Assalamualaikum.
Apakah hukumnya mengikuti kuis superdeal milyaran? Karena yang saya tahu peserta setelah mendapatkan hadiah harus memilih apakah ingin mendapatkan hadiah lanjutan dengan ketentuan hadiah yang didapat hilang atau tidak meneruskannya tetap dengan hadiah yang diperoleh. Bukankah ini yang disebut taruhan? Terima kasih
Wassalamualaikum.
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Sebelum menjawab pertanyaan anda, mungkin ada baiknya kita membahas dulu masalah hukum undian. Sebab di dalam undian itu ada asas untung-untungan dan tentunya ada semacam pertaruhan. Dan dalam beberapa kasus, memang mengundi itu punya pengertian yang nyaris mirip dengan istilah taruhan. Tetapi sesungguhnya keduanya punya esensi yang jauh berbeda.
Secara umum, sebenarnya syariah tidak melarang kita melakukan pengundian, asalkan tidak ada unsur judi di dalamnya. Namun ada juga bentuk-bentuk pengundian yang hukumnya haram.
Untuk itu kita harus mampu membedakan mana praktek pengundian yang haram dan mana yang halal.
1. Undian yang Haram
Ada banyak bentuk undian yang diharamkan, di antaranya adalah undian yang digunakan untuk menentukan siapa yang menang dalam sebuah perjudian. Selain itu mengundi nasib dengan anak panah juga termasuk undian yang diharamkan.
a. Undian untuk Perjudian
Undian yang diharamkan adalah undian untuk berjudi. Sehingga pada hakikatnya yang diharamkan memang judinya, bukan semata-mata undiannya.
Berjudi adalah mengundi dengan mempertaruhkan uang atau harta. Bila dalam undian itu menang, maka dia berhak mengambil uang lawan mainnya yang kalah. Sebaliknya, bila dalam undian itu kalah, maka uangnya pun harus direlakan untuk diambil oleh yang menang.
Praktek mengundi untuk berjudi ini tentu saja hukumnya haram, berdasarkan taujih rabbani berikut ini:
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَآ أَكْبَرُ مِن نَّفْعِهِمَا وَيَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنفِقُونَ قُلِ الْعَفْوَ كَذَلِكَ يُبيِّنُ اللّهُ لَكُمُ الآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُونَ
Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: ‘Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfa’at bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfa’atnya’. Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: ‘ Yang lebih dari keperluan.’ Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir. (QS Al-Baqarah: 219)
b. Mengundi Nasib (Azlaam)
Bentuk lain dari pengundian yang diharamkan adalah pengundian dengan menggantungkan nasib kepada ramalan hasil undian. Orang Arab jahiliyah biasa mengundi nasib mereka dengan menggunakan anak panah.
Namun yang dimaksud dengan mengundi itu sebenarnya adalah percaya serta meyakini ramalan tentang masa depan. Bentuknya dengan mendatangi dukun untuk minta diramalkan tentang nasibnya di masa depan. Maka dukun akan memberinya berapa anak panah di dalam kantung untuk dipilih. Kalau ujung anak panah yang tertutup itu bertuliskan nasib baik, maka dia akan percaya dengan nasib baik itu. Dan berlaku juga sebaliknya.
Istilah yang tepat untuk mengundi nasib dengan menggunakan anak panah ini adalah azlaam. Dan hukumnya memang haram, sebagaimana haramnya judi.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأَنصَابُ وَالأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamar, berjudi, berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (QS Al-Maidah: 90)
2. Undian yang Halal
Sedangkan bentuk mengundi yang dihalalkan adalah undian yang terlepas dari pratek perjudian atau ramalan.
Contoh undian yang dihalalkan antara lain:
a. Undian Nabi kepada Isteri-isteri untuk Ikut Perjalanan
Merupakan kebiasaan praktek nabi SAW setiap kali akan mengadakan perjalanan, beliau menentukan siapa yang ikut mendampingi lewat sebuah undian. Maka setiap akan berangkat safar, beliau SAW pun mengundi di antara isteri-isterinya. Yang namanya keluar, maka dia berhak ikut mendampingi beliau SAW. Yang namanya tidak keluar dalam undian itu, harus rela tinggal di Madinah.
