Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Ustadz Dr. Setiawan Budi Utomo yang saya hormati, belakangan ini kian marak kasus hadiah pejabat yang nilainya mencapai angka fantastis dalam hitungan milyaran rupiah. Fakta itu mengingatkan saya pada tradisi KKN orde baru yang masih berlanjut sampai sekarang yaitu perebutan ‘posisi basah’ dengan menghalalkan segala cara untuk menumpuk kekayaan dengan melanggar sumpah jabatan dan penyalahgunaan jabatan berupa penerimaan setoran langsung maupun tidak langsung, sembunyi maupun terang-terangan, paksaan maupun sukarela.
Hal itu mendorong saya untuk menanyakan kepada ustadz mengenai beberapa pertanyaan berikut:
- Bagaimanakah hukum hadiah bagi para pejabat, pegawai pemerintah maupun swasta. Apa bedanya risywah (suap) dan hibah (pemberian atau hadiah) menurut fikih.
- Bolehkah kita menerima hibah tersebut karena tidak meminta yang diberikannya secara sukarela ataupun terpaksa menerimanya karena lingkungan yang biasa menerima hal itu agar tidak dicap macam-macam, dikucilkan atau bahkan digeser?
- Bagaimanakah status pendapatan diluar hak gaji dan tunjangan resmi yang terlanjur diperoleh dari ‘posisi basah’ berupa hibah karena jabatan publik. untuk kebutuhan keluarga maupun amal sosial. Adakah solusi untuk membersihkan harta itu? Dan bagaimana dengan yang sudah terlanjur kami gunakan?
- Bolehkah kita mengejar karir, meminta, ataupun memperebutkan ‘posisi basah’ dalam jabatan apapun dan bagaimanakah sikap kita jika terlanjur memegangnya?
Demikian pertanyaan saya, mohon kiranya Ustadz bersedia mendoakan agar kita semua diberi petunjuk dan ampunan dari Allah SWT serta diselamatkan dari berbagai godaan fitnah iman, amiin. Jazakallah khoiron katsiro atas segala perhatian dan kebaikannya. Wassalaamu’alaikum Wr. Wb.
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Setiap pemberian kepada pejabat atau pemegang posisi tertentu yang memiliki otoritas publik dan kewenangan berlangsung setelah menjabat dinas atau posisi tertentu yang sebelumnya tidak ada kebiasaan saling tukar menukar hadiah atau hibah karena hubungan kekerabatan, persahabatan ataupun tali kasih lainnya, demikian pula bila ada indikasi timbulnya hibah dan peningkatan nilai hadiah baik dalam skala besar maupun kecil bagi yang sebelumnya terjalin kekerabatan ataupun persahabatan karena memandang jabatan tersebut, maka hal itu dapat dikategorikan sebagai praktik risywah yang merupakan salah satu bentuk penyakit sosial atau perilaku yang menyimpang dalam kehidupan bermasyarakat sehingga tidak dibenarkan dalam ajaran Islam bahkan dilaknat (dikutuk) oleh Nabi saw. Syariat Islam mengharamkan praktik risywah sebagaimana melarang pengambilan harta yang bukan haknya secara batil. (QS. Al-Baqarah:188)
Risywah berasal dari bahasa Arab (rasya-yarsyu-risywah) yang berarti sogokan, suap, uang tempel, uang semir, hadiah atau hibah pada pejabat publik ataupun pada pihak yang berwenang. Pengertian demikian sesuai dengan pendapat Imam Al Jurjani ahli bahasa dan fikih (740H-816H) yang melihatnya sebagai pemberian yang diberikan kepada seseorang untuk membatalkan sesuatu yang hak atau membenarkan yang batil.
Secara umum menurut para ulama, risywah adalah segala bentuk pemberian yang bertujuan sebagai rayuan untuk mencapai suatu tujuan. Riswah merupakan pemberian yang pada hakekatnya tidak didorong niat tulus ikhlas untuk mencari ridha Allah. Rasul juga melarangnya. “Rasul mengutuk penyogok, penerima sogokan dan broker perantaranya.” (HR.Ahmad dan Hakim)
Adapun pengertian Hibah pada prinsipnya berarti pemberian atau hadiah yang menurut syariah semestinya dilakukan secara sukarela dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah swt tanpa pretensi dan tidak mengharapkan balasan apapun kecuali dari Allah semata. Pada umumnya, mayoritas ulama mendefinisikannya sebagai akad pemindahan kepemilikan harta secara cuma-cuma dan sukarela yang dilakukan seseorang dalam keadaan hidup kepada orang.
