Pelangi Retak (Bag. 14)

Pagi terasa begitu dingin ketika pelan-pelan kubuka jendela kamar. Tak seperti biasanya. Entah karena memang udara yang dingin atau justru hatiku yang dingin. Saat ini aku tak hanya merasa kehilangan, tapi juga kecewa. Hilma. Dia pergi entah ke mana. Ponsel Mas Indra juga nggak pernah aktif sejak kemarin. Aneh.

Aku merasa dibohongi oleh mereka. Sahabatku sendiri. Tapi aku masih berharap suatu saat akan menemukan mereka. Setidaknya ada banyak misteri yang terus menderaku dalam rantai belenggu tanda tanya.

“Kriing…”

Lamunanku terhenti ketika bel pintu depan berbunyi. Ada seseorang yang datang. Entah siapa. Tapi suara bel itu justru mengingatkanku untuk segera mandi dan bergegas ke kantor.

“Rien…! Ada kiriman untukmu!” teriak Rita. Teman sebelah kamarku yang biasanya rajin menjadi penerima tamu.

“Dari siapa, Ta?” tanyaku penasaran.

“Kata pak posnya, si pengirim nggak mau menyebutkan namanya. Di bingkisan ini juga tidak ada tulisannya…”

“Lho, kok? Memangnya kamu udah nanya ke pak posnya?”

“Iya, dong. Kamu kan jarang dapat kiriman. Jadi wajar kalo aku penasaran…”

Rita nyengir melihat aku mengernyitkan alis. Tangannya menyerahkan bingkisan itu ke arahku. Sebuah kotak bersampul putih. Terikat pita berwarna merah jambu dan sekuntum mawar kuncup di ujungnya. Elegan. Pasti pengirimnya adalah orang yang romantis. Tapi siapa? Dalam rangka apa? Aku tidak punya pacar…

Di dalam kamar, kubuka kotak itu perlahan. Sebuah kue tart berwarna putih bersih dengan ornamen berbentuk benang terpilin. Kue itu dikelilingi tumpukan mahkota mawar berwarna senada. Sehelai kartu ucapan berwarna merah jambu terselip di antara tumpukan mahkota mawar itu.

Selamat Ulang Tahun
Semoga kau tak pernah lupa pada hari kelahiranmu hingga terus dapat berpikir tentang hari kematianmu…

Deg! Darahku seperti berhenti mengalir. Jantungku serasa berhenti berdetak. Kulirik kalender meja yang terletak di sisi pembaringan. Hari ulang tahunku? Ah, ya. Hari ini usiaku tepat dua puluh lima tahun. Hampir saja aku melupakannya kalau saja bingkisan itu tidak pernah datang…

Lagipula buat apa diingat. Momen itu hanya tahun-tahun yang berulang, tapi…

Hari kematian? Bukankah itu satu-satunya kepastian dalam kehidupan. Selain kematian, semuanya hanyalah jalinan dari begitu banyak benang kemungkinan yang kadang terpintal tak karuan. Begitu rumit menguraikannya. Bayangan ibu, Hilma, Mas Indra, Bu Indah, Pak Aan dan beberapa orang yang akhir-akhir ini menyapa hari-hariku melintas satu persatu di layar pikiranku. Laksana pemutaran slide yang telah terprogram secara otomatis…

Tubuhku lemas seketika. Semangatku untuk berangkat ke kantor menghilang tiba-tiba.

*****

Bingkisan tanpa nama pengirim itu membuatku menyadari banyak hal. Begitu banyak kejadian tak terduga yang kualami akhir-akhir ini. Semuanya menyita perhatianku. Hingga sering kali aku lalai mengingat kematian. Aku tak lagi berpikir apa tujuan sesungguhnya dari hidup yang melelahkan ini. Kusadari, banyak hal yang kulakukan tanpa tujuan. Hanya menuruti ke mana emosiku meminta kepuasan.

Sepotong kalimat dalam bingkisan itu memaksaku menelusuri kembali kejadian demi kejadian yang kulalui…

Lili kecil adalah gadis mungil yang lincah, murah senyum namun suka menjahili orang. Dia menjalani kesederhanaan hidupnya dengan riang. Tanpa perlu mengerti beragam masalah yang tumbuh subur bagai jamur di musim hujan dalam lingkungan keluarganya. Yang dia tahu hanyalah sosok ibu yang tegar membesarkannya seorang diri. Dia juga tak pernah merasa kekurangan kasih sayang meski tak mengenal sosok ayah seperti teman-temannya. Harapan kecilnya yang sederhana adalah bisa menjadi seperti kuntum bunga Lili yang tumbuh subur di bawah jendela kamarnya. Tetap tersenyum dan selalu merekah menyambut kejora yang berganti pelangi pagi. Dia ingin seperti daun-daun bunga Lili yang tumbuh rimbun. Kelihatan lemah namun tak mudah tercabut meski oleh terpaan banjir sekalipun…

Lili remaja adalah seorang gadis yang enerjik. Dan kemampuan berpikirnya yang mulai mengalami dinamisasi memaksanya untuk belajar menghadapi badai. Membantu ibunya mencari nafkah dan tetap giat belajar. Dia tak ingin terkalahkan oleh apapun dan siapapun. Dan itu membawanya ke puncak prestasi. Namun, Lili remaja ternyata gagal meraih cintanya. Saat itu dia mulai kehilangan impian kecilnya. Dan terobsesi untuk mengubah apapun yang pernah menjadi masa lalunya. Dia bertekad untuk menjadi wanita berpendidikan tinggi, memiliki karir yang sukses dan tidak pernah bergantung pada siapapun, termasuk pada seorang lelaki.

