Sedangkan hadits “Bacalah Alquran, jangan menjadikannya kering, jangan menjadikannya mahal dan jangan (mencari) makan dengan Alquran” adalah hadits yang lemah, sanadnya terputus. Jika dikira-kirakan keshahhihan hadits tersebut, maka sesungguhnya hadits yang telah aku jelaskan di atas lebih shahih dan lebih kuat, sebab terdapat dalam dua kitab shahih (Bukhari Muslim), sedangkan hadits ini terdapat dalam kitab Musnad Ahmad, sedangkan kitab musnad tidak tertentu (mencantumkan) hadits shahih saja, tapi di dalamnya juga terdapat hadits yang lemah, seperti halnya keterangan yang telah diketahui” (Syekh Abdullah bin Shidiq al-Ghumari, al-Hawi fial-Fatawi al-Ghumari, hal. 36)
Meski demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa dalam kajian lintas mazhab, ulama mazhab Hanafi berpandangan berbeda. Mereka berpendapat bahwa mengambil dan memberi upah atas bacaan Alquran merupakan hal yang terlarang bahkan tergolong sebagai perbuatan yang mengakibatkan dosa. Berbeda halnya menurut mazhab yang lain yang notabene memperbolehkan hal di atas. Perbedaan pendapat ini secara sistematis disebutkan dalam kitab Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah:
وقد نص الحنفية على أنه لا يجوز قراءة القرآن بأجر ، وأنه لا يترتب على ذلك ثواب ، والآخذ والمعطي آثمان ، وأن ما يحدث في زماننا من قراءة القرآن بأجر عند المقابر وفي المآتم لا يجوز . والإجارة على مجرد القراءة باطلة ، وأن الأصل أن الإجارة على تعليمه غير جائزة لكن المتأخرين أجازوا الإجارة على تعليمه استحسانا. وكذا ما يتصل بإقامة الشعائر كالإمامة والأذان للحاجة .
وأجاز مالك والشافعي أخذ الأجر على قراءة القرآن وتعليمه . وهو رواية عن أحمد . وقال به أبو قلابة وأبو ثور وابن المنذر ، لأن رسول الله صلى الله عليه وسلم زوج رجلا بما معه من القرآن وجعل ذلك يقوم مقام المهر ، فجاز أخذ الأجرة عليه في الإجارة
“Ulama Hanafiyah menegaskan bahwa tidak boleh membaca Alquran dengan adanya imbalan dan hal tersebut tidak mengakibatkan wujudnya pahala, orang yang mengambil dan memberi upah sama-sama terkena dosa. Realita yang terjadi pada masa kita berupa membaca Alquran di sisi kubur dan di tempat umum merupakan hal yang tidak diperbolehkan secara syara’. Akad ijarah (Menyewa jasa) atas bacaan Alquran merupakan hal yang batal dan hukum asal dari akad ijarah atas mengajar Alquran adalah tidak diperbolehkan.
Tetapi ulama muta’akhirin (kontemporer) memperbolehkan akad ijarah atas mengajar Alquran dengan dalil istihsan. Begitu juga pada hal-hal yang berhubungan dengan syiar agama, seperti menjadi imam dan muazin karena merupakan suatu kebutuhan.
Imam Malik dan Imam Syafi’i memperbolehkan mengambil upah atas membaca Alquran dan mengajarkannya. Pendapat demikian juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, Abu Qalabah, Abu Tsur, dan Ibnu Mundzir, sebab Rasulullah pernah menikahkan seseorang dengan bacaan Alquran yang ia kuasai dan hal tersebut diposisikan sebagai mahar, maka diperbolehkan mengambil upah atas Alquran dalam akad Ijarah” (Kementrian Wakaf dan Urusan Keagama’an Kuwait, al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, juz 1, hal. 291)