Jadi, penyerahan hibah dilakukan ketika pemberi masih hidup tanpa mengharapkan imbalan apapun, kecuali untuk mendekatkan diri kepada Allah swt bukan pamrih kepada manusia.
Hibah sebagai salah satu bentuk tolong menolong dalam rangka kebajikan antara sesama manusia sangat bernilai positif. Ulama fikih sepakat bahwa hukum hibah adalah sunah. (QS.An Nisa: 4, Al-Baqarah: 177) Sabda Nabi saw: “Saling memberi hadiahlah kamu dan salinglah mengasihi.” (HR Bukhari).
Hibah dikatakan sah menurut syariah bila Penghibah dan penerima hibah cakap hukum, tanpa paksaan langsung maupun tidak langsung. Harta hibah tersebut memang ada, halal dan kepemilikannya secara penuh. Akad hibah tersebut tidak terdapat indikasi suap dan tidak berimplikasi kolusi. Menurut ulama akad hibah itu tidak mengikat sehingga pemberi hibah boleh saja mencabut kembali hibahnya sebagaimana sabda Nabi saw: “Orang yang menghibahkan harta lebih berhak terhadap hartanya, selama hibah itu tidak dibarengi penyerahan kompensasinya” (HR. Ibnu Majah)
Suatu hari Ibnu Al-Lutaibah seorang pejabat pemungut zakat datang menghadap Rasulullah saw. melaporkan dan menyerahkan hasil penarikan zakat dengan mengatakan: “Ini untukmu, dan yang ini telah dihadiahkan (dihibahkan) kepadaku.!” Rasulullah saw. seketika tersentak mendengar laporan pendapatan zakat dari amil beliau yang berasal dari suku Uzdi tersebut. Dengan penuh geram dan heran Rasulullah saw. berdiri di atas mimbar seraya mengatakan: “Ada apa gerangan seorang petugas yang kami utus untuk menjalankan suatu tugas lalu mengatakan: “Ini untukmu (Wahai Rasulullah), dan yang ini telah dihadiahkan untukku.!” Kenapa ia tidak duduk saja di rumah bapak dan ibunya, lalu Ia melihat apakah ia diberi hadiah ataukah tidak!?”, lanjutnya: “Demi Tuhan yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, tidak seorangpun diantara kalian membawa sesuatupun dari hadiah-hadiah hibah tersebut kecuali ia akan membawanya sebagai beban diatas tengkuknya pada hari kiamat.!” (HR. Ahmad)
Hadits ini mengisyarat betapa Rasulullah saw. sangat mengecam dan mengutuk pejabat berwenang yang memanfaatkan dan menyalahgunakan posisinya untuk mengeruk keuntungan yang tidak legal demi memperkaya diri pribadi maupun orang lain dari jabatannya di luar hak-haknya yang sah, dalam berbagai bentuk dan apapun namanya yang essensinya adalah praktek suap dan misi eksplisit dan implisitnya adalah kolusi antara pihak berwenang dan pihak berkepentingan.
Dampak negatif suap memang sangat luas dan komplek, tidak hanya merusak mental dan kredibilitas aparat atau pejabat pemerintah sebagai penegak hukum dan penyelenggara kepentingan publik, namun juga menurunkan kepercayaan masyarakat kepada mereka secara umum meskipun masih ada pejabat yang konsisten memegang prinsip kejujuran, bersih diri dan rasa amanat. Praktik keji tersebut dapat merugikan kepentingan publik maupun pribadi yang terampas haknya, melenyapkan harta dan amanat rakyat, menjadikan aparat sebagai media permainan licik para penjahat, sebagai tindakan subversif pengkhianatan bangsa dan pelanggaran sumpah jabatan dibawah kitab suci.
Mengingat hal itu, pantaslah jika Rasulullah saw. melaknat (mengutuk) seorang penyuap, penerima suap dan broker perantara suap, seperti yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Al Baihaqi, Abu Dawud, Ibnu Majah dan At Tirmidzi. Sebab, semua oknum yang terlibat praktek suap menyuap baik langsung maupun tidak langsung, terang-terangan maupun terselubung, besar maupun kecil adalah sama dalam merongrong kewibawaan hukum dan pemerintah, membudayakan mental kolusi dan aji mumpung dengan menyalahgunakan wewenang dan amanat rakyat. Memang benar hanya kesadaran dan sistem imani lah yang efektif untuk menanggulangi wabah suap dan krisis amanat serta memberantas kejahatan birokrasi dan korupsi.
