Pertama, kerancuan riwayat hadits Aisyah. Disebutkan Aisyah:
كُنْتُ أَغْسِلُ الجَنَابَةَ مِنْ ثَوْبِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَيَخْرُجُ إِلَى الصَّلاَةِ ، وَإِنَّ بُقَعَ المَاءِ فِي ثَوْبِهِ
“Aku mencuci pakaian Rasulullah SAW sebab mandi besar, lalu beliau memakainya untuk sholat, padahal masih ada sisa air.”
Sedangkan dalam riwayat lainnya disebutkan:
لقد كنت أفركه من ثوب رسول الله صلى الله عليه وسلم فركاً فيُصلي فيه
“Aku menggosok pakaian Rasulullah SAW….” dan dalam riwayat lainnya: “Kemudian beliau sholat dengan memakai pakaian itu.”
Hadits tentang perintah membasuh ini disepakati Imam Bukhari dan Imam Muslim. Adapun hadits tentang perintah menggosok diriwayatkan jamaah, kecuali Imam Bukhari.
Adapun alasan kedua, adalah ketidakjelasan status sperma. Yakni apakah sperma disamakan dengan benda-benda lain yang keluar dari tubuh manusia, atau disamakan dengan cairan-cairan suci yang keluar daripadanya (seperti keringat, susu, dan lainnya). Para ulama yang berupaya mengkrompomikan semua hadits tersebut menyatakan bahwa tujuan mencuci ialah kebersihan.
Mereka berdalih bahwa yang digosok adalah benda yang suci. Karena upaya menggosok tidak mungkin dapat menyucikan sesuatu yang najis. Mereka menganalogikan sperma dengan cairan-cairan suci yang keluar dari tubuh. Berdasarkan hal itu, maka menurut mereka sperma tidaklah najis.
Sementara para ulama yang lebih mengunggulkan hadits pertama daripada hadits kedua yang berarti bahwa dicuci di manapun, yang digosok tetaplah najis kadarnya. Maka para ulama di bagian ini mengatakan bahwa hukum sperma adalah najis.
Kesimpulan yang sama juga dikemukakan para ulama yang yajin jika gosokan dapat menghilangkan najis. Artinya, bahwa yang dilakukan Aisyah adalah mencuci dan menggosok sesuatu yang najis, yakni sperma. Berdasarkan hal ini, maka hujjah yang mengacu pada hadits kalau melaksanakan shalat dengan menggunakan pakaian seperti itu maka shalatnya tidak diterima.
Maka jika sperma dijadikan salah satu bahan dasar alat kosmetik ataupun skincare, maka hal itu haram. Sebab dalam prinsip halal sendiri, umat Islam mengenal istilah hanya mengambil hal-hal yang tidak haram, tidak menyakiti lingkungan, dan tidak menjijikkan.
Kadar sperma masih diperdebatkan statusnya. Bahkan mayoritas ulama sudah mengatakan bahwa sperma bukanlah hal yang suci, artinya memasukkan sperma menjadi salah satu bahan baku skincare sangatlah hina.
Apalagi, salah satu tujuan laki-laki mengeluarkan sperma dalam Islam adalah untuk menuntaskan birahi dengan cara yang halal, bukan untuk diproduksi dan dikolektifkan demi kebutuhan industrial. (Rol)