“Li, kamu nggak pa-pa kan? Kamu menangis?”
Ah, airmataku mengalir tanpa sengaja. Sejak kapan aku jadi sentimentil begini? Jadi malu. Di depan Mas Indra lagi! Lho, kok? Kenapa tiba-tiba aku menyimpan harapan padanya? Bukankah tujuan Pak Aan mempertemukan kami adalah untuk… Ah, tidak mungkin! Aku sudah tahu sejak dulu Mas Indra tidak pernah tertarik denganku.
“Nggak kok, Mas. Aku cuma sedih. Hilma kan sahabatku sejak SMA.”
“Ya… waktu itu aku juga kaget saat dokter yang memvonis penyakitnya. Bagaimanapun juga…”
“Mas Indra masih mengharapkannya, kan?”
Laki-laki itu tersenyum mendengar pertanyaanku.
“Dia sudah kuanggap seperti adikku sendiri, Li.”
“Masa sih?” aku berpura-pura tak percaya. Tapi… sebenarnya ada perasaan senang yang diam-diam mengalir di hatiku.
“Kamu sendiri… kenapa belum menikah?”
“Belum ada yang cocok. Mas Indra juga kenapa belum menikah?”
“Aku sih belum siap…”
“Kok?”
“Belum siap diatur wanita!” serunya sambil tertawa. Aku pun ikut tertawa.
“Wah…seru, nih! Jadi ngiri. Asyik ya… ketemu teman lama?” ujar Pak Aan yang datang sebelum tawa kami selesai.
“Asyik… makanya kamu cari pacar dong, An!” giliran Mas Indra yang meledek Pak Aan. Aku melihat perubahan di wajah Pak Aan. Dan beban itu…kulihat lagi menggantung berat dalam pandangannya. Mas Indra masih cengengesan. Ah, dasar laki-laki. Nggak peka! No body care to me. Ah, tulisan itu kembali membayang di pelupuk mataku.
“Cari pacar? Aku pingin liat kalian menikah dulu, deh! Nanti aku belajar dari kalian…” ujarnya.
Sepertinya dia sudah tidak selabil dulu…
“Sudah, ah! Ayo, kita makan. Mumpung masih hangat…” serunya lagi ketika waitress meletakkan hidangan di meja kami. Lalu keduanya menyantap makanan di meja seperti kucing kelaparan. Aku sendiri sudah kehilangan selera sejak tadi…
***
“Rien… ada acara malam ini?” suara Mas Indra di handphone terdengar aneh, membuat jantungku kehilangan ritme-nya yang teratur.
“Nggak ada, Mas. Kenapa?”
“Mau menemaniku pergi malam ini?”
“Hm…ke mana?”
“ Ke toko buku.”
Toko buku? Ah, senangnya. Kebetulan aku sudah lama tidak meluangkan waktu untuk hobiku yang satu ini.
“Hm…boleh. Tapi jangan lama-lama ya.”
“Tentu ibu manajer. Saya tahu waktu anda terbatas… Lagipula kalau kamu ngantuk di kantor, perusahaanku bisa bangkrut karena sistem yang kau kendalikan jadi kacau!”
Ah, bu manajer. Rasa bangga menyapaku mendengar Mas Indra memanggilku demikian.
“Aku jemput satu jam lagi, ya…”
Sambungan telepon terputus. Dan aku segera bergegas menuju lemari. Warna apa yang cocok ya… Hitam, biru, cokelat, hijau tua… ah, warna bajuku gelap semua.
Bersikaplah seperti biasa, Li. Ingat, jaga hatimu. Dia bukan siapa-siapa, bukan?
“Assalamu’alaikum… Ya akhi…Ya ukhti…” Siemens-ku berdering lagi.
Hah? Pak Aan? Mataku membulat menatap nama yang terpampang di layar kecil itu.
“Rien…kamu nggak ada acara malam ini?”
“Hm… saya sibuk, Pak. Saya membawa pulang pekerjaan. Ada beberapa data yang harus saya back-up malam ini. Jadi…” Ah, lancar sekali mulutku berbohong. Astagfirullah...
“Oh, ya sudah. Tadinya aku ingin mengajakmu ke toko buku. Biasanya kan kamu suka novel. Tapi, nggak pa-pa. Selamat melanjutkan pekerjaan.”
“Ya, Pak. Makasih…”
Maafkan aku tuan manajer… Anda memang selalu datang pada waktu yang tidak tepat...
***
“Li, kamu suka buku apa?”
“Biasanya sih fiksi, Mas!”
“Novel atau cerpen?”
“Dua-duanya… tapi kalau beli buku, aku lebih suka novel daripada kumpulan cerpen. Kalo baca cerpen sih lebih senang di majalah atau koran.”
“Mm…pernah baca The Alchemist?”
Dahiku berkerenyit. Judul buku apa itu? Kok aku nggak pernah tahu? Akhirnya aku hanya menggeleng.
“Wah…sayang sekali. Itu novel bagus, lho… Mengisahkan tentang perjalanan Santiago, sang tokoh utama yang mencari harta karun. Ternyata, dalam perjalanan dia banyak mengalami rintangan berat yang membuatnya banyak belajar tentang misi hidupnya. Dan kesimpulannya, meski tidak menemukan harta karun di tempat tujuan, sebenarnya dia telah banyak mengumpulkan harta karun di sepanjang perjalanannya. Karena harta karun yang dimaksud adalah pembelajaran tentang hidup itu sendiri…”
“Bagus, kok! Cari aja di bagian filsafat! Atau itu… cerpen Pertobatan Aryati tulisannya Ahmadun Y.H. Cerpen itu banyak mengajarkan kita tentang keikhlasan… Atau noveletnya Asma Nadia, Rembulan di Mata Ibu…”
Kok Mas Indra tahu banyak tentang penulis besar itu ya? Malah yang disebutkannya karya-karya surrealis lagi! Sejak kapan mantan kapten tim basket ini tertarik pada dunia fiksi?
“Aku lebih senang membaca fiksi aslinya daripada yang sudah difilmkan. Biasanya aku lebih mudah tersentuh. Sayang, impianku untuk menjadi penulis nggak pernah kesampaian. Malah terdampar jadi analist…”
Setelah bercerita banyak dan memilih beberapa novel religius, Mas Indra beralih ke deretan buku-buku agama. Entah sudah berapa buku yang dimasukkannya ke dalam keranjang belanja. Hakikat Sabar, Definisi Sabar, Nikmatnya Syukur, Hikmah Sabar dan Syukur, lalu entah apa lagi. Untuk apa dia memborong buku-buku itu?
“Mas, kok bukunya satu tema, sih? Sabar dan syukur semua. Apa nggak mubadzir? Kan paling-paling yang dibahas sama semua…”
“Sabar dan syukur kan telaga yang tak pernah kering. Orang akan bahagia kalau bisa menghayati keduanya.”
Aku terdiam. Dulu, aku yang sering mengucapkan kalimat-kalimat seperti itu pada orang lain. Sekarang, kenapa justru orang seperti Mas Indra yang mengatakannya padaku? Egoku mulai merasa tersaingi…
“Lagipula semua buku ini buat perpustakaan, Li. Aku punya teman yang mengelola perpustakaan masjid dan kebetulan kemarin dia titip buku-buku ini ke aku.”
“Kalo Mas Indra sendiri referensinya yang mana?”
“Nggak ada di situ. Pokoknya lebih tebal dari semua buku-buku itu.”
“Oh ya? Judulnya apa?”
“Al-Qur’an”
Hah? Aku terhenyak. Tak kusangka Mas Indra telah jauh berlari meninggalkanku…