Sabda nabi saw: “Tidak ada keimanan bagi siapa yang tidak ada rasa amanat padanya” (HR.Al Baihaqi) Hal itu sesuai dengan pesan Allah kepada orang beriman dalam surat.Al Mukminun:8.
Hibah yang berindikasi sogok tetap dilarang agama meskipun penerimaanya berdalih tidak meminta sebagaimana apologi para oknum korup orde baru bahwa asalkan tidak meminta maka tidak menjadi masalah. menerima ‘pemberian sukarela’ sebagai pendapatan sampingan.
Hal itu tetap terkenai kutukan Nabi karena dua hal: Pertama; dari segi praktiknya.pemberian dan penerimaan sogok tidak mengandung unsur ikhlas karena punya alasan tertentu dan maksud tertentu yang tidak dapat dibenarkan. Pemberi hibah ataupun sogokan menghendaki keinginannya dipenuhi cepat ataupun lambaaat, jangka pendek ataupun panjang, sedangkan penerima sogokan secara diam-diam ataupun terang-terangan menunjukkan niatnya untuk meluluskan keinginan penyogok, atau paling tidak tidak mampu lagi menegakkan hukum, peraturan, ketentuan yang berlaku serta tidak mampu lagi melaksanakan amar ma’ruf dan nahi mungkar karena terikat secara moril psikologis (hutang budi) maupun juridis perikatan perjanjian dengan komitmen hibah pejabat dan penyogok. Kedua; dari segi tujuannya, pemberian sogok dilakukan dengan tujuan yang melangar agama dan hukum yang berlaku serta memutarbalikkan hak dan batil dan manipulasi kebenaran. (QS.At-Tahrim:1)
Pemberian dengan motif tertentu dapat merugikan orang lain juga merusak nilai kebenaran yang seharusnya ditegakkan. Penerima sogok yang memakan ataupun menikmati hibah atau harta hasil sogokan sesungguhnya memakan sesuatu yang bukan haknya yang berarti ia menikmati harta haram dan ‘memakan api neraka’. Lingkungan yang korup tidak bisa mengubah ketentuan hukum syariah dengan ikut-ikutan menerima sogokan dan menikmatinya. Kalaupun ia seolah-olah harus menerimanya karena tekanan, maka hendaknya ia tetap menghindarkan diri dan keluarganya untuk menikmati harta panas tersebut dan harus disalurkan kembali semuanya di jalan Allah.
Dalam konteks peradilan, riswah menurut para ulama sebagaimana dikemukakan Imam As-Shan’ani (1099H-1182H), dari sudut motif atau tujuannya, riswah di peradilan ada dua macam. Pertama agar hakim berlaku tidak adil dan agar hakim berlaku adil. Pertama, ulama ahli fikih berpendapat bahwa hukumnya haram baik yng menerima sogokan maupun yang memberi. Kedua, diharamkan adalah menerima sogokan sebab berbuat adil adalah tugas hakim dan keadilan adalah hak yang harus diperoleh pihak yang berperkara. Dengan demikian hukumnya haram bagi pemberi riswah maupun hadiah yang diberikan kepada hakim oleh pihak-pihak yang berkompeten.
Hakim (dan pejabat lainnya) juga dilarang menerima pemberian hadiah dari pihak-pihak yang berperkara aatau berurusan meskipun pemberian tersebut tidak dikait-kaitkan dengan perkara atau urusan yang ditanganinya. Menurut Ash-Shan’ani, pemberian hadiah hanya bisa diterima apabila: (1) pejabat itu seebelumnya biasa menerima hadiah dari orang yang memberi hadiah atas kebaikan dan kedermawanannya semata-mata; dan (2) nilai hadiah tersebut tidak lebih besar dari hadiah-hadiah yang biasa diterimaanya dari pemberi yang sama.
Dalam konteks menghindari perlakuaan dzalim, maka atas alasan apapun, Islam melarang perbuatan dzalim. Oleh karena itu demi menghindari perbuatan dzalim jika diperlukan menyogok diperbolehkan. Menurut para ulama seperti Yusuf Qardhawi, bahwa seseorang yang dihadapkan kepada situasi demikian, haknya terancam, sebaiknya bersabar menahan diri tidak melakukan sogokan sampai ditemukan jalan keluar yang sebaik-baiknya. Akan tetapi jika keadaan memaksa seperti jiwa dan haknya terancam tanpa alasan yang dibenarkan kecuali dengan jalan ini, mak sogok menyogok boleh saja dilakukan.
