Syekh as-Sya’rawi menjawab, ‘Mimpi pada saat tidur tidaklah berlaku pada shalat istikharah, tetapi mimpi tersebut bermula dari isi hatinya terhadap suatu subjek tertentu. Istikharah secara syara’ hanya tertentu pada hal yang diajarkan oleh Nabi Muhammad, yakni shalat dua rakaat lalu memohon pada Allah dengan doa yang sudah dijelaskan (dalam hadits), lalu apa yang tercerahkan (merasa lega) dalam hatimu setelah melaksanakan shalat dan doa istikharah, maka itulah hal yang dikehendaki oleh Allah padamu” (Syekh Mutawali as-Sya’rawi, al-Fatawa as-Sya’rawi, hal. 702).
Dua referensi di atas sekaligus menegaskan perbedaan pendapat tentang jawaban dari pertanyaan “apakah kelegaan hati setelah shalat istikharah merupakan pertanda jawaban baik atas hal yang semula kita bimbangkan?”
Pandangan Syekh Mutawali as-Sya’rawi tersebut senada dengan pendapat an-Nawawi, bahwa kelegaan hati yang dialami oleh seseorang merupakan pertanda baik dan jawaban atas shalat istikharah yang dilakukan seseorang. Sedangkan pendapat Syekh Said Ramadhan bahwa jawaban dari shalat istikharah tidak ditentukan dari kelegaan hati (insyirah ash-shadri) melainkan dari sulit dan mudahnya seseorang tatkala melakukan hal yang ia istikharahi, sesuai dengan pendapat Ibnu Qayyim al-Jauzi yang disampaikan dalam kitab Zad al-Ma’ad dan Madarij as-Salikin (lihat: Abu al-Hasan Ubaidillah al-Mubarakfuri, Mir’ah al-Mafatih, juz 4, hal. 364-365).
Ustadz M. Ali Zainal Abidin mengatakan, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa jawaban dari salat istikharah tidak selamanya dari mimpi.
Sebab, seringkali mimpi yang dialami oleh seseorang lebih dikarenakan kondisi emosional atau pikiran-pikiran yang sering terlintas dalam benaknya, yang sebenarnya tidak berkaitan dengan petunjuk Allah atas salat istikharah yang ia lakukan.