puitisnya sering menjadi tetes air yang mengaliri kekeringan jiwaku. Tapi, akhirnya dia memilih pergi. Pasti karena sikapku yang tak menyenangkan. Sebenarnya aku tak rela dia pergi, hanya saja waktu itu aku terlalu angkuh untuk mengakuinya…
Gadis itu pernah memintaku untuk menanggalkan kacamata hitamku dan dia pernah berjanji untuk membantuku menemukan kaca mata pelangi yang hilang dari hatiku…
Rien… aku mungkin bukan lelaki yang baik. Tapi kau telah sedikit demi sedikit membuatku berusaha untuk memahami makna hidup ini. Aku mulai melihat sulaman indah itu… Tapi samar…
Dan aku ingin kau bersedia mendampingiku untuk menemukan kacamata pelangi itu. Agar aku benar-benar mampu melihat sulaman indah itu dalam mahligai suci…
Meski mungkin pelangi tak akan muncul di hatiku yang segersang gurun, namun aku akan mencoba melukiskannya untukmu…
Aan Ardhianti.
Ah, pak Aan… akhirnya dia mulai mau mengenal wanita. Mahligai suci? Berarti dia mau menikah? Wow… amazing! Tapi kenapa aku yang kau pilih, tuan manajer? Tak tahukah anda bahwa di hatiku sebenarnya telah tertulis sebuah nama…
Mataku menatap setiap sudut ruang kerjaku yang tiba-tiba berubah menjadi semburat pelangi. Tapi bentuknya bukan lengkung seperti biasanya, melainkan acak. Lebih mirip lukisan abstrak. Jiwaku gamang. Jawaban apa yang harus kuberikan?
***
“Halo… Mas Indra, aku mau cerita sesuatu. Nanti siang kita bisa ketemu di resto?”
“Cerita apa? Penting ya?”
“Sangat. Bisa kan?”
“Tapi siang ini aku banyak kerjaan. Gimana kalo nanti malam aku yang ke kosmu? Kebetulan ada yang ingin aku berikan, ok?”
“Hah? Mau ngasih apa?”
“Lihat saja nanti…”
“Ya udah. Kalo gitu aku tunggu di kos. Makasih, Mas!”
“Sama-sama…”
Ternyata Mas Indra juga ingin memberikan sesuatu padaku. Jangan-jangan…cincin lamaran? Ah, tidak. Paling-paling buku. Tapi… apa pantas ya, kalo aku ceritakan masalah ini ke Mas Indra? Pak Aan kan temannya Mas Indra… Pak Aan pula yang dulu memang mau menjodohkan aku dan Mas Indra… Duh, ruwet!