Istilah yang berkaitan dengan riswah di Indonesia dikenal “uang pelicin”. Yaitu uang yang diberikan kepada pejabat yang berwenang untuk memperlancar urusan yang sedang dihdapi. Konotasi negatif yang dimaksud adalah: 1) pihak pemberi merasa lebih berhak mendapatkan perlakuan khusus sehingga melahirkan sikap egoisme dan melalaikan kepentingan orang lain.; 2) Petugas akan terbiasa mengharapkan pemberian itu dalam menyelesaikan tugas sehari-harinya.
Hadiah dari masyarakat kepada pejabat untuk memeperlancar urusan atau ungkapan terima kasih atas pemberianatau bantuannya. Pemberian ini tidak dibenarkan. Kecuali tanpa dikaitkan dengan fungsi dan jabatannya.
Hikmah dilarangnya risywah menurut para ulama seperti Syeikh Yusuf Al-Qardawi diantaranya: (1) tetap memelihara dan menegakkan nilai-nilai keadilan serta menghindari kelaliman dari pihak pejabt, penengah atau hakim yang berwenang menyelesaikan urusdan yang menjadi hak hidupnya. (2) mendidik masyarakat agar membiaskan diri mendaya gunakan hart kekayaan sesuai dengan petunjuk agama tanpa memubazirkannya. (3) mendidik seluruh lapisan masyarakat agar mampu mengahargai nilai kebenaran hakiki, tanpa memperjualbelikan atau mentukarkan dengan nilai-nilai kebendaam. (4) mendidik para penguasa pelayan, atau pihak yang berwenang menyelesaikan urusan umum agt tidak membedakan pelayanan terhadapasyarakat yang menjadi tanggung jawabnya, hanya karena perbedaan status ekonomi. (5) tetap menyadarkan masyarakat bahwa yang hak itu adalah sesuatu yang datang dari Allah bukan yang ditetapkan manusia sehingga yang menjadi ukuran adalah hukum dan ketetapanNya bukan ketetapan manusia.
Posisi dan karir pekerjaan apapun kalau kita memang mampu dan amanah maka, setiap muslim harus mau memikulnya dengan penuh professional dan ihsan sepanjang prosesnya adil sebab setiap muslim wajib menjadi khalifah dimuka bumi sesuaai dengan kemampuan masing-masing. Namun hal ini berbeda dengan ambisi materialistis dan gila kekuasaan ataupun jabatan yang haus prestise sehingga mendorong perebutan posisi baasah demi kepentingan diri dan kelompok adalah sesuatu yang tidak terpuji dan tidak sehat.
Nabi pernah berpesan: “Janganlah engkau meminta jabatan, karena ia adalah amanah dan penyelasan pada hari kiamat. Namun bila engkau diminta maka laksanakanlah secara tulus.” Bila niat kita telah ikhlasyang dibarengi dengan integritas dan kompetensi yang memadai maka jabatan sebasah apapun tidak akan membasahi kita dengan ‘air najis’ (uang dan fasilitas haram). Hati yang kaya karena iman akan menjadi pengaman baginya dari terjerumus kepada perilaku KKN. Bahkan ia akan gunakan jabatan dan kekuaasaan untuk membersihkan wilayah otoritasnya dan memberikan kontribusi bagi perjuangan kebenaran (al-Haq).
Nabi saw besabda: “Daging yang tumbuh dari harta yang haram, maka api neraka lebih pantas baginya.”
Status harta yang diketahui serta terdeteksi diperoleh dengan cara yang haram karena jabatan harus dikembalikan semuanya kepada negara ataupun kepentingan publik (amal sosial) agar tidak menjadi baban dan petaka bagia diri dan kelaarganya dikemudian hari. Seseorang hanya berhak mengambil untuk memeuhi kebutuhan hidu diri dan kelaurganya dari pendapatannya yang halal. Keluarganya haarus mengawasi dan selalu mengingatkannya dengan tetap niat bahwa apa yang dikonsumsinya adalah dari yang halal saja.
Sementara itu yang terlanjur digunakan maka wajib ditaubati dengan taubatan nashuha secara sungguh-sungguh dengan tetap banyak menjalankan ibadah rutual maupun sspiritual untuk menghapuskan dosa dan kesalahan yang telah lalu sebab Allah adalah maha pengasih dan penyayang. Semoga kita semua terhindar dari ketersesatan dan fitnah iman serta selamat dari api neraka Amin.
Wallahu A’lam wa Billahit Taufiq wal Hidayah.