Akhirnya gadis itu meraih pendidikan tinggi meski tanpa dukungan sedikitpun dari sang ibu. Wanita bijak yang sangat dihormatinya masih berpikir bahwa tempat seorang wanita hanyalah di dapur, kasur dan sumur. Ah, sesuatu yang sangat kolot bagi Lili. Bahkan, wanita yang sangat dicintainya pun tak pernah mau menghadiri event terbesar dalam hidupnya, tak mau mendampinginya saat wisuda sarjana. Kecewa memang. Tapi hal itu tak pernah membuat Lili mengurangi cintanya sedikitpun terhadap wanita yang mulai renta itu.

Lili yang mulai beranjak dewasa adalah seorang gadis yang mulai ambisius. Mulai meniti karirnya yang melesat laksana roket dan mulai menumbuhkan titik keangkuhan dalam hatinya. Terpaan badai yang kerap kali menghempaskan dirinya pada ketertindasan membentuk pribadinya menjadi pribadi yang kuat. Tegar dalam menghadapi apapun. Namun, dia sering tak bisa menerima kekurangan orang lain. Tidak ingin dikuasai oleh siapapun yang tidak sejalan dengan keinginannya. Kemampuan emosinya meningkat drastis. Tak heran, jika dalam usianya yang baru dua puluh lima tahun, dia sudah meninggalkan empat perusahaan yang pernah memberinya tempat bernaung.

Di tengah perjalanan karirnya itulah, Lili bertemu Bu Indah. Seorang wanita bijak yang selalu mengingatkannya pada sang ibu yang pernah melahirkannya. Darinya Lili banyak belajar tentang bagaimana harus bersikap dalam hidup. Sedikit demi sedikit, Lili mulai belajar arti sebuah kedewasaan berpikir. Saat hidupnya mulai stabil, Lili justru harus menemukan batu sandungan yang cukup kuat menghadang langkahnya.

Dia dikecewakan oleh sahabatnya sendiri. Sahabat yang selama ini mendampinginya meski tak penah menjadi bagian dari hatinya. Dan kepergian sahabatnya itu justru menghadirkan hormon phenylathylamine dari kisah masa lalunya. Hormon itu menyingkap memori dalam ingatannya tentang cinta remajanya… Indra hadir kembali dalam hidupnya yang mulai terasa gersang…

Mungkinkah pengirim bingkisan itu adalah pangeran yang akan membawanya ke sebuah dermaga nan indah untuk menyudahi pengembaraan hidup yang melelahkan ini…

Ataukah dia adalah seekor merpati jantan yang akan mengajaknya terbang untuk menemukan taman terindah dalam hidupnya…

Assalamu’alaikum..ya akhi..…ya ukhti…” senandungnya Opick di handphone membuyarkan lamunanku. Hah…, siapa sih?! Kusambar benda mungil itu…

“Assalam…”

“Pagi, Rien… Pa kabar?” huuh!! Suara bariton itu menyapa telingaku. Dasar! Kapan sih dia berhenti menggangguku?

“Baik, Pak. Ada yang bisa saya bantu?”

“Oww…begitukah? Kapan kamu akan menghilangkan kekakuanmu, Rien? Berapa kali aku harus katakan bahwa aku bukan atasanmu lagi? Atau mungkin…pikiranmu memang belum pindah dari PMM?”

Kudengar suara tawa dari seberang sana. Ah, orang aneh. Sayang, kau datang pada waktu yang tidak tepat…

“Maaf, pak. Saya sibuk.”

“Lho, kata operator telepon di kantormu, kamu nggak masuk hari ini?”

“Maaf, saya tidak punya waktu. Dan saya harap Bapak menghargai saya.”

“Ok! Maaf sudah mengganggu. Oh ya, kuenya sudah dimakan? Saya harap tanggal lahir yang tertulis di CV-mu tidak salah. Yah, setidaknya makan siangmu hari ini bukan hanya novel!”

Klik.

Hah? Jadi pengirim kue dan kartu ucapan itu…? Reaksiku memang terlalu lambat. Sambungan telepon telah terputus. Seperti biasa. Tanpa basa-basi meski hanya sekedar salam.

Kutatap kue itu lagi dengan muram. Tak bersemangat. Tak sedikitpun seleraku untuk menyentuhnya. Kenapa Manajer aneh itu tiba-tiba perhatian padaku? Darimana pula dia belajar menulis kalimat tentang kematian… dengan kalimat yang filosofis lagi. Kalimat yang cukup membuatku berpikir sampai-sampai malas pergi ke kantor hari ini. Ahh…

Li! Jangan pernah melihat siapa yang mengatakan tapi apa yang dikatakan…