عَنْ عَائِشَةَ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْكَانَ رَسُولُ اَللَّهِإِذَا أَرَادَ سَفَرًا أَقْرَعَ بَيْنَ نِسَائِهِ, فَأَيَّتُهُنَّ خَرَجَ سَهْمُهَا, خَرَجَ بِهَا مُتَّفَقٌ عَلَيْه
Dari Aisyah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bila akan bepergian, beliau mengadakan undian bagi isteri-isterinya. Siapa pun yang keluar anak panahnya, maka berhak ikut beliau. (HR Bukhari dan Muslim)
Undian seperti ini bukan judi, juga bukan ramalan. Meski berbau nasib-nasiban, tetapi lepas dari hal-hal esensial yang dilarang Allah SWT. Dan beliau SAW sebagai nabi yang diutus membawa syariah telah melakukannya.
b. Sayembara Berhadiah
Kuis atau sayembara dalam literatur fiqih disebut dengan istilah ‘Ju`al’ dan hukumnya boleh. Pada hakikatnya praktek jual adalah seorang mengumumkan kepada khalayak bahwa siapa yang bisa mendapatkan barangnya yang hilang, akan diberi imbalan tertentu.
Sayembara ini berlaku untuk siapa saja tanpa harus ada kesepakatan antara pemberi hadiah dengan peserta lomba sebelumnya. Dengan dasarsayembara ini, maka undian atau kuis dibolehkan.
Al-Quran Al-Kariem menceritakan tentang kisah saudara Nabi Yusuf as yang mendapatkan pengumuman tentang hilangnya gelas/ piala milik raja. Kepada siapa yang bisa menemukannya, dijanjikan akan mendapat hadiah. Mari perhatikan firman Allah SWT:
فَلَمَّا جَهَّزَهُم بِجَهَازِهِمْ جَعَلَ السِّقَايَةَ فِي رَحْلِ أَخِيهِ ثُمَّ أَذَّنَ مُؤَذِّنٌ أَيَّتُهَا الْعِيرُ إِنَّكُمْ لَسَارِقُونَ قَالُواْ وَأَقْبَلُواْ عَلَيْهِم مَّاذَا تَفْقِدُونَ قَالُواْ نَفْقِدُ صُوَاعَ الْمَلِكِ وَلِمَن جَاء بِهِ حِمْلُ بَعِيرٍ وَأَنَاْ بِهِ زَعِيمٌ قَالُواْ تَاللّهِ لَقَدْ عَلِمْتُم مَّا جِئْنَا لِنُفْسِدَ فِي الأَرْضِ وَمَا كُنَّا سَارِقِينَ
Maka tatkala telah disiapkan untuk mereka bahan makanan mereka, Yusuf memasukkan piala ke dalam karung saudaranya. Kemudian berteriaklah seseorang yang menyerukan: ‘Hai kafilah, sesungguhnya kamu adalah orang-orang yang mencuri’. Mereka menjawab, sambil menghadap kepada penyeru-penyeru itu: ‘Barang apakah yang hilang dari pada kamu?’ Penyeru-penyeru itu berkata: ‘Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya’. Saudara-saudara Yusuf menjawab ‘Demi Allah sesungguhnya kamu mengetahui bahwa kami datang bukan untuk membuat kerusakan di negeri dan kami bukanlah para pencuri"‘. (QS Yusuf: 70- 73)
Kuis dan Judi
Antara kuis dengan judi memang bisa terdapat kemiripan, bahkan bisa jadi sebuahkuis yang pada dasarnya halal bisa berubah menjadi haram bila ada ketentuan tertentu yang menggesernya menjadi sebuah perjudian.
Maka yang membedakannya bukan nama atau pengistilahannya, melainkan kriteria yang ditetapkan oleh penyelenggarakuis tersebut.
