Beberapa bulan kemudian, Ramadhan tiba. Kami sekeluarga menginap di Parung. Tarawih kali ini terasa berbeda, karena bapakku yang menjadi imam di masjid komplek. Karena masih hari-hari pertama, masjid penuh. Aku bangga dan bersyukur. Anak-anakku pun ikut merasa bangga karena kakek mereka menjadi imam.
Lantunan suara bapakku mengajakku terbang ke masa silam, saat aku masih bocah. Saat itu aku sering salat di belakang bapak, bersama dua orang adik-adikku. Lantunan itu masih lantunan yang sama. Seingatku tak pernah sekalipun bapakku dipercaya menjadi imam masjid di tempat tinggalku dulu. Mungkin karena bapakku waktu itu lebih dikenal sebagai pedagang sukses, bukan sebagai ustadz, apalagi kyai. Sementara di tempat tinggalku masa itu bertebaran orang-orang dengan kopiah putih di kepala atau sorban berwarna hijau dengan aroma parfum yang khas. Mereka hapal berbagai doa dan wirid. Mereka menghormati bapakku yang rajin memberikan sumbangan. Bapakku pun menghormati mereka yang terlihat begitu sholeh dan rajin memakmurkan masjid. Di tengah-tengah orang yang terlihat keramat seperti itu, takkan mungkin bapakku menjadi imam.
Tapi kini, di hari tuanya, bapakku mendapatkan kehormatan itu. Kehormatan memimpin salat berjamaah. Bapak berada di antara orang-orang yang menghormati beliau sebagai orang tua yang sholeh. Memang ada pak Komar yang sama sepuhnya dengan bapak dan sudah tiga kali naik haji. Ada pula beberapa orang muda seusia denganku yang – menurut bapakku sendiri – bacaan Quran mereka baik sekali. Lebih baik dari bapakku.
Ada satu kejadian menarik usai sholat shubuh. Seperti biasanya, jamaah masjid banyak yang melakukan tadarus AlQuran, mengejar target khatam di bulan penuh pahala itu. Meski mungkin di bulan-bulan lain mereka jarang-jarang membuka AlQuran, namun di bulan ini mereka tidak ingin melewatkan kesempatan emas yang ada. Lumayan, pikirku ringan.
Namun kekhusyua’an tadarus kali ini terusik dengan situasi yang tidak biasanya. Di salah satu sudut masjid, dekat mihrab, ada lingkaran kecil jamaah yang terlihat asyik berdiskusi. Aku pun berjalan menghampiri. Tidak ikut duduk dalam lingkaran yang ada, agak jauh namun cukup untuk bisa ikuti menyimak. Maklum, orang luar. Nyelonong begitu saja rasanya kurang sopan.
Ternyata sedang berlangsung diskusi yang cukup panas. Ada seorang jamaah yang cukup muda, mungkin seusia denganku, berkata dengan nada tandas, walau masih berusaha terdengar sopan,
“Setahu saya, dalil-dalil tentang qunut itu tidak ada yang kuat, ” demikian penggalan kata-kata yang saya dengar.
“Saya mengikuti mazhab Syaifi’i. Beliau berkeyakinan bahwa Qunut itu bagian dari sunnah. Dan tidak hanya imam Syafi’i, tapi juga Al-Qasim, Zaid bin Ali dan lainnya mengatakan bahwa melakukan doa qunut pada salat shubuh adalah sunnah, ” kata seseorang yang sudah lumayan sepuh, yang belakangan kutahu adalah pak Komar.
“Tapi, ” jawab orang muda yang belakangan kuketahui bernama pak Fuad itu, “kita harus mengacu langsung kepada Rasulullah, bukan kepada Imam Syafi’i!” nadanya semakin tinggi.
Aku tersenyum mendengarnya. Boleh juga debatnya. Seperti di pemilihan calon ketua senat di Balairung. Hampir tidak lihat-lihat orang, yang penting tajam dan menusuk. Atau boleh saya tambahkan, hampir kehilangan sopan santun!
Tiba-tiba, salah seorang di antara mereka, yang semalam memberikan ceramah usai tarawih, dan terlihat berwibawa di mataku, berkata atau tepatnya bertanya,
“Anak muda, apakah Anda bertemu langsung dengan Rasulullah?”
Pak Fuad terdiam. Tapi hanya sesaat, dan kemudian menjawab, “Ya jelas tidak, pak. Tapi saya hanya hendak mengatakan, sebaiknya dalam mengambil dalil langsung menukil hadits-hadits, dan tidak menukil dari pendapat orang lain.”
“Oh ya, saya setuju sekali itu. Tapi bolehlah saya bertanya lagi, apakah hadits-hadits yang Anda maksud itu Anda dengar langsung dari Rasulullah atau dari orang lain?” tanya bapak berwibawa itu lagi.
“Yaa… saya membaca banyak buku, mendengar dari para guru saya…” jawab pak Fuad. Nadanya terdengar tidak yakin.
“Begitulah yang terjadi. Tak seorang pun di antara kita mendengar langsung dari Rasulullah. Kita semua adalah orang-orang yang mendengar dari katanya dan katanya.”
“Hadits yang sampai ke kita adalah jerih payah para ulama. Mereka menyeleksi yang shahih dan yang kurang shahih. Membuang yang palsu. Menguatkan yang satu dan melemahkan yang lain. Namun demikian, merekapun tidak lepas dari perbedaan pendapat.”
“Sebagian hadits ada yang dikuatkan oleh sebagian ulama, namun dianggap lemah oleh sebagian yang lain. Namun perbedaan pendapat di antara mereka tidak pernah sampai saling menuding dan mencela satu sama lain.”
“Masalah khilafiyah adalah masalah yang hukumnya tidak disepakati para ulama. Terkadang ketidaksepakatan itu hanya pada tataran yang sempit, bahkan seringkali hanya perbedaan penggunaan istilah. Tapi tidak jarang pula tataran perbedaannya luas, yaitu antara halal dan haram.”
“Munculnya perbedaan pendapat tentang hukum suatu masalah sebenarnya hak para ulama saja. Sebab mereka itulah yang punya alat dan otoritas untuk menyimpulkan sebuah hukum agama. Kita sebagai orang awam, tentu tidak punya perangkat dan alatnya, juga tidak punya spesifikasi yang minimal untuk melakukan pengambilan kesimpulan hukum.”
“Sayangnya, seringkali perbedaan pendapat itu justru dilakukan oleh mereka yang tidak punya kapasitas keilmuwan khusus dalam istimbath hukum.”
“Seringkali orang yang tidak mengerti ilmu kecuali hanya sekedar bertaklid kepada seorang tokoh, tiba-tiba dengan beraninya mencaci-maki para ulama sambil menuduh mereka ahli bid’ah. Padahal dia sendiri tidak paham apa yang sedang dikatakannya.”
“Tidak jarang orang-orang awam itu hanya punya ilmu sebatas apa yang gurunya sampaikan, akan tetapi seolah-olah dia berlagak seperti ulama betulan, sambil menyalahkan semua hal yang sekiranya tidak sama dengan pendapat gurunya. Orang seperti ini tidak lain adalah muqallid yang jahil serta tidak punya tata adab sebagai ulama.”
Tak ada satu kalimat pun dari pak Fuad. Tapi tak ada yang bisa saya simpulkan dari ekspresi wajahnya. Lagi pula, saya memang bukan ahli membaca raut wajah.
“Ketika Imam Malik rahimahullah mengatakan bahwa qunut pada salat subuh itu bid’ah, beliau tidak pernah mengatakan bahwa Imam As-syafi’i muridnya yang paling cerdas dan berhasil membangun mazhab sendiri sebagai ahli bid’ah atau calon penghuni neraka, lantaran berpendapat bahwa qunut subuh itu sunnah.”
“Demikian juga ketika Imam As-Syafi’i menjadi imam shalat subuh di masjid Madinah, tempat di mana Imam Malik gurunya itu pernah mengajar fiqih, beliau meninggalkan qunut subuh. Padahal pendapat beliau menyebutkan bahwa qunut itu sunnah, bila ditinggalkan dengan sengaja harus melakukan sujud sahwi. Namun beliau tetap sangat menghormati almarhum gurunya.”
“Kedua ulama guru dan murid itu alih-alih saling mencaci, justru mereka saling bertukar pujian. Dan bukan sekedar basa-basi, melainkan pujian setulus hati dan sejujurnya. Berbeda dengan ulama zaman sekarang, yang ketika memuji, boleh jadi hatinya masih panas.”
“Demikianlah sikap orang berilmu. Tidak merasa paling benar.”
“Bahkan perlu diketahui, tidak semua orang yang pernah belajar agama, memiliki kapasitas di bidang menarik kesimpulan hukum. Orang yang sekedar mempelajari ilmu tafsir misalnya, tentu punya ilmu yang luas dalam masalah makna ayat-ayat Al-Quran, namun bukan berarti dia punya kemampuan dalam menarik kesimpulan hukum. Demikian juga orang yang mendalami ilmu kritik hadits, tentu piawai untuk menilai keshahihan suatu hadits, akan tetapi kepiawaiannya itu bukan pada bidang metode pengambilan kesimpulan hukum. Apalagi orang yang belajar sastra arab dan bidang tata bahasa (ilmu nahwu), tentu bukan bidangnya bila harus menarik kesimpulan hukum dari Al-Quran dan As-Sunnah.”
“Ilmu dan metodologi dalam menarik kesimpulan hukum itu adalah ilmu yang dipelajari oleh mereka yang belajar di fakultas syariah. Dengan berbagai disiplin ilmu pendukung seperti ilmu fiqih sendiri sebagai dasar, ilmu ushul fiqih sebagai metodologi, ilmu mantiq sebagai logika, ilmu qawa’id fiqhiyah sebagai penunjang. Selain itu mereka pun harus memahami ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu lughah arabiyah dengan beragam cabangnya.”
Panjang lebar orang berwibawa itu menjelaskan. Sejuk hati mendengarnya, terpesona logika menyerapnya. Sayang sampai diskusi ini selesai, saya tak berkesempatan mengetahui namanya. Menurut bapak saya kemudian, dia adalah salah seorang tamu yang kebetulan singgah di rumah salah seorang jamaah. Semalam, atas permintaan jamaah tadi, beliau diminta memberikan ceramah. Dan pagi ini pun, beliau menyempatkan menengahi perbedaan pendapat.
(bersambung)