PENGGALAN 6
“Li, proyek kita akan dimulai Minggu depan. Kamu siapkan segala rancangan desain sistem seperti yang kamu presentasikan kemarin.”
Suara mas Indra begitu datar di telepon. Aku jadi sungkan untuk menanyakan apapun. Bahkan tentang Hilma.
“Oh ya, aku yakin, kamu adalah staff yang cukup profesional. Jadi aku rasa kita bisa bersikap lebih formal kalau di kantor. Bagaimana, Bu Rienita? Saya kira anda sangat setuju dengan usul saya.”
“Ya, Pak. Semua itu sudah saya pertimbangkan sebelumnya, ” ujarku sama datarnya. Aku harus menjaga image di depannya. Kali ini tak hanya profesionalisme yang aku pikirkan tapi juga harga diri.
“Untuk peristiwa kemarin itu…, saya minta maaf. Hilma tidak mau bertemu kamu. Saya tidak tahu apa alasannya. Dia langsung terbang ke Surabaya hari itu juga. Jadi, saya juga tidak berani menghubungi kamu untuk beberapa waktu. Kebetulan juga, kakaknya yang menjemput. Tapi saya rasa… masalahnya sekarang sudah selesai. Hilma sudah aman di rumah keluarganya.”
Penjelasan itu sebenarnya tidak lagi kubutuhkan, Mas. Aku rasa kalian memang tidak ingin aku mengetahui sesuatu antara kalian.
“Ok, itu saja dulu, Bu Rienita. Besok saya akan hubungi Anda lagi untuk keperluan meeting.”
Selanjutnya kerja sama itu berjalan seperti biasanya. Hubunganku dengan Mas Indra hanya sebatas formalitas. Kepentingan bisnis. Profit oriented. Dan semoga saja akan terus begitu.
*****
“Rien… masih betah di Citra Persada?”
Ini pertanyaan Pak Aan yang entah sudah keberapa kalinya. Sejak pengiriman kue itu, dia jadi sering ke kosku. Yah, mesti mampir hanya beberapa menit dan sedikit berbasa basi. Sikapnya tak lagi sesombong dulu. Dan akupun mulai bersikap lunak padanya. Karena kupikir, tak ada hal lain yang bisa kulakukan selain menerima sikap persahabatannya. Sebenarnya aku tak terlalu peduli. Dia kan pernah bilang bahwa dia tidak suka wanita. Dia akan marah pada dirinya sendiri kalau mencoba mencari pengganti pacarnya yang meninggal itu.
Jadi kurasa… paling-paling dia hanya menganggapku sebagai teman biasa. Tidak lebih. Toh, tidak ada yang menarik dalam diriku. Begitu juga dia. Tak ada satupun kelebihannya yang membuatku tertarik.
“Masih, pak! Dan saya kira… saya akan terus bertahan di sana.”
“Oh ya? Hebat. Pasti gajimu besar di sana.”
“Ya, lumayan. Lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan pribadi dan keluarga di kampung.”
“Baguslah! Lalu, kapan kamu akan menikah? Sudah siap kan?”
“Kenapa menanyakan hal itu, Pak?”
“Ya, iya. Kamu kan perempuan. Nggak baik menunda pernikahan terlalu lama. Nanti bisa nggak laku, lho!”
“Pak Aan sendiri belum menikah!”
“Aku tidak memerlukannya, Rien. Pernikahan itu hanya untuk orang-orang sepertimu.”
Sejak pertama kali mengenalnya, laki-laki ini memang selalu sensitif dengan masalah pernikahan. Memang pribadi yang aneh. Kenapa juga terlalu berkutat dalam kubangan masa lalu.
“Lalu?”
“Kok malah nanya sih! Aku carikan, ya. Aku punya teman seorang eksekutif muda. Belum beristri dan kebetulan minta dicarikan isteri. Kaya. Karirnya sukses. Ganteng juga.”
“Agamanya, Pak?”
“Oh, aku rasa dia masih jauh lebih baik daripada aku. Salatnya rajin, kok!”
Wahai Pak Manajer, tahukah Anda…bahwa itu saja tidak cukup untuk seorang Rienita
“Gimana, Rien…? Besok aku ajak dia ke sini ya? Biar kalian bisa kenalan.”
“Mm… ini kan bukan zaman Siti Nurbaya, Pak!”