Sebuah kuis undian bisa menjadi judi manakala ada keharusan bagi peserta untuk membayar sejumlah uang atau nilai tertentu kepada penyelenggara. Dan dana untuk menyediakan hadiah yang dijanjikan itu didapat dari dana yang terkumpul dari peserta undian. Maka pada saat itu jadilah kuis undian itu sebuah bentuk lain dari perjudian yang diharamkan.
Adapun kuis-kuis yang tidak mensyaratkan pesertanya untuk bermodal uang untuk dipertaruhkan, pada dasarnya bukan kuis yang berasas judi. Sehingga tidak bisa diharamkan hanya karena ada bau untung-untungan di dalam aturan mainnya.
Apalagi bila ada sistem ‘batas aman’, sehingga seseorang yang sama sekali tanpa modal harta, ketika mampu menjawab beberapa pertanyaan dan telah mendapat hadiah uang dengan nilai tertentu, berhak untuk berhenti bermain dan membawa pulang uangnya. Keberadaan batas aman ini makin menegaskan bahwa peserta kuis memang tidak akan dirugikan, bahkan hadiah yang sudah dimilikinya itu tidak akan diutak-atik oleh penyelenggara kuis.
Namun yang masih jadi titik perdebatan adalah ketika tidak ada batas aman, karena seolah seorang yang sebelumnya sudah mendapat uang dengan nilai tertentu, masih beresiko untuk kehilangan sebagian uangnya, kalau salah dalam menjawab. Kemungkinan salah menjawab dan kehilangan uangnya itu oleh sebagian kalangan dianggap bagian tidak bisa terlepas dari judi.
Mengingat prinsip judi itu adalah ada uang yang dipertaruhkan, bila menang dapat uang dan bila kalah kehilangan uang.
Namun pendapat itu dijawab dengan argumentasi bahwa semua level pertanyaan itu tidak bisa dipisah-pisahkan, semua adalah satu bentuk kesatuan. Dan sebelum permainan, hal terpenting yang harus diingat adalah bahwa para peserta sama sekali tidak mempertaruhkan harta apapun. Sehingga meski dalam dinamika permainan itu dia pernah menerima banyak uang lalu kemudian akhirnya kalah dan tidak jadi dapat uang serupiah pun, toh dia tidak akan dirugikan. Karena pada dasarnya dia memang datang tanpa modal serupiahpun juga.
Padahal yang namanya judi mesyaratkan adanya uang yang dipertaruhkna, lalu ada yang menang dan ada yang kalah. Yang menang mendapat uang lebih dari yang dipertaruhan, sedangan yang kalah akan kehilangan uang yang dipertaruhkan.
Sedangkan dalam kuis ini secara keseluruhan, semua peserta datang tanpa modal yang apapun untuk dipertaruhkan, kalau pada akhir permainan ternyata dia ‘kalah’ dan tidak membawa pulang uang serupiah pun, tidak bisa dikatakan kalah berjudi.
Maka perdebatan antara kedua belah pihak ini bisa kita simpulkan menjadi:
- Mereka yang mengharamkan beralasan karena seorang yang seharusnya sudah menang dan mendapatkan uang dari kuis ini, ada kemungkinan kalah dan kehilangan uangnya.
- Mereka yang menghalalkan berasalan bahwa sejak awal tidak ada uang yang dipertaruhkan, jadi kalau pada akhirnya peserta pulang tidak bawa apa-apa, tidak ada yang perlu dipermasalahkan.
Apa yang kami sampaikan ini memang masih belum lengkap, karena baru membahas hukum transaksinya saja, belum lagi membahas sisi lain yang terkait erat dengan kuis-kuis semacam ini. Misalnya, masalah psikologis, adakah dampak negatifnya. Kami juga belum membahasa apakah tayangan seperti ini mendidik atau tidak. Termasuk juga belum dibahas masalah hukum sumber dananya, sponsorship dan seterusnya.
Meski tidak terkait langsung dengan inti masalah, sedikit banyak tetap harus dijadikan bahan pertimbangan juga.
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc.