Jawaban beliau, “Jika upah atau pemberian ini diberikan tanpa ada kesepakatan di depan, jelas ini dibolehkan dan tidak masalah. Karena pemberian ini sebagai bentuk balasan terima kasih untuk yang memandikan jenazah atau yang mengkafani atas kerja mereka. Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah bersabda, Siapa yang diberi kebaikan oleh orang lain, maka berikanlah balasan terima kasih.
Lalu beliau melanjutkan, “Jika upah ini disyaratkan di depan, jelas menerima upah ini akan mengurangi pahala orang yang memandikan dan mengkafani. Karena yang memandikan dan mengkafani akan mendapatkan pahala besar; karena memandikan dan mengkafani mayit termasuk fardhu kifayah, sehingga yang melaksanakannya akan mendapatkan pahala melaksanakan fardhu kifayah.”
Beliau melanjutkan, “Namun jika dia mengambil upah, maka pahalanya akan berkurang, meskipun tidak masalah baginya mengambil upah ini. Karena upah ini sebagai ganti atas kerja yang bermanfaat bagi orang lain (amal mutaadi). Dan orang yang melakukan amal mutaaddi (kerja manfaat) bagi orang lain, dia berhak mendapat upah. Sebagaimana orang yang mengajarkan al-Quran boleh mengambil upah menurut pendapat yang shahih.” (Fatawa Nur ala ad-Darb, 7/36)
Keterangan Lajnah Daimah juga serupa. Ketika menjawab pertanyaan mengenai hukum mengambil upah karena memandikan jenazah, baik upah yang disyaratkan di depan atau tanpa syarat di depan. Jawaban Lajnah Daimah, “Boleh, meskipun yang lebih bagus orang itu melaksanakannya dengan suka rela, jika tidak menyusahkannya. Wa billah at-taufiiq. Wa shallallahu ala nabiyyina Muhammad wa aalihii wa shahbihii wa sallam.” (Fatawa Lajnah Daimah, 15/112). (Inilah)
Demikian, Allahu a’lam.
Oleh Ustadz Ammi Nur Baits