“Yah, aku rasa kenalan dulu nggak ada salahnya. Kalau nggak cocok ya jangan diteruskan…”
*****
“Hah… Mas… eh Pak Indra?!”
“Oh…jadi Lili yang dimaksud…”
“Lho, jadi kalian sudah kenal? Sejak kapan? Wah, salah alamat dong aku?”
Mata Pak Aan membulat setelah melihat ekspresi kami. Malam ini, Pak Aan memang sengaja mengajak bertemu di sebuah restoran. Terus terang kemarin aku sempat menaruh harapan bahwa Pak Aan akan menghadirkan seseorang sebagai episode baru dalam hidupku. Tapi ternyata… dia adalah kepingan masa lalu yang telah kuhapus. Tapi aku salah. Aku menghapusnya dengan tip ex dan tentu saja berbekas.
“Dia adik kelasku waktu SMA, An!” ujar mas Indra santai… tidak seformal kalau kami bertemu di kantor untuk penggarapan proyek itu. Sepandai itukah eksekutif muda ini menyimpan dualisme dalam dirinya?
“Wah, asyik dong! Reunian nih. Tadi kamu panggil dia Lili kan? Aku jadi ingat waktu pertama kali dia memperkenalkan diri di kantor. Lili panggilan masa kecil ya?”
Pak Aan tertawa. Mas Indra hanya tersenyum tipis. Aku yang tersipu malu mengingat kejadian itu. Mengenang kembali betapa jahatnya Pak Aan dulu.
“Oh ya, Li… gimana kabarnya?”
“Baik. Mas Indra sendiri gimana? Masih sering komunikasi dengan Hilma?” aku meredakan nada sinis dalam suaraku. Tapi aku merasa ini adalah sebuah kesempatan langka yang tidak mungkin kudapatkan di kantor. Kesempatan untuk membicarakan hal-hal berbau privacy.
“Lho, Hilma itu siapa?” Pak Aan menyela.
“Pacarnya Mas Indra, Pak. Orangnya cantik. Teman sekelas saya dulu…”
Entah darimana aku menemukan kalimat itu. Aku hanya ingin Pak Aan tidak lagi menyinggung rencana perjodohan kami.
“Ohh…jadi… Kok kamu nggak pernah cerita, Ndra? Awas ya!”
Pak Aan menepuk bahu Mas Indra. Aku melihat laki-laki itu melirikku tajam. Sepertinya dia tidak ingin aku menyebut nama Hilma di sini.
“Wah… aku tinggal dulu ya. Mau ke toilet. Sekalian pesan makanan. Silahkan dilanjutkan reuninya…"
Pak Aan memilih meninggalkan kami. Sepertinya dia ingin memberi kami kesempatan untuk berbicara banyak hal…
“Li, aku tahu kamu mencurigaiku. Sejak lulus SMA, aku tidak pernah lagi bertemu Hilma. Pertama kali aku melihatnya ketika baru akan dirawat di rumah sakit kemarin. Aku kasihan padanya. Tak ada yang membantunya waktu itu.”
Aku tak mengerti kenapa tiba-tiba Mas Indra menjelaskan tentang Hilma. Mimik wajahnya yang begitu serius membuatku terbius untuk mendengarkan penjelasan itu dengan seksama…
“Kata suster di sana, Hilma dirawat selama dua puluh hari… kok Mas Indra baru menghubungiku setelah dua Minggu kemudian?”
“Hilma tidak memberitahuku kalau kamu juga di Jakarta. Justru aku yang kaget setelah melihat presentasimu di Citra Persada. Aku juga nggak tahu kalau ternyata Hilma terjangkit penyakit AIDS. Awalnya kukira pendarahan biasa. Dan saat terakhir dia mencoba bunuh diri itu, karena aku memaksanya untuk menunggumu sebelum dia pulang ke Surabaya. Entah kenapa, sepertinya dia mengalami depresi yang amat berat waktu itu. Dia tidak mau bertemu siapapun. Untung ada kakaknya yang menjemput…”
Ooh… jadi ternyata Mas Indra tidak tahu apa-apa… berarti memang Hilma yang tidak mau bertemu denganku. Da menghindariku. Tapi karena apa? Malukah dia?
Mas, maafkan aku… selama ini aku berburuk sangka padamu…
Tuhan…bagaimanakah keadaan Hilma sekarang? Selamatkah dia dari dekapan penyakit ganas itu? Ijinkan kami bertemu kembali, Ya Robb…