Pendapat ini dikuatkan oleh perbuatan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang memanjangkan rambutnya, padahal perbuatan ini perlu waktu (sibuk mengurusnya) dan perlu biaya (untuk minyak rambut dan semisalnya). Andaikan ini bukan sunnah, maka Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak akan susah payah melakukannya. Pendapat kedua mengatakan bahwa memanjangkan rambut hukumnya bukan sunnah, tetapi hanya sekadar adat kebiasaan, dan hukumnya mubah (boleh dilakukan dan boleh tidak).
Pendapat ini didasari oleh perintah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam kepada orang yang mencukur sebagian rambut anaknya dan menyisakan sebagian lainnya, beliau mengatakan, “Cukurlah semua atau jangan dicukur semua!” Andaikan memanjangkan rambut hukumnya sunnah, maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak akan memerintahkan untuk mencukur, tetapi akan memerintahkan supaya dipanjangkan karena itu sunnah.
Adapun yang dilakukan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam, maka beliau memanjangkan rambutnya karena adat-kebiasaan manusia saat itu memang demikian. Beliau tidak menyelisihi kaumnya, karena apabila beliau shallallahu alaihi wa sallam menyelisihi mereka dalam suatu perkara, berarti perkara itu adalah perkara yang disayariatkan (sunnah). Akan tetapi, pada kenyataannya justru Nabi shallallahu alaihi wa sallam menyamai mereka. Ini menunjukkan bahwa perkara itu mubah (boleh dilakukan dan boleh tidak dilakukan), namun bukan termasuk sunnah.
Pendapat inilah yang lebih kuat, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Utsaimin dalam Mandzumah Ushul Fikih wa Qawaiduhu, hlm. 118119. [Ustadz Abu Ibrohim Muhammad Ali pada Majalah Al-Furqon/ini]